Tuesday 25 November 2014

Be, Have, Do

A. 'Be" as a full verb (1)

A.1. Some uses of the imperative of  'be': 'be careful!'

**Study**
1. Study is a 'helping' (or auxiliary) verb when it 'helps' other verbs, for example to form the present or past progressive : He is reading. He was sleeping.

2. Be is a full verb when we use it with nouns (She's a teacher) or adjectives (She's tall)

3. Be + Noun or adjective in the imperative has limited uses.
We use be with nouns to mean 'act like' : Be a dear and answer the phone! or to mean 'become; : Be a better cook! or 'pretend to be' : Be a monster, granddad!. Don't be is more common: Don't be silly! Don't be a fool.

4. We use be only with adjectives that describe 'passing behavior': Be+careful, patient, quite, etc. Don't be+ careless, impatient, silly, etc. But not with adjective which describes 'states', like hungry, thirsty, pretty.

A.2. The use of 'aren't'

**Study**
The full of form 'am I not' is rare. We use Aren't I..? (Not "Amn't I) in:
1. Negative questions: Am not I? --->Aren't I?
2. Negative WH-questions: Why am I not invited? ---> Why aren't I invited?
3. Negative Question-tag: I am late, Am not I? I am late, aren't I?

We still use aren't I only in negative questions and negative questions tag, never in negative statements: I am not late. ---> I'm not late (not I aren't late).

A.3. Be in simple present and simple past

**Study**
In simple present and simple past, we use be as a full verb in noun and adjective. Be careful of instances when English makes use of be where other language sometimes don't.
For example: I am hungry (Not *I have hungry), I's cold (Not *It makes cold)

B. 'Be" as a full verb (2)

B.1. Progressive form of 'be' for 'temporary behavior'

**Study**
We use the progressive form (he is being/ he was being) with adjective that describe 'passing behavior' like naughty and silly. not state, like hungry and thirsty. We often imply that this behavior is deliberate: He is being naughty. We can use the progressive of be with a few noun as well: He is being a fool.

B.2. 'Has been', 'Have been', 'Had been' + Adjective and nouns

**Study**
The rule of present and past perfect apply to have been and had been
The actions or states begin in the past and continue into present (have been) or they refer to an earlier past (had been). We use was/were when  we have time reference:
1. Behavior/states/moods: She's been very quite. I said she had been very quite,
2. The weather: It's been very cold lately. I said it had been very quite lately.
3. Profession, behavior: Have you ever been a teacher? She has been a real angel.
Compare: The baby was very quite while you were out (The past+exact time reference)

B.3. 'Have been' and 'have gone'

