Monday 24 October 2016

Suasana Kota Sepeninggalan Raja Bhumibol Adulyadej

Songkhla, 2559/ 2016. Sepekan setalah meninggalnya raja Thailand  Bhumibol Adulyadej, suasana duka semakin tampak mendalam. Raja yang menutup usia di umur yang ke 88 tahun itu dikenal sebagai raja yang bersahaja oleh rakyatnya. Kecintaan kepada rakyatnya membuat ia dicintai oleh rakyatnya di setiap pelosok negeri gajah Putih. Raja Bhumibol Adulyadej menjadi raja pada usia 19 Tahun, dan memimpin selama 70 tahun, oleh karena itu ia adalah raja terlama sepanjang sejarah di dunia.
Sebelumnya, pemerintah Thailand menetapkan masa duka/ berkabung selama setahun penuh. Mengingat hal itu pula, perbedaan yang mencolok di sekitaran kota Hatyai semakin tampak jelas. Suasana jalanan tidak seramai biasanya. Jalanan kota yang dulu dipenuhi oleh gambar Raja kini terliat kosong.
“Sebetulnya kami sangat berat untuk membuka semua gambar yang sudah bertahun-tahun terpasang” Ungkap seorang sopir tuk-tuk ketika saya tanya perihal tersebut. “Beliau sudah memimpin negeri ini sejak masih belia, kecintaan terhadap rakyatnya sangat besar, maka sekarang hampir dipastikan semua rakyatnya sedang berduka” imbuh sopir tuk-tuk yang lainnya.
Selain itu, suasana di sekitar taman dan tempat keramaian hampir dipenuhi pakaian berwarna hitam. hal tersebut berdasarkan keputusan pemerintahan Thailand untuk menghormati mendiang yang sudah meninggal. Sehubungan dengan hal itu, pakaian hitam yang ada di mall maupun yang dijual di tepi jalan kini menjadi mahal dalam waktu sekejap. “Mahal, karena banyak peminatnya” Ujar seorang penjaga toko di BIG-C Hatyai ketika saya bertanya perihal melonjaknya harga kaos berwarna hitam.
Saat ini rakyat Thailand menunggu dilantiknya Putra Mahkota Maha Vajiralongkorn setelah dikabarkan bahwa dirinya meminta waktu untuk menyiapkan diri. Rakyat Thailand berharap Maha Vajiralongkorn akan bersahaja sebagaimana ayahanda yang memimpin negeri Gajah Putih. 

Friday 30 September 2016

SUMBU

http://4.bp.blogspot.com
Setinggi apapun sumbu ku letak
bila kau siram minyak
ia menjalar, terbakar jua

Ternyalanya api diatas sumbu
basah, sedikit bau, namun menerangkan
panas, menyakitkan, namun menerangkan

Malang sekali engkau, Sumbu
dibasahi lalu dibakar
demi menerangi kafilah-kafilah malam

Adalah kita, sepasang cicak
di dinding yang terterangi olehnya.

Monday 26 September 2016

Sajak Kau, Lilin dan Rembulan

http://santrigaul.net/cara-membuat-lilin/


Adalah kita kini dalam kegelapan
malam nan merajalela
Dinda, usah kau sibuk
mengatur letak lilin
supaya rupamu terlihat elok
sebab tanpa lilinrembulan tertunduk akan ayu paras mu
(Meja Guru, 26 Sept. 2016)
Hyd

Thursday 8 September 2016

Sajak-Sajak Semesta

dok.pribadi
Adalah sulit bagiku memahami
setiap sajak-sajak semesta
dititipkan oleh-Nya diksi rumit dalam bola mata
ada sejuta lirik dan nada dalam lidahnya

Lalu pena ku hanya bak ranting patah
pena yang setengah hampir tak bertinta
berulang kali ku tulis,
aksaraku berantakkan menumpahkan
darah ketidakpahamanku atas mu

duhai engkau
sajak-sajak semesta
duduk lah yang manis
bersandinglah dalam kanvas-kanvas
usang pun jua kusam ini
selebihnya kan ku pahami kau
dalam sebait do'a

duhai....
wanita jelmaan sajak-sajak semesta

Th.08-09-16
Haiyudi

Wednesday 7 September 2016

Hujan

hujan dan pergi
Malam ini hujan
aku tertawa geli di hadapan jendela
menghadap ke lapangan
"hujaaan" 
"hujaaan"
gumam ku

tidak ada yang lebih pedih dari hujan
dirahasiakan olehnya air mata insan 
tersebab perihnya perihal cinta.

tidak ada yang lebih mulia dari padang
diserapkannya air mata mulia hamba
tersebab perihnya perihal cinta.

Cinta? Katanya sih demikian.

Thailand, 7 September 2016
Hyd


Tuesday 30 August 2016

Aku dan Strawberry



Suatu hari aku bertemu dengan penjual strawberry yang berjejeran di tepi jalanan. Aku terkagum melihat merahnya yang merona. Sana-sini aku memalingkan wajah agar tidak tergoda. Apalah daya, aku merupakan seorang yang terlalu menyukai buah-buahan.

Aku berjalan menuju penjual strawberry yang bertama. Berpura-pura menanyakan harga strawberry seakan aku yakin hendak membelinya. Dalam benakku yang terbayang hanyalah manis. Mengapa? Karena wajahnya merah, kulitnya menggoda serta bentuknya menarik hati. Ternyata ibarat pepatah, jangan menilai buku hanya dari sampulnya saja. Apa yang ku saksikan di mata sungguh berbeda di lidah. Strawberry tidak begitu manis, Justeru cenderung asam. Bahkan sangat asam sejak gigitan pertama.

Selanjutnya aku pergi menuju penjual yang kedua di sebelahnya. Aku mendapati buah strawberry yang sama. Bentuk yang menggoda, warna yang tak ubah serta tekstur yang serupa. Aku kembali meminta izin untuk mencicipi. Dengan senang hati si penjual kedua memberiku strawberry yang paling manis "katanya". Aku mencicipi namun semua tetap sama. Tidak ada bedanya dengan penjual yang pertama. Rasanya tidak semanis yang ku bayangkan. Terus aku berpikir untuk mencoba mencicipi strawberry i pedagang selanjutnya. Sampai sekitar 7 kis strawberry ku datangi, aku tidak menemukan strawberry yang ku anggap manis sesuai prediksiku.

