Sunday 29 March 2015

BLOG DITUTUP

Bunda kutinggalkan dengan air mata
dan wanita pergi atas nama cinta


Rindu ini kian tak bertuan.
Jogja, 30 maret 2015

     Belum kering embun semalam yang menetes kian jernih dari pelupuk mata dua insan yang tak sepaham. Ketika bulan itu kian mengintip malu, dari celah ranting pohon rambutan. Penjelasan panjang tentang kerinduan yang datang bukan sebuah titik pembahasan dalam malam. Karena hakikatnya rindu setiap malam senantiasa bertamu. Sepi, sunyi dan gelap. Mata kian tertutup  pikiran kian melayang. Jauh tak terarah, mungkin menjelajah negeri diatas awan. Rindu ini selalu ku alamatkan kepada bunda yang jauh dimata. Namun pelipur lara datang atas nama cinta. Bunda sempat kutinggalkan dengan air mata. Kupergi atas nama cita-cita. Sampai pada satu kota aku disambut makhluk bernama cinta. Benar adanya, nyata dan ada didepan mata.
     Haramkah hadirku? Entahlah, kini dinding waktu kian menipis. Berbanding terbalik dengan tirai pertemuan yang kian tebal. Halangan dalam alasan kian datang. Sampai kusadari rindu ini kian tak bertuan. Malam ini mata enggan terpejam. Waktu kian sangar menunjukkan kekuasaannya yang kian elegan. Milea, rindu itu sakral. Kita bisa berjanji tuk senantiasa menjaga, akupun percaya ketika bulan berganti peran semua akan terlaksana. Tidak perlu diucapkan hati kita kian bicara tentang adanya rindu didada. Getaran yang berbeda kian nyata. Namun bukalah tabir realita bahwa  duduk berdampingan adalah duta pelipur rindu. Malam ini, ku yakin malam tersenyum mendengar perbincangan kita yang tak kunjung usai. Angin malam yang didaulat sebagai duta rindu kian ku layangkan agar kita sama-sama tau.
     Detik ini aku kian sadar, mungkin ini dosa masalalu yang kian berlanjut. Doa hati yang pernah disakiti. Ingin rasanya bersandar sejenak dipundak Bunda. Sekedar bercerita tentang Milea. Namun ia jauh dimata. Hingga mata kian terbuka bahwa pemilik rindu ini kian menyiksa. Tuan si rindu ini kian tak ada.



Sunday 15 March 2015

Terjebak Indah di Kota Budaya



Rindu adalah makhluk paling kejam. Jika tidak kuat, jangan berkenalan dengan jarak dan waktu. Karena rindu adalah anak dari keduanya. ---Yudhi Doank--- 