**Study**
1. To be continued... :)

Saturday 22 November 2014

Cerpen Perjalanan Hidup Penulis



***Gedung Sekolah***

Matahari pagi mengintip mesra menyambut makhluk titipan Tuhan yang ada dibumi, Seorang anak desa terpencil merupakan salah satu dari jutaan makhluk tersebut. Beranjak menuju Gedung Reok adalah rutinitasnya ketika matahari menyapa.  Oh iya sobat,  namanya Yudhi. Ia merupakan seorang anak yang dilahirkan di salah satu dusun yang amat terpencil dari sektor apapun yakni Dusun Padang Keladi ---bukan berarti tanah yang hanya di tumbuhi tanaman “keladi” yang berarti Talas dalam bahasa setempat--- namun demikian bukan berarti ia tertinggal sepenuhnya. Didikan organisasi sederhana itu membuatnya mengantongi sedikit keberungtungan dibandingan teman-teman sebaya yang ada di desanya. Kini dia merupakan satu-satunya utusan perwakilan pemuda desa yang berdiri hormat di kota budaya ini. Di keluarga inilah tempat yang ramai baginya saat itu meskipun sejatinya hanya terdiri Ayah, ibu, dia dan juga kedua adiknya. Namun kini semua suasana yang dulu  ia temukan dalam keluarga itu telah berubah dari semula rumah yang ramai kini berganti kostan yang ramah.
Pada tahun 1992, ia dilahirkan, tepatnya tanggal 22 november 1992. Seperti di atas, dia dilahirkan dari keluarga yang sederhana. Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari, hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun hingga tidak terasa manusia kecil itu kini telah tumbuh menjadi anak-anak. Memasuki usia sekolah, tahun 1998 dia di daftarkan untuk menjelajah gedung kecil yang di bernama sekolah, ketika itu di Padang keladi hanya merupakan sekolah filial yang  masih menginduk pada desa Pongok. Pagi tiba, di hari pertama sekolah ia di dandan seolah anak perempuan yang ingin lomba menari. Ketika itu  teman kelas nya pertama terdiri dari 6 siswa, disana mulai terlihat gaya mereka seperti anak STM karena tidak ditemukan wajah anggun diantara wajah sangar mereka yang sehari-hari memegang peletik[1].  
Awan cerah dipagi hari mengiringi embun dingin nan sejuk. Berjalan dijalanan yang becek merupakan surga bagi beberapa anak di desa tesebut. Pun pagi ini sama dengan hari kemaren, meskipun matahari mengintip mesra namun sisa hujan semalam masih tergenang layaknya tumpahan air yang tak diterima bumi secara keseluruhan. Beberapa hari sekolah, tidak selayaknya siswa yang ada di kota yang merupakan lulusan TK, sehingga butuh perkenalan, kami disini terdiri dari 6 anak dalam satu kelas yang sejak dari lahir telah mengenal satu sama lain. Pada suatu pagi, layaknya sekolah yang lain, kegiatan pertama selain memperkenalkan diri  mereka juga diminta maju satu-persatu untuk mendendangkan sebuah lagu yang mereka hafal. Ketika 5 orang anak telah selesai, maka tibalah satu nama yang terakhir yakni Alex Candra, pada saat berada di depan kelas, ia sungguh berbeda dengan Yudhi dan temannya yang lain, ia bukan menunjukkan suara merdunya, namun ia menunjukkan wajahnya yang memerah hingga mengeluarkan butiran air mata. Sungguh tak disangka, seorang anak yang telah akrab dengan alam liar itu menangis hanya karana disuruh menyanyi di depan kelas.
“Alex, sekarang gilran kamu yang terakhir, silahkan maju kedepan” pinta pak guru yang akrab dipanggil pak Jun, nama lengkapnya yaitu Junaedi, yang tak lain adalah tetangga terdekat Alex Chandra.
Alex Candra maju kedepan papan tulis dengan ekspresi yang tak bisa dibaca, tanpa sepatah katapun  yang keluar dari bibirnya. Hingga 5 menit kemudianpun ia tetap membisu secara suara dan ekspresi. Keadaan tersebut membuat kelima temannya bingung sekaligus tertawa.
“Can, la kuang beehh nyanyi, lete neh kamek nunggu e”, ucap Sunyoto.
Die agik mace du’e itu toooh” sambut seorang teman yang bernama Mario.
Tiba-tiba suasana hening melihat air suci membasahi pipi putih nan mulus Alex, ohhhh ternyata ia menangis dikarenakan kekurangan asupan percaya diri.
Pukok e kau harus nyanyi Can, kamek semue lah uda nyanyi e, terserah lagu ape nak e, yang penting kau harus nyanyi” sambung seorang teman bernama Ranu sambil terbata.
“Iye Pak, lagu Cong Mak Ilong[2] kuang ke Pak?” Tanya Alex kepada Pak Jun.
Kini suasana berubah, Pak Junaedi yang akrab dipanggil pak Jun justeru yang bingung atas permintaan Alex Candra, karena hingga sekarang lagu Cong Mak Ilong tak terdaftar sebagai lagu Daerah apalagi lagu Nasional. Tanpa menunggu jawaban dari Pak Jun, Alex Candra langsung mendendangkan lagu tersebut dengan suara merdunya bak botol siisi pasir atau bebatuan kecil.
Cong mak ilong
Mak Ilong gaga batu
Dimana kucing belang
Disitu rumah hantu
Suasana sepi bagai rumah tak berpenghuni yang dipenuhi suara Jangkrik. Namun tiba-tiba, tanpa basa basi Alex Candra menyunggingkan senyuman yang merubah mendung dan hujan menjadi cerah layaknya kulitnya yang putih seperti keturunan China. Serentak kelima temannya bertepuk tangan atas keberhasilannya melewati tantangan terberat yang pernah ada dalam hidupnya.