Tibalah aku di kios strawberry yang ke delapan, atau yang terakhir, Aku mencoba mencicipi dengan penuh harapan menemukan yang manis sesuai keinginan. Tiba-tiba penjual berbisik padaku "Anak muda, kau tak akan perah mendapatkan yang sempurna. Yang sesuai dengan yang kau inginkan. Seseorang yang merasakan manis bukan mereka yang tidak bisa merasakan asam. Tetapi justeru mereka yang selalu bersahabat dengan rasa asam dan pahit"

Hidup itu bukan tentang mencari yang manis, namun bagaimana bersahabat dengan yang asam. Maka, bila kau menemukan yang manis, hidupmu lebih bermakna dan luar biasa. Lalu bila kau menemukan yang masam, kau tidak akan apa-apa.


#hyd

Sunday 28 August 2016

Hitam Putih Kenangan

Malam ini aku terduduk
memeluk lutut setengah kedinginan
beranjak saja aku enggan
tiba-tiba
satu cahaya, menuntunku berjalan
daguku bergetar hebat
angin malam datang serupa kenangan
hampir rapuh aku dalam malam
menelusuri lorong dengan satu pelita

malam ini aku terduduk
membuka jendela menatap sejuta bintang
tersenyum selebar purnama 15 agustus
tiba-tiba
satu cahaya, menuntunku berjalan
sekejap dia hilang dan tak ada
menggigil aku gelugutan
mati tertimpa hujan lebat dan malam

Sayup-sayup ku dengar
Cinta bersabda, begitulah, Bujang
hitam putih kenangan
kadang menyubur, kadang mengubur


Thailand. 28 Agustus 2016
Hyd

Saturday 27 August 2016

Sajak; Pulang dan Hilang

Thailand 2016
Antara aku dan pulang
ataukah aku yang hilang?

Jejak-jejak purba kita berlalu-lalang
dilalui orang pergi dan pulang
persimpangan itu
persimpangan penuh sejuta
sejarah tersajak dalam tinta
tertulisnya sejuta kisah kau aku
persimpangan itu,
persimpangan yang membuat aku menoleh
memandang lalu berlutut
menumpu dan memupuk benih rindu
atas terpisahnya kita

"lupa aku setapak jalan tempuh masa silam"

adalah aku terduduk dalam hitam
membiarkan bintang menghitung
butir rindu dalam setiap hela nafas

adalah aku yang tertiup angin
masa silam yang kejam
yang hanya menyampaikan rindu
tanpa meramu jarak dan waktu untuk bertemu

"ataukah aku hilang dalam pertualang?"

Th, 28-08-16
Hyd,



Friday 26 August 2016

Sajak Anak Ayam

Persimpangan
Berulang kali aku membaca sajak-sajak rindu
tetapi patah dalam setiap renungan malam
terpampang wajahmu dalam diam yang ku lakukan
terlukis wajahmu dalam hitamnya nan kelam

Berulangkali aku menulis sajak-sajak kangen
luluh lantak dalam namamu di ketidaksadaranku
ruh-ruh sajak Rendra membingkai indah di pelupuk
Pertamakalinya aku rindu seberat ini

tidak tahu aku akan artinya sakit
gelap aku dari bayangan anggun lain
tatkala gerimis rindu darimu sedang bertamu
adalah aku si anak ayam yang sedang berteduh

Wednesday 17 August 2016

Aku dan 17 Agustusan

Dok. Pribadi,
Pengibaran Bendera Merah Putih di KRI Songkhla, Thailand, 17 Agustus 2016
Kemaren, 17 Agustus 2016 saya menjalankan kewajiban saya sebagai Warga Negara Indonesia. Saya terkejut melihat antusiasme kawan-kawan yang ada. Mereka datang dengan berbagai corak batik di badannya. Ada yang lipatan tokonya masih kentara, ada pula yang ada aroma setrika dan pewangi, dan lain-lain. Sementara saya hanya memakai batik hijau sekitar 3 tahun yang lalu, ah kasihan sekali. Tapi bukan itu yang mau saya ceritakan.

Lupakan perihal batik yang "saya" pakai.

Aku adalah anak kampung yang tersesat ke negeri orang. Menjalani pengabdian meskipun bukan di negeri sendiri. Sejak tahun 2015 silam diri ini sudah dididik untuk menghargai tanah air. Sebab kaki ini sudah tidak berpijak di tanah pertiwi. Sejak itu, baru aku sadar kalau keberadaan itu akan terasa setelah ketiadaan. Kerinduan akan tanah air semakin membuat hati ini membuncah-buncah.

Sekitar seratus lebih kami berjejer untuk sejenak tertunduk dibawah sang merah putih. Kadang menunduk kadang tegak, tergantung perintah dan aba-aba dari pemimpin upacara. Masing-masing dari kami ada yang serius, ada yang terharu dan juga ada yang "cengengesan". Ketika aba-aba hormat kepada Pembina upacara diberikan oleh pemimpin upacara, semuai menundukkan kepala, kecuali aku. Aku dengan tegaknya mengangkat tangan dan kemudian diletakkan dikening (harusnya diujung alis, kalau tidak salah). Ketika pemimpin upacara meminta untuk hormat kepada sang merah putih, saya menundukkan kepala, namun peserta upacara mengangkat tangan didepan kening.

Cukup sekian, setelah itu kami berfoto bersama, lalu makan dan saya tutup kalimat pertemuan kami saat itu "Sudah 4 tahun saya tidak ikut upacara" Ucapku dengan senyum lebar selebar Merah Putih yang berkibar di langit biru. hati ini senang bukan main.


Sunday 7 August 2016

Rindu Itu Karya Tuhan

http://artimimpi-az.com/
Dari manakah rindu ini datang?
padahal raut wajahmu tak ku kenang
ohhh......
daku lupa, laut dan pantai adalah karya Tuhan
mengirim angin penanda bahwa
kau tak kan lekang, semakin lama
semakin memutih bak pasir diantaranya.



Wednesday 3 August 2016

SABDA ALAM UNTUK INDONESIA

http://www.sbs.com.au/
senyumlah walau itu palsu 
bangkitlah walau tak selalu tegak 
bersenandunglah walau tak bernada 
tertawa, walau sebenarnya kita menangis 
Indonesiaku..... 
megah namun telah musnah 
yang tersisa hanya debu-debu kedustaan 
Indonesiaku... 
indah tapi kini telah sirna 
yang tampak hanya puing-puing kesedihan 
ketika nyanyian alam terdengar 
dengarkanlah!
ketika bumi mulai bergetar 
kasakanlah!
ketika butiran nyawa tak lagi berharga 
lihatlah!
pulau yang asri kini penuh noda 
penguasa yang jujur tak lagi ada 
nyanyian rakyat seakan percuma 
maka ketahuilah 
sabda alam 
itulah dia

Ditulis ulang:
Thailand, 2016
Hyd

Sajak Untuk Wanita

http://www.palingyess.com/
Dari tulang rusuk lah kau diciptakan
bukan kepala
sebagai atasan
pun bukan kaki
untuk direndahkan
melainkan dari satu sisi
untuk dijadikan pendamping

Dekat dengan tangan
untuk dilindungi
Pula dekat dengan hati
untuk dicintai

Ditulis ulang
oleh: Hyd

(Tak) Serupa Gugur Bunga

https://www.google.co.th
rindu ini tak serupa gugur bunga
yang jatuh seribu dalam satu masa
kadang di puja pujangga
kadang pula dilupakan pena-nya
hanya musim yang setia menantinya
Juwita....
rinduku jatuh berlahan satu persatu 
lalu ku titip ke tangan Tuhan
namun,
musimnya masih sama, kan :-) ?