Yogyakarta, salah satu kota yang harus diberikan lantai dua, karena kini penuh dengan pendatang yang tinggal dilantai satu. Kota yang telah melahirkan jutaan sarjana. Saksi bisu jutaan mahasiswa di wisuda. Sejak dulu –ketika rumah kost belum begitu popular—kota ini sudah dikenal sebagai kota pelajar, atau jika tidak kota ini adalah kota budaya. Alangkah indahnya ketika keharmonisan budaya bisa disandingkan dengan ilmu pengetahuan. Saat jutaan ilmuan yang dilahirkan universitas, dengan waktu yang sama kota Jogja juga mengajarkan nilai budaya didalamnya.Dan itu semua mungkin hanya bisa di temukan dikota berlabel istimewa ini.
Tidak perlu panjang lebar mendeskripsikan kota Jogja, cukuplah satu kata istimewa. Tulisan ini berawal dari percakapan saya dengan seorang teman. Ketika hari minggu adalah hari istirahat bagi mereka para pekerja, hari libur untuk mereka pegawai dan pelajar. Namun tidak dengan segelintir kaum seperti kami. Ketika seorang teman bertanya- “Mas Yudhi aslinya (memang saya palsu?) mana mas? Maksud saya Jogjannya dimana?” mendengar pertanyaan itu sebetulnya sudah tidak asing lagi ditelinga saya. Saya pastikan dia bukan orang pertanya yang mengira saya penduduk asli kota ini. Sambil tersenyum saya katakan “Saya asalnya dari Belitung, Mbak”. Sontak ia kaget dengan jawaban yang saya berikan, dengan wajah heran dan mengisyaratkan bahwa ia sangat tidak percaya dengan jawaban saya. Sekilas ia menggambarkan tentang saya dengan kata-kata nya “Maaf mas, tapi dari wajahnya mas seperti orang jawa, gaya bicaranya juga. Tidak ada kemiripan dengan orang Sumatera”. Lagi, kata yang demikian keluar darinya bukanlah pertama kali ku dengar. Dia adalah orang yang kesekian yang berkata demikian.
Berselang beberapa saat setelah kami sibuk didepan layar dengan pekerjaan masing-masing, tiba-tiba kembali ia bertanya “memangnya mas nggak kangen sama keluarga?” sebelumnya saya sempat bercerita kalau saya jarang pulang ke Belitung. Kembali, saya hanya tersenyum, bukan karena tidak memiliki jawaban, hanya saja pertanyaan tersebut telah ia jawab sendiri. “hehehe maaf mas, nanya nya begitu, pastilah kangen ya Mas? Haduuhhh”. Dalam waktu yang sama, saya sempat berpikir.”mengapa saya begitu betah dikota ini? Apakah saya lupa dengan desa dimana saya dilahirkan? Apa yang telah dijamu kota Jogja untuk saya? Apakah benar saya kini sudah terjebak nyaman dikota ini? Begitu banyak pertanyaan lain yang terbersit. Namun satu kalimat yang kini sangat membekas memangnya mas nggak kangen sama keluarga?”
2010 adalah tahun dimana kaki ini mulai dilangkahkan. Mulai berpijak ditanah jawa, melangkah dan berjalan dikota Jogja serta berdiri dan tertunduk hormat di kota budaya yang Istimewa. Sejak awal masa penjajakan hingga kini, begitu banyak pergantian fase, dari jumlah detik kedetik yang lain, menit ke menit yang lain, jam, hari, bulan bahkan tahun ketahun yang lain. Akan tetapi ada satu yang tidak pernah tergantikan, sebuah nama yang disebut alamat. Gang Mangga adalah saksi perjalanan hidup saya sejak masih dalam penjajahan hingga kini saya sudah merdeka (dari biaya orang tua hehehe). Kebroan (desa) yang saat itu masih jaman jahiliyah hingga kini terang benderang bahkan hingar bingar oleh lampu dan hiburan yang datang dari XT SQUARE setiap malamnya. Sungguh saya adalah orang yang setia. Bagaimana tidak, tinggal diruang berukuran 3x3 yang di nahkodai seorang nenek -- yang bahasa setempat disebut “mbah”-- saja saya masih tetap bertahan. Perlu diketahui bahwa kost ini sangat strategis, selain dekat dengan tempat keramaian XT SQUARE, kost ini juga sangat dekat dengan perkampungan orang sebelah (kuburan). Yang terpenting adalah kost ini terletak diantara 2 Kampus sang pencerah sehingga jalan kecil didepannya sering digunakan sebagai jalur alternatif oleh mahasiswakere karena tidak memiliki helm.
Ah sudahlah, lain kali akan kuceritakan tentang sebuah kata yang bernama “kost”. Seperti biasanya aku lupa sekarang sudah hidup pada detik keberapa. Sarjana matematika pasti akan langsung menghitung dan tau bahwa kini sudah memasuki tahun ke lima. Namun sayangnya saya adalah sarjana bahasa. Yaaahh tepat sekali, kini saya tidak lagi menyandang status mahasiswa, melainkan telah menjadi bagian dari jutaan Sarjana yang diwisuda dikota ini. Mengapa hingga kini saya masih saja dikota ini? Belajar hidup yang disebut “legowo”, berjalan didepan warganya seraya mengucapkan “monggo”, mengkonsumsi hidangan khas mahasiswa bernama “Burjo”, berkomunikasi menggunakan bahasanya walaupun hanya sebatas “Iso dan Ojo”. Apakah tidak ada ruang rindu untuk keluarga? Ingin rasanya ku bertanya kepada sarjana Geologi atau bahkan Geografi sekedar ingin tau berapa jarak kota ini menuju rumah. Bertanya kepada sarjana matematika sekedar ingin tau berapa jumlah detik dalam sewindu.
Rindu, makhluk apasih kamu? Ku yakin sarjana matematika tidak akan mampu mengkalkulasi jumlah rindu. sarjana biologi yang tidak akan mengerti Zat apa itu rindu. Sarjana fisika yang bingung akan ion rindu. Sarjana pertambangan yang tak akan mampu mengukur kedalaman rindu dari perut bumi. Sarjana hukum yang tidak akan tau pasal tentang rindu. Tapi mengapa sarjana sastra dan bahasa senantiasa bermain kata tentang rindu? sementara ketika rindu itu datang lidah mereka akan kaku dan kelu. Sungguh kau makhluk astral yang bersembunyi indah dalam diri ini. Hingga setiap mereka yang datang selalu mengira tidak ada rindu untuk mereka yang bernama keluarga. Hingga ketika malam dan hujan berkata “kamu sedang rindu”