***Air Sinsa***

Tidak lengkap rasanya jika seorang siswa kelas 1 SD berangkat kesekolah tanpa adanya bekal. Begitu juga dengan sekelompok siswa kelas 1 yang terdiri dari setengah lusin tersebut. Layaknya sekolah ditengah kota, merekapun membutuhkan bekal baik makanan dan minuman. Namun demikian makanan bukanlah hal yang wajib bagi mereka, karena itu bisa mereka dapatkan di lingkungan yang tak asing bagi mereka yakni hutan. Hutan dianggap sebagai restauran yang menyediakan banyak menu makanan bahkan jauh lebih lengkap dari restauran sekalipun. Bakat menjadi sekelompok pengusaha yang kreatifpun mereka tekuni dengan menciptakan minuman warna baru. Jika hari-hari mereka hanya minum minuman yang berwarna bening, maka pagi ini mereka telah menciptakan inovasi baru dalam kemasan yang lusuh dan berantakan. Layaknya kemasan minuman masa kini yang memiliki gas dan berwarna. Kini mereka tertarik untuk mencoba melakukan penemuan dengan membuat minuman dari pewarna. Adapun pewarna yang mereka gunakan berbahan dasar sinsa, namun demikian mereka menambahkan sedikit gula untuk menambah rasa manis dalam minuman meraka. Kekompakan dan kemandirian telah mereka dapatkan sejak lama. Ditengah abad yang serba ada begini sebetulnya mereka tidak heran jika bertemu dengan minuman sejenis dengan kemasan yang lebih rapi.

***Balik Untuk Tangkun***



Suatu pagi, matahari mengintip mesra dibalik bukit Pilar. Kicauan pentis dan perling bersaut riang menghiasi dedaun hijau ditepi jalanan sepanjang Padang Penuduk. Siul ria serta obrolan semalam (nyolong mempelam) menjadi penanda bahwa burung-burung tak sendiri, ada enam anak manusia berstatus layaknya Little Krisna.
6 orang siswa SMP Negeri 1 Lepong (Kini menjadi SMPN 2 Pongok) yang selama ini dikenal kuat dalam menggenjot pedal sepeda onthel, layaknya Krisna yang kuat membela Prindapan. Kekuatan tanpa tanding, semangat tanpa ujung serta tekad tanpa sekat meskipun kadang tak mufakad. Namun tiba-tiba kini lemas tak berdaya bagaikan tidak makan seminggu. Lemas kali ini ternyata bukan karena kami tidak makan, namun karena satu godaan. Wanita? Sepertinya bukan, karena kami belum mengenal wanita terlalu dalam. Uang ataupun Harta? Bukan juga. Karena hari-hari kami berangkat kesekolah tanpa uangpun sepertinya merupakan hal yang biasa, sehingga menghasilkan hutang (rimba) diwarung Yuk Sun (diketahui setelah lulus sekolah). Tahta? Sepertinya apalagi ini, kami belum terinfeksi oleh pemberitaan terkini yang memanfaatkan tahta sebagai lahan penghasilan bahkan mencari bonus diatas rata-rata. Yaaahhhh Punai.... Punai kali ini berhasil membalikkan arah sepeda kami. Semula menuju sekolah, kini berbalik dengan rapi bagaikan barisan ketika upacara bendera. Menuju rumah? iya... namun setelah itu pergi ke hutan rimba untuk mencari Tangkun dan kawanan penggoda iman (Punai).
Punai memang menjadi idola para anak muda dan remaja setempat. Bukan wanita, harta apalagi tahta, punai hanyalah nama burung yang tidak ditemukan dihutan bagian Jakarta apalagi Jogja. :-)

Suatu pagi, matahari mengintip mesra dibalik bukit Pilar. Kicauan pentis dan perling bersaut riang menghiasi dedaun hijau ditepi jalanan sepanjang Padang Penuduk. Siul ria serta obrolan semalam (nyolong mempelam) menjadi penanda bahwa burung-burung tak sendiri, ada enam anak manusia berstatus layaknya Little Krisna. 6 orang siswa SMP Negeri 1 Lepong (Kini menjadi SMPN 2 Pongok) yang selama ini dikenal kuat dalam menggenjot pedal sepeda onthel, layaknya Krisna yang kuat membela Prindapan. Kekuatan tanpa tanding, semangat tanpa ujung serta tekad tanpa sekat meskipun kadang tak mufakad. Namun tiba-tiba kini lemas tak berdaya bagaikan tidak makan seminggu. Lemas kali ini ternyata bukan karena kami tidak makan, namun karena satu godaan. Wanita? Sepertinya bukan, karena kami belum mengenal wanita terlalu dalam. Uang ataupun Harta? Bukan juga. Karena hari-hari kami berangkat kesekolah tanpa uangpun sepertinya merupakan hal yang biasa, sehingga menghasilkan hutang (rimba) diwarung Yuk Sun (diketahui setelah lulus sekolah). Tahta? Sepertinya apalagi ini, kami belum terinfeksi oleh pemberitaan terkini yang memanfaatkan tahta sebagai lahan penghasilan bahkan mencari bonus diatas rata-rata. Yaaahhhh Punai.... Punai kali ini berhasil membalikkan arah sepeda kami. Semula menuju sekolah, kini berbalik dengan rapi bagaikan barisan ketika upacara bendera. Menuju rumah? iya... namun setelah itu pergi ke hutan rimba untuk mencari Tangkun dan kawanan penggoda iman (Punai). Punai memang menjadi idola para anak muda dan remaja setempat. Bukan wanita, harta apalagi tahta, punai hanyalah nama burung yang tidak ditemukan dihutan bagian Jakarta apalagi Jogja. :-) Make Money at : http://bit.ly/copy_win