Ruang Atas,
th, 2016

Hyd

Monday 1 August 2016

Surat Untuk Rembulan

mhdfaisal.files.wordpress.com

Suatu sore, di satu desa
aku, berlari mendekati lampu jalanan yang terang di tengah senja. Bergegas mencari penerangan saat mendung telah tiba. Rembulan malam lah yang ku temukan di antara gemerlap sinar pelita jalanan. Terang menyinari, indah mewarnai. 
Namun waktu tak berpihak padaku. Begitu jahat sang awan merenggut kehadirannya. Ia hilang, jauh dan pergi, selanjutnya lenyap dan tak kembali. 
Oh,...... rupanya musim telah berganti.
Musim penghujan tiba, 
Siang dan tak peduli malam, ia (hujan) terus saja membasahi bumi. Saat itu aku sadar bahwa aku bagaikan pemburu liar yang tak mengerti batasan, yang tak mengerti aturan. Bagaimana tidak, hanya akulah satu-satunya penikmat malam yang mencari rembulan di dalam hujan dan petir. 
Ah.... lupakan saja rembulan, barangkali ada bintang-bintang, gumamku sembari senyum.
Untukmu rembulan; Mati besok setelah mengenalmu adalah kebanggaan bagiku, dibandingkan aku hidup abadi di dunia ini namun tanpa mengenalmu. Ah lebaynya aku....
Ku minta, henyahlah kau rembulan hingga musim berakhir. Sekiranya musim telah berganti, datanglah! aku ingin menyaksikan kau bersinar seperti semula. Menerangi setiap pojok belahan bumi. 
Yah.. datanglah lagi ke peraduanmu. Bertenggerlah di ranting, agar bisa ku saksikan lewat jendela kamarku.
Sebab, bila saatnya aku jatuh cinta sama satu bintang, ku ingin melihat kau (rembulan) kembali purnama. 

Thailand, Agustus 2016 
Ditulis oleh:
Hyd



Sunday 31 July 2016

Ranjang Bambu

Ranjang Bambu

Malam ini aku tidak bisa menulis
rembulan tak ada
bintang hangus
malam pekat
sunyi menggeliat
lantas?
dimana ku temukan sajak sajakku?

sampai pada akhirnya,
biru pena ini tak lagi berguna
enyah, sirna, hilang dan lenyap
ku buang jauh serupa angin masa silam
lantas?
kepada siapa aku mengadu (h)?

malam ini,
adalah dinding yang paling mulia
disimpannya cerita lebam wajahku karena mu.
adalah pelita yang paling tercinta
diserapkannya cahaya mata ku nan berkaca
adalah ranjang bambu yang ku sayang
dirahasiakannya ratapan rindu "korang"

Thailand, The end of July, 2016
@Ranjang Bambu


#hyd

Saturday 30 July 2016

Bukan Pulang: Terkisahnya Ayah, Ibu dan Senja

Dok. Pribadi (Thailand, 2016)
Hanyut aku dalam senyuman senja sore ini
berpangku tangan membiarkan serta meninggalkan
roda-roda ini kian membawaku pergi menuju rumah
meninggalkan mentari, serupa sejuta wajah bidadari
ku kira ini perjalanan pulang,
menuju rumah yang ada serulingnya
serta gendang berirama satu dua dan tiga
sampai rupanya senja kian menghilang
dan aku hanya tiba di setapak persimpangan
inikah pulang?
lalu kuratapi lagi kepergiannya yang tak membekas
seiring bias langit biru yang sirna dalam hitam
aku sepi semakin menjadi-jadi
mati dalam sejuta kata tak senada, aku sendiri
inikah setengah mati?
Sekali lagi,
ku kira ini perjalanan pulang,
menuju rumah bertiang kayu nyire
kudatangi, pun daku tak jua sampai
diatas sana, di langit hitam
rembulan berkedip dalam bingkai jendela
serempak gerimis menetesi kaca (ini)
dia bisikkan padaku

"Pulang bukan meninggalkan (senja), pun
Pulang adalah menuju rumah yang ada
kecut keringat ayah
serta angin nasihat ibu"

bila tidak, selamaanya perjalananmu bernama pergi
sekali lagi, ini hanya perjalanan biasa
--bukan pulang--

Th, 30 Juli 2016
Bus Satun-Hatyai,

#hyd

Friday 29 July 2016

Hapus Tanda Tanya (?) Sajak Ini

Doc.Pribadi (Thailand, 2015)
Bahkan ketika angin menderu saja aku tidak terbangun, 
padahal aku tidur di ayunan, ditepi pantai, dekat dengan laut. 
nyaman sekali
sesaat kemudian aku mengaduh
rupanya bukan angin yang membangunkan ku, 
adalah sentuhan pasir yang kecil, 
yang ku datangi tanpa aku sadari. Ya aku terjatuh lalu terbangun. 
Ah.... angin ataukah pasir yang membuatku bangun? 
Aku terduduk, gemuruh ombak petang hari membuatku lena 
lentera alam melengkung indah membentuk senja 
sampan nelayan satu dan dua menjauh, kupangku kedua tangan.
Ah.... nelayan ataukah senja yang membuatku tertegun?
lalu malam mulai berbintang, cahayanya serupa lampu jalanan kota, 
bulan berdandan mempercantik dirinya sendiri 
menghadirkan senyum, sesekali meliuk-liuk dibawah awan hitam
Ah.... bintang ataukau rembulan yang membuatku tersenyum?
aku masih di tempat yang sama, tepi pantai itu
lonceng memintaku berjalan
menuju setapak jalan di persimpangan
langkah kecil ku ayunkan
sesekali ku tengok lautan hitam dan gelap itu
aku tersentak
kupejamkan mata, 
lalu ku buka
semakin tersentak
semua kata-kata ku disitu, hidup akur dan merdeka
bait-bait gurindamku menyala serupa cahaya
bak setiap kata adalah do'a, begitu kata pepatah
sedangkan namamu terselip dalam sajak-sajak ku, hidup, tumbuh dan mengakar
hapus semua "tanda tanya" sajakku (?)

terkisahnya sajak antara aku, kau, pantai dan malam.