Friday 6 March 2015

Berpuisi untuk mama (?)

http://stat.ks.kidsklik.com/statics/files/2013/12/1387659659112088958.jpg
Selamat malam, Ma....
Sudah tidur?
Ma, aku sedang diatas genteng
Berpijak dipulau jawa
Berdiri dikota budaya
Dimana mama? J
Teringat masa kecilku, Ma
Kau adalah koki
Bukan profesional
Hanya untuk ku sarapan pagi
Kau adalah penyanyi
Bukan profesional
Hanya menghiburku saat sedih
Kau adalah sopir
Bukan profesional
Hanya antar jemput ku sekolah
Kau adalah komedian
Bukan profesional
Hanya membuatku tertawa ditengah tangis
Kini
rambutmu kian memutih
Tubuh mu kian membungkuk
Saat hujan deras, berangin, dan gelap
Itulah aku yang kini jadi sang perindu

Yogyakarta, 6 Maret 2015
Oleh: Yudhi Doank

Tuesday 3 March 2015

Sepenggal rindu untuk Bapak

Suatu pagi seorang bapak muda duduk dengan putranya. Ditengah kegundahan hatinya karena sedang sakit, bapak tersebut tidak bisa bekerja seperti biasanya. Dia duduk dibangku panjang sambil bercengkrama dengan putra kesayangannya itu.
Putra tersebut sedang berusia 3 tahun. Masih terlihat jelas rona bahagia sang bapak karena anaknya kini kian tumbuh besar. Dipeluknya erat anak tersebut karena udara semalam masih menyisakan embun dipagi itu. Acap kali sang anak bertanya deangan bapaknya
Pak, itu burung apa” sang anak bertanya kepada bapaknya sambil melihat burung diatas pohon rambutan didepan rumah
itu namanya burung kelayang” jawab sang bapak sambil memeluk putranya dengan kasih sayang.
Berulang kali sang anak bertanya tentang nama burung itu. Mungkin ada sekitar belasan pertanyaa yang diberikan oleh anak tersebut kepada bapaknya. Semua pertanyaan tersebut adalah sama. Dengan sebanyak itu pula sang bapak menjawab pertanyaan putranya dengan sabar. Tanpa marah sedikitpun. Malah dijawab sambil memeluk erat si putranya itu.
Berlalunya waktu tanpa terasa anaknya sudah tidak lagi berumur 3 Tahun. Anaknya sudah menduduki bangku SMP dan mulai beranjak remaja. Kasih sayang sang bapak tidak sedikitpun berkurang. Sama seperti orang tua yang lain. Bertumbuhnya usia sang anak kiti seakan tidak dirasa. Hingga ia membelikan sepeda untuknya bersekolah. Berbagai liku kehidupan dalam sebuah keluarga kecil itu terjadi. Hingga satu hari ia menyadari  sang anak kini telah tumbuh menjadi anak yang remaja. Ketika anaknya belum pulang sekolah padahal jam sekolah sudah terlewati sekian lama, perassannya kian menjadi kacau. Pada saat itu anaknya sekolah di sebuah SMP dengan waktu dimulai siang hari hingga sore hari. Anaknya tidak sendiri, ada 6 orang siswa lain kini yang mengayuh sepeda bersamanya.
Sore itu anaknya belum juga datang sekolah, hingga jarum jam menunjukkan angka 7 tanpa matahari terbit alias jam 7 malam. Perasaan gundah seorang ayah kini kian kuat. Bukan tanpa alasan, kekhawatiran tersebut memiliki alasan yang kuat mengingat medan yang dilewati begitu terjal. Bagimana tidak, hutan sepanjang 6 Km mereka lewati setiap hari menjadi kekhawatiran setiap orang tua yang menyekolahkan anaknya disana. Tidak terkecuali bapak muda yang beranjak tua tersebut. Hingga melewati batas kegundahannya, bapak muda tersebut menunggangi sepeda Phoenix kesayangannya untuk memastikan apa yang terjadi pada anaknya.
“Bu, bapak menyusul anak anak dulu, kok jam segini belum juga sampe rumah” ucap sang bapak muda kepada istrinya yang juga semakin gundah.
“iy pak, cepat dipastikan anak-anak itu, kok belum juga pulang” ucap ibu muda yang tidak kalah gundahnya