Make Money at : http://bit.ly/copy_win

Suatu pagi, matahari mengintip mesra dibalik bukit Pilar. Kicauan pentis dan perling bersaut riang menghiasi dedaun hijau ditepi jalanan sepanjang Padang Penuduk. Siul ria serta obrolan semalam (nyolong mempelam) menjadi penanda bahwa burung-burung tak sendiri, ada enam anak manusia berstatus layaknya Little Krisna. 6 orang siswa SMP Negeri 1 Lepong (Kini menjadi SMPN 2 Pongok) yang selama ini dikenal kuat dalam menggenjot pedal sepeda onthel, layaknya Krisna yang kuat membela Prindapan. Kekuatan tanpa tanding, semangat tanpa ujung serta tekad tanpa sekat meskipun kadang tak mufakad. Namun tiba-tiba kini lemas tak berdaya bagaikan tidak makan seminggu. Lemas kali ini ternyata bukan karena kami tidak makan, namun karena satu godaan. Wanita? Sepertinya bukan, karena kami belum mengenal wanita terlalu dalam. Uang ataupun Harta? Bukan juga. Karena hari-hari kami berangkat kesekolah tanpa uangpun sepertinya merupakan hal yang biasa, sehingga menghasilkan hutang (rimba) diwarung Yuk Sun (diketahui setelah lulus sekolah). Tahta? Sepertinya apalagi ini, kami belum terinfeksi oleh pemberitaan terkini yang memanfaatkan tahta sebagai lahan penghasilan bahkan mencari bonus diatas rata-rata. Yaaahhhh Punai.... Punai kali ini berhasil membalikkan arah sepeda kami. Semula menuju sekolah, kini berbalik dengan rapi bagaikan barisan ketika upacara bendera. Menuju rumah? iya... namun setelah itu pergi ke hutan rimba untuk mencari Tangkun dan kawanan penggoda iman (Punai). Punai memang menjadi idola para anak muda dan remaja setempat. Bukan wanita, harta apalagi tahta, punai hanyalah nama burung yang tidak ditemukan dihutan bagian Jakarta apalagi Jogja. :-) Make Money at : http://bit.ly/copy_win


Make Money at : http://bit.ly/copy_win

***Perpisahan***

bertahun lamanya ia berjuang jauh dari keluarga, terbayang jelas sosok perempuan yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga sekaligus petani, seorang laki-laki setengah tua namun masih gagah yang berprofesi sebagai seorang petani sekaligus nelayan dan dua anak kecil perempuan yang pintar dan jelita. Itulah keluarga nya yang ia tinggalkan kini. Tetapi dimatanya mereka bukan petani apalagi nelayan, mereka semua adalah pahlawan karena profesi itu telah menghantarkannya   berdiri tegak didepan Perguruan Tinggi serta tertunduk hormat diatas kota ini.
Setahun yang lalu, terlukis jelas wajah lugu seorang ibu dengan kesederhanaannya yang menghantarkannya menuju bandara dan tidak lupa dua orang anak kecil perempuan yang tak lain adalah adik kandung nya. Saat itu salah satu pahlawan nya tidak ikut serta dalam momen disiang itu. Dengan wajah gembira yang menutupi kesediah perpisahan mereka tunjukkan itu tak lain merupakan karena itu hari pertama mereka melihat pesawat terbang secara langsung. Bahkan sejatinya salah satu adiknya merupakan hari sekolah seperti biasa, namun ia memilih untuk memupuk air matanya dilantai bandara saat melihatnya terbang ke kota. Ribuan nasihat yang mereka berikan padanya, namun satu pertanyaan yang muncul dari mulut siswa kelas 4 SD yang tak lain adalah adiknya sendiri...
bang ngape disetiap bahasa ade kosa kata menangis...?”
Terdiam sejenak ia untuk berfikir... namum belum sempat terjawab iapun berkata lagi..
“karne disanak juak ade kate tertawa”
Ia tertawa seakan melecehkan kata-katanya itu.. lalu ia bertanya..
maksudnye ape itu Ka..?” Oh iya nama adik nya itu Antika, jadi panggilan pedek ia padanya “ka”. Sedangkan adiknya yang satunya berumur 2 tahun dan namanya Agustri.
                menangis toh lambang sedih, susah payah, sedangkan tertawa itu lambang bahagia, jadi abang jangan takut susah payah karene kelak pasti ade bahagie  kata-katanya begitu bijak bukan,,..?
                Sejenak ia terdiam dalam lamunan, sisa detik-detik perpisahanpun mereka habiskan dengan bercanda sesekali merenung karena ingin segera berpisah. Detik berganti menit,  hingga tanpa terasa pesawat akan segera “take off” namu sebelum masuk tangis perpisahan menghiasi perjalanannya, tak lain adalah siswa yang begitu bijak namun kini menangis tersedu-sedu. Hingga ia sadar ternyata adiknya begitu sayang padanya meskipun hari-hari mereka tak lepas dari perselisihan. Namun itu tak mengurangi rasa sayang nya pada adiknya itu.
                Sobat... ketahuilah saat itu merupakan pertama kalinya ia berada dalam pesawat. Hingga berlahan waktu berganti, kabut yang menutupi pulau belitung kini berganti kepulau jawa. Dengan tekat yang kuat tibalah ia di jakarta bersama tetangganya yang sama-sama menuju ke Jogja.