Th, 29/30 Juli 2016
Hyd


Tuesday 26 July 2016

Mencintai Dengan Bijak

Sebelumnya, biarkan surat ini melayang. Menjauh lalu menghilang. Ini hanya perihal aku yang kan dibunuh waktu. Usah kau kenang, sayang. 

Untuk mu, yang bukan dia
Semenjak sehari seusai perkenalan kita, aku termenung panjang meratapi hari-hari yang akan datang. Mengkhawatirkan sesuatu, seolah ragu akan pertolongan Tuhanku. Tak perduli siang, apalah artinya malam.

Ku lihat satu tangan menggenggammu dengan erat. Kau tau? aku bagaikan dalam terowongan. Bingung, gelap, gelugutan, kedinginan dan ketakutan. Aku terus menanti datangnya sinar di ujung sana. Sinar indah yang datang dari rembulan tertidur lelap di bola matamu. Sinar indah dari gemerlapan kejora dalam tawa mu. meskipun tanganmu terikat padanya. Ahh... bodohnya aku

Detik yang berganti begitu berat, sayang (maaf ku panggil sayang). Jadi, bisa dibayangkan bukan? bagaimana kala menit berganti jam, jam berganti hari, hari berganti minggu dan minggu berganti bulan. Kagumku tak pernah pudar apalagi menghilang, meskipun ragamu semakin jauh dipandang. Berlalunya waktu semakin jauh dan lenyap.

Sepeninggalanmu, aku terhuyung terbawa setiap angin. Angin masa silam yang menguburku dalam-dalam. Serupa puisi Kangen W.S Rendra yang menggerogoti jiwa. Rindu ini semakin dalam, menusuk hingga tulang-belulang. Namun kepada siapa aku harus mengadu? Membayangkanmu tersenyum dari kejauhan adalah kebahagiaan yang tak ada tara. Meskipun satu persatu bintang memintaku gegabah, tapi, satu rembulan senantiasa memintaku mencintai dengan bijaksana. Mencintai tanpa menyakiti hati yang lain. 

Pada akhirnya, rinduku sampai pada penghakiman. Harus ku serahkan semuanya pada-Nya. Do'a memang tak terlihat di pojok bumi, namun melayang ke semesta. Cepat dan tepat jatuh di tangan Tuhan. 

Salam,
aku

Perindu. 

Friday 22 July 2016

Kematian Aksara

http://www.cogmed.com/


Rattaphum, 22 Juli 2016

Sebelum menulis
aksaraku tidak karuan
untuk sekali ini, daku rindu pangkuan ibu
=============================

Atas nama malam khilafku merajalela
kafilah-kafilah malam ku cemburu
gurindamku me-layu

pertama kali kurasakan
darah mu banjir di otakku
mengalir ke ulu hati
lalu tumpah perih
di ujung jari perdamaian
menepik berdarah
kalaku memetik mawar

ku saksikan setiap tetesan
dengan senyuman
sekali lagi dengan senyuman
tersenyum melebar bak peti mati

sayup-sayup ku dengar
dewi fortuna berbisik
"belajarlah mencintai tanpa menyakiti"

#hyd
#th.22 Juli 2016

Serupa Sajak Rendra: Kangen

http://reenapple.blogspot.com/


aku terasingkan kisah
yang ku tulis sendiri
kanvas-kanvas malam ku terbang
meninggalkan bumi
menuju satu kenangan
hilang terbawa angin
masa silam

aku gelagapan
menelusuri ruang hitam
angin menusuk tulang belulang
aku gelugutan kedinginan
bibirku gemetar
hendak berucap sejuta rindu
tangan dan kaki bergetar
hendak merangkul kasih dulu
kepada siapa ku mengadu?
sementara bulan sedang di goda sejuta bintang

ai.... mak jang....!!!
Indah, senyum mu melebar
serupa purnama kelima belas
bulan ke tujuh
tahun dua ribu enam belas

duh.....
baru saja ku sadar, tinta itu kejam
kisah ini tajam bak belati
atau?
serupa sajak Rendra, Kangen?


#hyd
Th. 22 Juli 2016

Wednesday 20 July 2016

LEGENDARIS

Masa silam tak akan pernah benar-benar hilang. Percayalah ia sudah memiliki ruang tersendiri. Semakin kuat kau memintanya pergi, dekapannya semakin dalam di hati, merengguh jiwa sunyimu tatkala sendiri. Namun cobalah berdamai dengan hati, siapa tahu kelak kau dapat bercanda sembari menikmat kopi. Hanya bedanya, kau sudah beristri, sedang ia sudah bersuami. Sejarah kan mencatat bahwa kalian pernah bermimpi melihat purnama dari bingkai jendela yang sama. Namun, biarkan itu menjadi legenda. Selamat malam, legendaris :-)

Dok. Pribadi (Ayuttaya, Thailand, Desember 2015)

Masa Silam
Oleh: Hyd

Aku seperti jatuh dalam lubangku sendiri
dalam lembah rindu masa silam
yang ku gali tanpa ku sadari
terhuyung angin diiringi seruling 
dalam sekali menusuk hingga tulang
aku rapuh rayuan ilalang untuk satu kenangan

Tertawa merajalela
Rindu yang melegenda
serupa bait puisi Rendra
ataukah a red, red rose Robert Burn?
Entahlah

sang legendaris cinta datang
membuka jendela masa silam
membelai lembut kenanganku 
serupa angin malam ini, membawaku
sejuta bintang canda tawa
seakan tertidur lendut di matanya

serupa satu wajah kekasih 
tersenyum atas nama purnama
terlelap syahdu di raut wajahnya
Sekali lagi ku panggil namanya
Cinta, aku rindu...

Mendekati tengah malam ini
aku msih tersenyum sendiri
lalu engkau, cinta...
lelaplah bersama sejuta puisiku dahulu

untuk bait terakhir
adakah puisiku yang lebih romantis
daripada do'a kepada-Nya untukmu yang satu?


Ditulis di
Songkhla, Thailand
20 Juli 2016
#hyd

Monday 18 July 2016

Kemana Syair-ku?