Dengan sepeda tuanya yang dihiasi rasa gundah, sang bapak kini semakin kuat menggenjot pedal sepedanya hanya ingin memastikan putra kecilnya dulu. Dimana dia? Ada apa dengannya? Mengapa kini beum tampak dimatanya? Begitu banyak pertanyaan yang berkecamuk dalam kepalanya. Hingga ditengah perjalanan sang bapak menghentikan sepedanya dengan keringat bercucuran di kening tengah bayanya. Oh... alangkah sayangnya sang bapak kepada anaknya hingga setengah perjalanan ia memastikan keadaan si putranya. Setelah ditemui, keringat sang anak membuktikan bahwa rasa letih nya kian ada. Ternyata salah satu dari 6 sepeda anak tersebut tersebut mengalami putus rantai sepeda. Dengan modal setia kawan, kelima teman anak tersebut turut menuntun sepedanya. Termasuklah si putra bapak yang setengah baya tersebut.
Perasaan lega terpancar jelas di wajah bapak tersebut, kini tak ada lagi gundah dihatinya. Semua pertanyaan yang selama ini berkecamuk dikepalanya sudah terjawab. Perasaan senangpun kian muncul bercampur perasaan bangga melihat kekompakan yang muncul dari ke-6 anak manusia tersebut. Dengan santai sang bapak ikut menuntun sepeda tuanya hanya karena ingin melihat dan bergabung dengan kekompakan si anak. Dengan perasaan bangga sng bapak tersenyum dan bergumam dalam hati “syukurlah anak-anakku tidak kurang satu apapun”
Sampai dirumah sang bapak langsung menuju sumur dan  menimbakan air untuk anaknya mandi. Sungguh tanpa lelah ia menyiapkan segalanya. Dan ibu yang sedari tadi menyiapkan makan malam. Setelah mandi mereka makan malam dengan ditemani lampu neon sebagai media penerangan. Meskipun tertunda, namun makan malam mereka tidak kurang satu apapun, malah bertambah bumbu keharmonisan dalam keluarga kecil itu.
Hari berganti bulan, bulan berganti tahun, tibalah waktunya sang bapak kini harus melepas putra nakalnya. Bukan melepas ke hutan, karena itu memang dunia mereka. Namun kini harus melepas kekota. Sampai tanpa terasa sang putra kini tidak sendiri, hadir pula seorang putri kecil sebagai penghias rumah. Sebagai teman sang ibu untuk bercanda. Hingga ketika putra kecilnya dulu melangkah kan kai ke kota, mereka tidak terlalu kesepian.
Dalam kesehariannya sang bapak terus saja kekebun ladanya untuk sekedar membunuh waktu. Belum sewindu namun sudah rindu. Bapak yang dulu dengan sabar memapah putranya untuk belajar berjalan, kini tidak tampak lagi wajah kecil itu. Sampai pada satu hari ia menerima telpon dari sang anaknya
“Pak, sekolah meminta bapak untuk datang dalam pengambilan rapot” ucap putranya yang kini hanya terdengar lewat telpon.
“Kapan bang? Memangnya tidak bisa diwakilkan? Minta paman yang datang bisa tidak?” seraya mengajarkan kepada putrinya agar memanggi putra kecilnya dulu dengan panggilan abang.
“Minggu depan pak, kata kepala sekolah akan lebih baik orang tua sendiri yang datang” jawab sang putanya dengan sopan
“oohhh baiklah, diusahakan bapak datang yah” demikian sang bapak menjawab sambil menenangkan hati si putranya.
Bagai ditampar, kini sang bapak yang dulu masih muda, kini kian merasa tua. Jelas, karena kini juga ia menyadari kalau putra kecilnya dulu sudah beranjak dewasa. Ternyata saat ini dia sudah menduduki bangku kelas 3 SMK. Jelas sudah kalau usia bapak muda itu kini beralih semakin tua. 5 menit setelah berbicara pada anaknya ia sempatkan untuk merenung sambil bergumam
“ternyata putra kecilku dulu kini sudah beranjak remaja. 3 tahun sudah ia jauh dariku. Tak kulihat lagi tangisnya yang dulu. Pun begitu dengan tawanya. Bagaimana kabarnya sekarang? Masihkah kecil seperti tempo hari? Atau sudah lebih tinggi dari aku? Demikian gumamnya dalam hati.