***SOETTA***

                Sedang asyik menikmati pemandangan hidup di sekitar bandara Soekarno Hatta, tiba-tiba HP butut nya berdering setelah beberapa saat ia matikan. Dengan sedikit rasa kaget bercampur rasa malu karena bunyinya sungguh jauh berbeda dengan HP orang-orang zaman sekarang hehehehehe...  tak lain adalah panggilan dari ibunya.........
                “assalamua’laikum” panggilan ia jawab dengan sedikit canggung di antara ratusan orang yang memiliki wajah modern masa kini.....
                waalaikumsalam iapun mejawab.
Agik dmane...?” ibunya bertanya lagi.
“di bandara mak..... kini baru nelpon y....” singkatnya ingin  metutup telpon ibu dari ibunya.
“oh iye lah mun gitu seh, kini nelpon e mun lah sampai jogja ye, assalamu’alaikum...”
“wa’alaikumsalam”
 Jujur saja waktu itu kepalanya masih terasa pusing karena ayunan ombak yang ia rasa saat di pesawat. Tak kuasa ia menahan lapar setelah beberapa saat menunggu pesawat menuju kota tujuannya yaitu Jogjakarta. Akhirnya ia memilih untuk membuka bekal yang di sediakan oleh ibunya yang sejak subuh dipersiapkan khusus untuk seorang putra yang kini terbang meniti jembatan masa depan yang sulit diperkirakan. Oh iya sobat perlu diketahui bahwa ia terbang hanya ditemani 1 tas tang bertuliskan ”BANGKA BELITUNG’’ yang tak lain adalah pemberian seorang ATLET nasional yang tak asing lagi baginya. Namun tas tersebut berada didalam bagasi pesawat sedari tadi. Namun kini yang ada dihadapannya yang ia gunakan untuk membawa bekal adalah tas yang sudah ia gunakan sejak kelas 1 SMK yang mana sudah memiliki bekas operasi dimana-mana. Namun itu bukan masalah yang berarti baginya ketika ingat tas yang digunakan ayahnya untuk membawa bekal ke lahan sumber pencarian, itu jauh lebih tua yang jika diperkirakan seperti manusia ia telah dalam kondisi kritis. Tetapi tiba-tiba tas itu pula yang membuatnya tersentak sedikit malu saat membuka resleting tas yang tidak bisa di kompromi sehingga membuat perutnya bersabar sejenak. Kini keberadaannya serasa dipenuhi oleh mata-mata orang yang pada dasarnya belum tentu melihat dirinya.






[1] Peletik biasa dikenal dengan nama ketapel yang merupakan senjata tradisional setempat yang memiliki fungsi seperti senapan. Peletik terbuat dari kayu bercabang yang ditambah dengan beberapa karet sebagai energi pegas serta belulang yang digunakan untuk meletakkan peluru yang biasa terbuat dari batu.

[2] Cong mak ilong merupakan lagu yang hingga kini belum terdaftar sebagai lagu daerah setempat apalagi lagu nasional.

[3] Tangkun merupakan pohon yang di desain dengan kayu sebagai alat bantu untuk memanjat. Tangkun dibuat senyaman mungkin layaknya rumah tarzan. Tangkun digunakan untuk mencari punai dengan proses yang dinamakan MULUT.
[4] Pulut merupakan alat yang digunakan untuk menjebak burung. Pulut terbuat dari getah karet namun terkadang juga dibuat dari karet bekas yang dibuat layaknya lem.
 

Pigura