Oleh: Haiyudi

di bawah kaki malam aku tersimpuh
meraung kesepian
aku pertamakalinya kehilangan, kau
syairku
peranku dalam lakon gila
panggung ini memalukanku
daku lupa dialog, peran serta adegan
kupanggil namamu berulangkali
yang kudapati hanyalah tubuh menggigil
kaki dan bibir bergetar

seroja ku semai seakan penuh duri
dalam melukai, lekat menghantui dan
berdarah menyisakkan perih,
membunuh senja di tepi pesisir 
malam (sahabatku), engkau kini kejam,
kau kirimkan angin seuling kematian untuk jiwaku
kanfas-kanfas beraroma menyan
serta keindahan kamboja seakan meraung
menjauhlah
usah kau menggoda apalagi seakan merayuku
tak kuat ku melihat nisan bertulis nama, syairku
ahhhhh….
dibawah kaki langit aku hanya memeluk lutut
kurus kering seakan tanpa daging
yang ku makan hanya kenangan
haus lapar bagaikan mitos ternama dalam asmara
begitulah aku, kini dianggap gila oleh dunia
sekali lagi ku serukan namamu, engkaaaaaauuuuu
kembalikan kafilah-kafilah malam ku
usah kau curi apalagi kau campakkan
engkaaaaaau tolong kembalikan syairku
seranting pena ku patahkan,
berharap tinta yang menetes mengapa getah
nan beracun pula
selembar kertas ku harapkan
mengapa kau serahkan kapas?
kemana gurindamku? Sirnakah syairku?
duhai jiwa-jiwa malam
pastikan ia ada.
Th. 24/25 April 2016
*Hyd

Sunday 10 July 2016

RINDU CAMAR (BUKAN CAMER)


gerimis tak merindukan danau
hanya membuat camar termangu
menatap kerinduan dalam-dalam
(lagi)
tak dapat terbang
tak dapat menari
tak dapat menangis
hanya bisa menyemai senyum
harus berapa kali ku ucapkan?
harus berapa kali ku katakan?
harus berapa lama aku terdiam?
dalam sejuta rindu padamu

duhai kasih, rindu padamu sedang menjelma

Jogja, Agustus 2012
hyd

ANDAI

Ada denting nada rintihan kalbu
dalam pejaman mataku
sebab bayang yang satu datang
atas nama rindu, kau berlabuh

Aku terjebak kidung rindu 
yang ku tulis kala disampingmu
masa itu sangat kejam, kasih!
kau paham? kau tau? 

Dik, mbak, atau apalah panggilanmu
usah kau menyesal bila rasa mu terlalu jauh
arus kasihku tak usang oleh waktu
siap menyambut lautan rindumu

Namun bila tangis kau suguh
bahu ini terlampau lemah menahanmu
luntur diterpa hangatnya air matamu
tuk sementara, bersandarlah di bahu ayahmu

Ahhhh..... andai saja kita satu

Thai, 11 Juli 2016
hyd

Wednesday 8 June 2016

Delima (Sambut Aku Datang Dengan Senandung Lagu Melayu)

Buah Delima (google.com)

Pernah mendengar kata Delima? Delima merupakan nama buah-buahan yang tidak begitu menarik bila di lihat dari luar. Namun, delima lebih menarik di bila di lihat setelah di belah. Buahnya berkilauan bak berlian, batu permata, bahkan di sebagian daerah ada yang menamakan batu dengan "Permata Delima". Permata delima cukup jelas untuk menggambarkan betapa cantiknya buah ini. Lalu ada apa dengan kisah hidup bocah kecil di Padang Keladi? Apa hubungan bocah itu dengan delima?

Tahun 1997an merupakan jarak lampau kisah hidup seorang anak kecil di dusun Padang Keladi. Sebab kini ia sudah beranjak dewasa. Beruntun kisah kehidupan yang ia timba. Ada pahit, manis, asam bahkan sangat kecut. Diantara sejuta seribu seratus kenangan itu, terselip satu kisah tentang delima. 

Perlu diketahui bahwa selain nama buah (delima). delima juga merupakan nama makanan (dalam beberapa daerah) yang berbentuk bubur manis. Warnanya tidak ubah biji buah delima, sebab itu pula disebut bubur delima. 

Anak kecil, sebut saja namanya Sjahroel merupakan anak yang manja di kalangan keluarga. Ia merupakan anak tunggal di tahun itu, sebab belum memiliki adik. Usianya berkisar 5 tahun (kelahiran 1992). Sejak kecil ia sudah bergelut dengan radio, saluran tetap baginya adalah saluran dangdut Republik Indonesia. Meskipun berada di tempat terdalam,namun saluran Radio sudah masuk dan sangat terang suaranya. Saat itu hanya ada dua saluran yang dapat dijangkau oleh radio di tempatnya, pastinya adalah RRI. Untuk anak seusia 5 tahun, adalah satu kehebatan apabila memiliki banyak kepandaian. Dan Sjahroel sudah pandai mencari saluran dangdut tanpa dibimbing orang tua. Itu adalah prestasi terbaik yang pernah ia capai di usia 5 tahun.

"Delima..... Abang Pulaaaaang"
"Alahmak, abang pulang tuh, Mak"

Intro dari lagu dangdut yang berjudul delima menjadi sebuah dilema bagi ibunya. Sebagai orang melayu, mereka sangat menyukai lagu ini, bahkan konon kabarnya lagu delima ini menjadi lagu-lagu yang ditunggu-tunggu oleh orang sekampung. Tidak lain, lagu ini merupakan lagu yang menceritakan kerinduan seoarang bujang melayu perantau. Hayati saya liriknya di bawah ini 

"Tanam tebu di tanam
tanam di tanah delhi
rinduku siang dan malam
padamu kekasih

Burung tebang melayang
terbangnya dari Jawa
hatiku cemas dan bimbang
takut tak berjumpa"

Ah, sudah, jangan dilanjutkan kisah kerinduannya dulu, Sebab bagi Sjahroel kisah di balik lagu ini bukan makna yang terkandung.

"Maaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaak, lagu delima"

Saat itu pula ibunya sibuk mencari peralatan dan bahan membuat bubur delima. Tanpa ia mengatakan bahwa ia mau bubur delima ibunya sudah memahami "teriakan" itu. Berlalunya waktu ia semakin intim dengan lagu delima. Sekali lagi bukan tentang liriknya yang menusuk dalam relung perantau Melayu. 

Kini, 2016 merupakan hari dan tahun ke sekian Sjahroel di tanah rantau. Tentulah jauh dari keluarga, dan tidak bisa berteriak meminta ibunya membuatkan bubur delima. Dalam sisi yang berbeda ia juga sudah memahami makna Delima hari ini, bukan teriakan apalagi semangkuk bubur delima. Sjahroel kini menikmati lirik lagu Delima itu dengan seksama. 