Suatu pagi, matahari yang tidak juga muncul karena keangkuhan sang cuaca dan awan gelap. Benar saja, pagi itu begitu gelap, namun kapten kapal nelayan memberikan kode seakan jangkar siap diangkat. Sang bapak nekad untuk memenuhi panggilan sekolah untuk mengambil rapot anaknya pada besok hari. Dengan menumpang satu-satunya transportasi yang memungkinkan itu ia tetap memberikan senyum. Dermaga pulau pongok menjadi saksi betapa rasa rindu dan cinta sang bapak begitu besar terhadap putranya. Bukan tidak khawatir dengan ketinggian gelombang, namun cinta pada putranya melebihi kekhawatiran itu. Bukan tidak takut melihat ombak didermaga yang kian tinggi, namun rindu pada anaknya telah menyembunyikan pisau ketakutan itu.
Setelah meewati perjalanan laut kurang lebih 6 jam, dengan kepala pusing akhirnya ia tiba didermaga Tanjungpandan belitung. Sebisa mungkin ia menyembunyikan kabar yang tak enak selama didalam kapal. Benar saja, diantara banyak penumpang kapal nelayan tersebut, ada seorang remaja putra yang mengalami pusing yang tak terhingga. Sampai pada titik puncaknya ia pun muntah diatas tubuh bapak tengah baya itu. Inginrasanya marah, namun remaja itu menginatkan ia pada tujuannya berangkat. Ia membayangkan wajah yang sekian lama tidak ia lihat. Wajah yang dulu sering ia ajak melihat burung kelayang didepan rumahnya. Oleh karena itu amarahnyapun redam dan berpura seolah tidak terjadi apa apa. Meskipun dari bercak kemejanya terlihat jelas oleh sang anak bekas muntahan seorang remaja putra.
Keesokan harinya, iapun pergi kesekolahan si putranya. Bedanya dulu ia yang membimbing putranya itu dan mengantarkannya dengan sepeda tua ketika SD. Sekarang kembali putranya memimpin langkah untuk menuju sekolah yang ia lihat baru baginya. Dulu putra kecilnya menggunakan seragam kerah putih, kini sudah beralih menggunakan putih abu abu. Sampai pada giliran nama putranya dipanggil, wajahnya sungguh sumringah. Mendapati nilai putranya yang kian memuaskan. Yaaahh... mungkin rasa rindu dan sayang atas putranya menjadi bumbu penyedap senyum atas nilai yang ada ditangannya.
Karena kebunnya kian dirindukan, serta ia megitu dibutuhkan oleh tanaman yang ada dikebunnya, iapun garus meninggalkan putranya dan kembali ke rumah. Sama seperti pergi, kembali pun ia menggunakan kapal nelayan yang kian semakin mengerikan untuk ditumpangi. Bukan karena rusak, namun cuaca memang kini sedang tidak bisa bersahabat. Gelap dilautan lebih menakutkan jika dibandingkan gelap di gunung. Yahh mengertilah maksudku.
Dan hari ini, tepat di gedung ini. Tempat dimana jutaan mahasiswa di wisuda. Tempat yang dulu dan hingga kini dikenal kota pelajar dan kota budaya. Ada seorang anak yang rindu akan ayahnya. 3 Maret 2015 pagi, putra kecil kesayangan sang bapak kini berada di antara ratusan manusia. Mengantri digedung Imigrasi Yogyakarta. Bisa ditebak bukan, orang pribumi berurusan ke kantor imigrasi. Yah... dia berdiri di line antrian dengan membawa status pemohon untuk penerbitan paspor. Putra kecil sang bapak dulu kini sudah berdiri dan tertunduk hormat dikota budaya ini. Bukan tentang mau kemana ia pergi dengan paspornya itu, namun tentang sebuah kenangan yang ada ditengah hujan angin kemaren.
Ditengah antrian yang kian memanjang, ada seorang bapak yang kian menua dengan menggendong putra kecilnya. Dengan penuh kasih sayang bapak dan anaknya berbicara
“Pak, itu burung apa?” tanya anak kecil itu.
“itu burung gereja” jawab sang bapak, dengan penuh kasih sayang dan pelukan
Pertanyaan yang sama juga bukan hanya sekali itu, namun berkali kali anak kecil itu bertanya. Sebanyak itu pula sang bapak menjawab dengan kasih sayang, tanpa memarahi anaknya sedikitpun. Sontak kejadian itu mengingatkan seorang anak yang kini rindu akan bapaknya. Mungkin kini tak semuda bapak itu. Yang pasti anakmu kini kian rindu.