"Delimaaaa oh delima,
sambut aku datang
dengan senandung lagu Melayu"

Kerinduan dalam lirik di atas ternyata tidak sepahit lirik selanjutnya.

"Delimaaaa oh delima
aku tak menyangka
kiranya dirimu telah berdua"

"Sirih banyak daunnya
hidup numpang di batang
kekasihku tercinta, jadi milik orang"

#Ini kan kisah gadis bernama Delima, kisah kita tidak begini, kan? Kau sanggup menunggu kan? 

https://www.youtube.com/watch?v=x0yCOB5TZ_U

Sunday 24 April 2016

Meraung: Syairku Menghilang

Hingga pada saatnya kau akan Berpisah. Jangan pernah menyalahkan Pertemuan sebab keduanya tidak saling mengetahui.

Oleh: Haiyudi


dibawah kaki malam aku tersimpuh
meraung kesepian
aku pertamakalinya kehilangan, kau
syairku

peranku dalam lakon gila
panggung ini memalukanku
daku lupa dialog, peran serta adegan

kupanggil namamu berulangkali
yang kudapati hanyalah tubuh menggigil
seroja ku semai seakan penuh duri
dalam melukai, lekat menghantui dan
berdarah menyisakkan perih

malam (sahabatku), engkau kini kejam,
kau kirimkan angin seuling kematian untuk jiwaku
kanfas-kanfas beraroma menyan
serta keindahan kamboja seakan meraung

menjauhlah
usah kau menggoda apalagi seakan merayuku
tak kuat ku melihat nisan bertulis nama, syairku
ahhhhh....

dibawah kaki langit aku hanya memeluk lutut
kurus kering seakan tanpa daging
yang ku makan hanya kenangan
haus lapar bagaikan mitos ternama dalam asmara
begitulah aku, kini dianggap gila oleh dunia

sekali lagi ku serukan namamu, engkaaaaaauuuuu
kembalikan kafilah-kafilah malam ku
usah kau curi apalagi kau campakkan
engkaaaaaau tolong kembalikan syairku

seranting pena ku patahkan,
berharap tinta yang menetes mengapa getah
nan beracun pula
selembar kertas ku harapkan
mengapa kau serahkan kapas?

kemana gurindamku? Sirnakah syairku?
duhai jiwa-jiwa malam
pastikan ia ada.

Th. 24/25 April 2016
*Hyd

Wednesday 20 April 2016

Sejauh manapun kaki dilangkahkan, menoleh kebelakang adalah kewajiban. Bukan apa-apa hanya untuk mengingat jalan pulang.


ISBN:978-602-336-217-2
Penulis:Haiyudi
Penerbit:Diandra Creative
Tanggal Terbit:2016-04-01
Jumlah Halaman:292
Berat Buku:350 gr
Kertas:Bookpaper, 14x20 cm
Harga:Rp. 50.000,00

Informasi pemesanan:

Redaksi Penerbit: WA 0857 2825 3141
                          BBM 7E89B325
Penulis              : WA +66620802292
                          BBM 5C48EF62
                          IG @h_yudhi                 



1.      Petuah Melayu
Tak kan lari kampong kau tinggal, tapi ilmu tak kan kau dapat bila berpangku tangan, bila tak kau kejar. —lelaki setengah tua itu—

“Abang kemana lagi?”
“Biarkan abangmu bermimpi, walaupun harus pisah”
Mentari pagi yang terbangun kesiangan kini bergaya di cakrawala dengan sedikit menampakkan wajah di balik awan mendung. Mentari desa yang sejak tadi bersembuny di balik awan hitam,  kini sedang berdiri gagah di antara muatan dua  anak gunung yakni bukit pilar dan bukit ritang.
Riuh gemuruh suasana pelabuhan reot kini menjadi penghias alam yang gelap, segelap kulit bagian belakang para pekerja pelabuhan. Hitam legam, sehitam tengkuk barisan awak kapal barang hari itu. Aroma minyak dan air laut menjadi pengharum, ditambah dengan aroma ikan nan sebangsanya yang menambah amisnya dermaga.
Alunan lagu melayu lama group band Malaysia kian mendayu merdu disalah satu warung makan yang menjadi langganan pekerja pelabuhan. Lagu yang seakan hendak menghiasi perjalanan seorang anak muda dengan sejuta tekad dikepalanya. Zamri terduduk di bibir pelabuhan menghadap lautan luas sambil terus tersenyum lebar. Seakan senyumnyalah yang paling manis didunia. Di dermaga itu, dermaga yang tampak sedikit reot di ujung barat sebuah pulau kecil yang ada di pelosok pulau Bangka, Provinsi Kep. Bangka Belitong.
“Zamri, hendak pergi kemana?”
“Ke Belitong, Bang”
“Hendak nyambung sekolah kemana?”
“Barangkali ke Jogja” Senyum lebar
Seorang awak kapal bertanya, lalu sesaat kemudian tersenyum juga melihat senyuman Zamri yang kian menyala-nyala sembari memeluk buntilan baju. Besar kepala dan lebar dadanya  ketika menyebut nama Jogja. Itulah Zamri.
Sementara disebelahnya, ayah dan ibu tersenyum lebar menyaksikan semangat Zamri. Sampai tidak lama kemudian, senyum itu kian dihiasi mata yang berkaca-kaca, sesekali bibir isyaratkan kesedihan dan haru. Zamri mencium tangan keduanya serta kening dua dayang Melayu kecil. Ada semacam getaran tak menentu di bibir, dada dan badan Zamri.
“Tarik jangkaaaar”
Begitulah kiranya Kept atau kapten kapal memberi komando kepada anak buahnya. Pertanda kapal siap diberangkatkan. Gelombang pula ombak kecil pelan namun pasti kian mendorong kapal menuju pulau Belitong. Ombak itu kadang menyamping, kadang juga mendorong dari belakang. Sungguh, ombak itu seperti Tut Wuri Handayani.
Kapal Motor (KM) Bunga Mawar. Sebuah transportai lokal yang menghubungkan Pulau Liat dengan pulau sekitar seperti Bangka dan Belitong. Pagi itu jangkar diangkat, kapal itu bertolak meninggalkan pulau Pongok, kept kapal memainkan kemudi menuju pulau Belitong dengan penuh keraguan. Kala itu musim Tenggara, arah mata angin yang membuat pusing nahkoda yang mengemudi kapal. Bahkan semua penumpang yang ada didalamnya. Bayangkan saja, jika kapal cepat seperti Bahari saja masih bisa diterjang oleh gelombang, apalagi kapal semacam  ini yang hanya berukuran panjang sekitar 10 meter lalu lebar dengan kisaran 5 meter saja.
Sebenarnya, ada beberapa KM lain. Namun kala musim tenggara, masyarakat setempat lebih memilih Bunga Mawar untuk mengantarkan mereka berjalan menyeberang pulau. Karena memang Bunga Mawar memiliki ukuran terbesar diantara yang lainnya. Hari itu, 20 April 2010 ada puluhan manusia didalam Bunga Mawar. Semua dikhawatirkan dengan adanya gelombang laut yang menerjang. Barangkali berlayar sudah menjadi kebiasaan bagi Nahkoda dan Crew atau awak kapal kecil ini, namun tidak bagi sebagian penumpang yang ada didalamnya.
Ketika itu gelombang kian tinggi, hempasan luan kapal itu kian mengeluarkan suara khas. Suara perpaduan antara air laut dengan papan. Gemercik air asin yang kian membanjiri luan Bunga Mawar. Aroma air asin yang ketika itu dipadukan dengan ayunan gelombang laut membuat beberapa penumpang menjadi pusing lalu mabuk. Selanjutnya ada yang memuntahkan makanan dengan segenap isi perut yang lain, ada pula yang membacakan ayat-ayat suci al-quran. Ada pula yang mengobati rasa maboknya dengan makan sebanyak banyaknya. Ada yang berpura pura tidur, untuk membohongi keadaan dengan bersandar didinding kabin. Ada juga yang berpikir jauh seakan dirinya akan segera mati. Dia bersiap siap mengirimkan kata-kata terakhirnya melalui pesan singkat kepada keluarganya.
Akan tetapi sungguh tidak terduga ketika ditengah kepanikan tersebut ada yang membersitkan tawa dengan gembiranya. Seorang pemuda setengah baya, Zamri dengan duduk dipinggiran kabin sambil memeluk Jerigen oli yang digunakan untuk mesin kapal, namun sudah habis. Dan juga lelaki setengah tua dengan topi koboy melayu dan celana selebornya sambil memegang semangkuk mie rebus ditengah ayunan gelombang.
“Bang, abang harus tau, jatuh dari tangkun bukanlah satu musibah, namun seakan satu prestasi”
“Betul. Demi burung punai, baju celana jadi kumal itu lazim”
“Usahlah kumal, robek saja tak mengapa”
Sambung Zamri dengan semangat. Sesekali mereka tertawa seakan menjadi orang paling bahagia di dalam Bunga Mawar.
“Sudah lama, 3 tahun aku tidak mulut punai. Sungguh aku rindu berat akan Padang Penuduk, Padang Kik Anyan, Padang Yak atot” ratapnya.
Zamri seakan sedang mengenang sesuatu yang lalu “Itupun setahun dua kali tak pasti” dengan mimik wajah sedih.
“Tak apa, Zamri. Hidup itu tidak berhenti di tangkun” Jawab lelaki setengah tua “Ada dunia luar yang harus dijelajah anak muda sepertimu”
“Betul, Bang. Terimakasih”
Dengan sedikit terperangah, Zamri tersenyum lagi.
“Sejak ku tau bermimpi itu gratis, aku telah membuat mimpi saya seindah mungkin”
“Apa mimpimu?”
“Hendak membangunkan orang yang bermimpi terlalu lama” Jawabnya tanpa dosa “sungguh tidak baik, sebab mimpi itu satu paket dengan usaha dan doa, bila bermimpi terlalu lama maka sungguh ialah orang yang paling rugi
Begitulah Zamri, ia seakan sedang bersabda. Sesekali menganggukkan kepala, sesekali menggelengkan kepala, seakan dia kagum dengan dirinya sendiri. Andai saja ini disaksikan orang banyak, maka akan banyak pula orang heran seperti kalian yang membaca.
Dari wajahnya ia tidak mirip dengan orang melayu pada umumnya. Belakangan ia sering dikatakan bahwa tanah melayu enggan menganggapnya sebagai bagian dari orang melayu. Ia sering kali dikira orang Jawa. Entah dilihat dari sisi mana, jangan ditanyakan.
Senyum dengan bekas luka disekitar bibir dan pipinya menjadi penghias tersendiri. Bekas luka itu tidak lain dihasilkan dari petualangan dengan alam yang begitu hebatnya.
“Untuk menggapai bulan diluar sana orang sudah pakai pesawat terbang (mungkin maksudnya apollo), tidak lagi dijuluki pakai bambu seperti mitos jamanmu kecil. Ibumu sering berkata kalau kamu berhenti menangis nanti akan diambilkan bulan untukmu pakai bambu. Iya kan?”
Nasihat lelaki setengah tua kepada Zamri kian menjadi-jadi. Dengan tatapan tajam, seraya terus mengaduk mie rebus didalam mangkuk, ia terus tertawa seperti orang gila. Tapi dia lelaki melayu, gila sedikit itu sering kali dianggap seni.