Yogyakarta, 3 Maret 2015 oleh Yudhi Doank
__Bapak, anakmu kini kian jauh, mungkin kan menjelajah dan keluar dari negeri antah berantah ini. Cerpen ini didedikasikan untuk Bapak yang jauh disana. Putramu kian sayang dan rindu.

Selamat malam Expresso

Hujan, 1% adalah air, sedangkan sisanya 99% adalah kenangan. Oh iya ini malam apa ya? Lupa waktu kalo udah kayak gini. jarum jam seakan mati, malam seakan ditikam, hujan bagaikan butiran mutiara yang jatuh dari langit.
Toshiba dan Asus adalah dua makhluk hidup sebagai saksi dimana kami berada. Bukan manusia, karena semua seakan tak ada. Bukan mati, hanya memang tak kami hiraukan. Catatan malam tentang kami mungkin memang sudah berakhir, namun peduli amatlah, makan aja belum. hehehe
3 maret adalah angka yang bisu dimana rasanya ingin ku bunuh.Sejak pagi aku sudah disibukkan dengan urusan ke-imigrasian. Hingga sore tepat --karena matahari memang tidak ada, padahal baru jam 3-- aku baru menginjakkan kaki kedalam ruangan 3x3. Benar saja, jika sejak siang hari jogja memang sudah dibuat menangis oleh kekejaman alam yang senantiasa tidak bersahabat. Entahlah mungkin menangisi negeri ini. Peduli amat, mbah Amat aja ga pernah peduli tuh. Sayangnya disini nggak ada mbah Amat, yang ada hanyalah sekumpulan anak muda tapi tidak ada anak mudi --aturan baku bahasa-- disini.
Ada banyak mata yang memang tidak saling mengenal, seperti diawal, makhluk bernama toshiba dan asus adalah dua insan yang tidak saling mengenal. tapi ada yang punya. Mereka tidak paham akan hujan diluaran, hanya saja melihat sang tuan tersenyum sepanjang waktunya. bagaimana tidak, jika diibaratkan biro jasa, mereka berdua memang sangat berjasa. Mereka menjadi agen curhat para tuannya. Bahkan tak jarang mereka sakit sakitan. Ada juga yang mengalami kerusakan organ dalam. Ku yakin dua makhluk bernama toshiba dan asus ini sedang lelah. Hannya enggan untuk berkata.
Sudahlah... mereka berdua hanya makhluk penghias malam ini. Bukan mereka yang ingin ku ceritakan. Kalau boleh aku mau berpuisi sebentar.

Dari tulang rusuk lah kau diciptakan
bukan kepala
sebagai atasan
pun bukan kaki
untuk direndahkan
melainkan dari satu sisi
untuk dijadikan pendamping

Dekat dengan tangan
untuk dilindungi
Pula dekat dengan hati
untuk dicintai

Semua bisa diartikan dalam makna yang sebenarnya. Namun juga jika ingin diartikan dengan makna khiasan, maka malam ini sangatlah tepat. Entahlah.... panjang pertimbangannya untuk berpuisi ditengah hujan begini. Kasihan pengunjung Expresso, nanti keburu mau pulang padahal masih hujan. hehehe. Yahh ketika makhluk bernama cinta ku ceritakan maka tak cukup waktuku disini. Betapa tidak, makluk yang satu ini berhasil menyembunyikan sebuah pisau yang memang sempat menyayat tadi sore. Gubraaaak... Ehhh ternyata ada orang disamping. heheh peace mbak, kayak orang berantem aja. Nggak teguran gitu. Loohhhhh siapa yah? kutanya pada pisang dan segelas kopi? mereka bingung. Tanyakan lagi pada roti. Apalagi roti... mukanya aja udah dibubuhi dengan cokelat gitu. mana bisa dia melihat. Tapi sang kopi berdelik seolah mengatakan
"hey... dia yang sering kau ceritakan dulu, ketika kau masih setia padaku ditengah malammu, kamu kan sering bercerita tentang Milea, kurasa itu dia."

Ohhhh.... tuh kan, sering lupa waktu. udah ah. udah malam.... terimakasih Kopi --setengah cokelat-- telah menyadarkan ku. :-*

Pigura