“Tak usah segan meninggalkan Tangkun, Pekatik dan Pulut. Biarkan mereka dirawat yang lain. Ada banyak seniman hutan yang siap menggilas punai disini. Hijrah bukan hanya kepadang penuduk, bukan hanya ke padang kik anyan, tapi ada sebuah padang yang luas. Yang menjadi idaman setiap orang yang punya mimpi. Itulah dunia”
“Betul, Bang. Terimakasih” Zamri mengangguk-anggukkan dagu. Sepertinya semakin terhipnotis dengan semangat petuah melayu ini
“Belajarlah diluar, buat teori tentang Tangkun, Pulut dan Pekatik. Untuk melakukan riset, datanglah lagi kesini. Begiitu,, kan keren. Benar nggak? ahahahahahahahahaha”
Entahlah, Zamri ini semakin kagum saja rasanya dengan lelaki setengah tua ini. Perlu diketahui: Tangkun adalah tempat dimana seniman alam berada. Sebatang pohon rindang yang digunakan untuk menjebak burung. Dengan bermodalkan seekor burung sejenis (biasanya burung punai) yang digunakan sebagai pekatik serta pulut yang dipasang di ranting pohon.
Pekatik adalah burung sejenis –punai misalnya— yang dijadikan pemandu bagi burung liar lainnya, digunakan untuk menarik perhatian burung lainnya. Barangkali jika dikehidupan manusia, pekatik ini dididik untuk senantiasa tebar pesona.
Pulut merupakan benda hitam, dekil dan menjijikkan. Lengket ditangan, namun memang itu yang dimau supaya burung yang hinggap tidak bisa terbang kembali.
“Iya, Bang”
“Tak kan lari kampong kau tinggal, tapi ilmu tak kau dapat bila berpangu tangan, bila tak kau kejar”
“Betul, Bang”
“Berhenti bicara banyak tentang dunia jika keluar pulau saja kau takut. hahahaha”
Sesekali ingin memasukkan mie kedalam mulut, namun seringkali terhenti, lalu ngobrol, tertawa terbahak-bahak dan gagal lagi makannya. Begitu seterusnya.
“Orang melihat indahnya batu karang, karena berani menyelam. Orang melihat indahnya gunung, karena dia berani mendaki. Begitu juga jika ingin bicara tentang dunia, jangan takut berhijrah. Setidaknya lihatlah belahan Indonesia yang lain, besok, kelak kau ceritakan sama orang sekampung. Kelak, bila kau kembali, maka kaulah orang hebat. Pak RT akan susah tutup mulut, Pak RW akan kering gigi dan gusi, Serta warga akan kemasukan lalat mulutnya. Dan, abang, akan hamparkan karpet merah panjang untuk kau berjalan, Zamri.
“Kenapa begitu, Bang?” Zamri heran
“Karena kau sudah jadi menteri kehutanan, Zamri. Paham? ahahahahaha” Tertawa terbahak-bahak.
Sesaat lelaki itu menatap Zamri. Tajam sekaali, tidak ada senyuman, ia sedang serius. Zamri bersemangat sekali menatapnya, mungkin tatapan itu lebih maut dari malaikat maut. Lelaki setengah tua itu persisnya sedang menaruh bara api di dada Zamri.
“Dunia ini luas, Zam. Tidak terhenti digaris pantai selatan pulau Jawa. Juga tidak terhenti di perbatasan Borneo. Siapa tau kelak kau boleh pergi Papua Nugini”
“Iya bang”
“Tapi ingat, merantau itu adalah titipan kepercayaan. Sebab di era pemerintahan sekarang, godaan bukan hanya sekedar tangkun, hutan dan laut, tetapi kemegahan yang mungkin memukau matamu dan membuatmu tercengang, ada pula makhluk Tuhan yang namanya wanita. Hati-hatilah kau bujang”
“Maksudnya, Bang?” Bingunglah Zamri mendengar ocehan semi akademis itu.
“Hal terberat yang dilakukan ayah ibumu bukanlah mencari uang untuk kau kuliah, Zam. Tapi hal terberat ialah menjatuhkan kepercayaan padamu untuk menjaga keringat mereka. Maka beruntunglah, kau mendapatkan kepercayaan itu. Diluar sini abang yakin banyak yang memiliki uang untuk sekedar biaya kuliah, tapi tidak berani memberikan kepercayaan kepada anak mereka. Selalu bersyukurlah”
Dengan senyuman mengembang khas seorang lelaki yang sudah punya anak. Ia terus memberikan semacam petuah agar supaya Zamri bersyukur. Barangkali ia sedang membayangkan seakan Zamri adalah anaknya sendiri.
“Hidup itu jangan takut mengambil resiko, jika takut mending memilih mati saja. Kadang kita itu terlalu banyak menyerah pada nasib, ingatlah nasib itu belum final. Belum sampai kepada takdir. Jadi, jangan biarkan mimpimu bersemayam diatas tangkun, nanti jika sudah berhasil buat tangkun elektronik kan bisa”
Wajahnya berseri dan sesekali nada omongannya berirama hentakan gelombang dua satu dua, nampaknya lelaki tua ini semakin semangat untuk memberikan wejangan pada Zamri.  Dengan singkatnya, Zamri menjawab layaknya dosen membalas pesan singkat dari mahasiswanya. Menjadi manusia yang memegang erat norma-norma bahasa Indonesia. Singkat Padat Jelas
“Iya bang”
“Abang hanya berpesan satu hal, Zam. Jangan biarkan mendung rantau menggilasmu habis dengan dinginnya hujan dan panasnya kemarau. Cari lengung pelangi disetiap sudut kota dimana kau berpijak. Jika tidak, perjalananmu hanya menguras tenaga”
 Dan kini, dari raut wajahnya, Zamri tidak segembira tadi lagi. Perasaan pusing, mual serta ngantuk semakin menyerang. Jerigen yang ia peluk sungguh begitu membantu, nampaknya seperti memeluk guling diatas kasur yang diletakkan diatas ayunan. Dongeng indah dari lelaki tua itu seperti hipnotis yang tidak di sengaja. Atau jika tidak, Zamri bagaikan sedang tidur didalam ayunan diatas tangkun sambil menunggu punai hinggap dipulutnya. Lalu disetelnya radio dengan pelan sekali didekat telinganya.  Seakan ia sedang mendengarkan lagu dangdut, sebut saja lagunya Imam S. Arifin—Senandung Rembulan. Zamri mengantuk selanjutnya tertidur
Begitu lama ingin aku curahkan
Gelora cinta yang lama bersemayam
Tetapi aku tak mungkin mengatakan
Biarlah cinta hanya sebatas angan
Aku bukanlah rembulan seindah yang kau bayangkan
Tetapi redup dan tiada bersinar
........
            Ini adalah bukti bahwa Zamri mencintai Indonesia tanpa batas. Ditengah ombak yang menderu saja dia masih membawa dangdut kedalam mimpinya. Teman sebayanya kini sudah beralih kepada jenis musik yang kian berbeda, musik tanpa seruling, yang pasti musik tanpa Gendang dan Dut.
Segaris senyum kini terukir dari bibir lelaki setengah tua itu. Melihat Zamri yang tidur seenak jidatnya, lalu merasa menjadi manusia paling nasionalis lewat mimpinya yang menyanyikan lagu asli Indonesia (dangdut). Perfect sekali hidupmu anak muda.
Tanpa disadari semangkuk mie yang dimasak setengah jam yang lalu kini mulai melayu, dingin, mengembang serta membesar. Sementara yang lain masih disibukkan dengan membaca berbagai ayat suci al-quran, sibuk mencari celah menghindari rasa pusing bahkan ada yang belum selesai mengeluarkan isi perutnya melalui mulut. Semua dikarenakan ayunan ombak yang tidak lazim lagi.
            Ditengah lautan kekhwatiran, dalamnya untaian surah yasin oleh segenap bibir didalam Bunga Mawar, mimpi Zamri tidak terhalang gelombang. Kicauan burung masih terngiang ditelinganya, rindang pohon lada nan hijau masih terlukis indah dimatanya serta nasihat ibu dan ayah yang masih membekas ditelinganya.

Sejauh manapun kaki dilangkahkan, menoleh kebelakang adalah kewajiban. Bukan untuk menjadi penghalang pandangan kedepan, hanya untuk mengingat jalan pulang.

Pigura