Thursday 23 November 2017

SAJAK ANAK PALESTINA


Nasib kami melambung bersama debu-debu
tertimpa hujan selanjutnya jatuh ke jalan
tercium bau-bau sajak kematian dalam badan kami.

Nasib kami hanyut dalam sungai-sungai merah
pecah berkeping terhimpit batu
terpancar sajak kesengsaraan dalam raut muka kami

Tang melintang jatuh terombang
Tang melintang tubuh terlentang
Anak-anak kami berlari disela-sela gedung
Ujung senapan serupa malaikat maut
mengancam sejak pagi hingga petang
Kabut gelap tak mengenal pagi ataupun malam

Nasib kami melambung bersama debu-debu
sisa keangkuhan manusia laknatullah
Nasib kami hanyut bersama sungai-sungai
sisa darah mujahid fi sabilillah

Anak-anak kami berlari mengejar kehidupan
bukan pamrih di hadapan mentari

Yogyakarta, 2010
Haiyudi

MENUNGGU? HARUSKAH?

The Art of Waiting
Cerpen ini pernah diikutsertakan dalam lomba kepenulisan cerpen oleh penerbit Wahyu Qolbu

Kasih, tidak ada yang mengharuskan kau menunggu, bila berjodoh maka aku yang
akan mendatangi. Bila tidak, sebait do’a untukmu rasanya lebih mulia
Oleh: Haiyudi
======================
            Langit semakin menghitam, melenyapkan senja yang selalu dipuja oleh para penikmatnya. Rembulan semakin meninggi, terkadang bersembunyi di sebalik bongkahan awan. Aku, Seman Yusuf, hanya termenung dalam segelas kopi. Merapuh dalam sejuta bayang masa depan. Memikirkan perihal yang masih “entahlah”. Malam ini, aku duduk di bawah langit dan di atas bumi negeri rantau. Angin malam membawaku kepada kenangan dan menerawang kepada masa lalu dua tahun silam.
***
            “Sampai kapan kamu disana, Seman?” Mila bertanya padaku sedikit bergetar
            “Mungkin hanya dua tahun” Jawabku sambil menyuguhkan senyum termanisku. Walaupun kata mereka senyum ku sedikit pahit, dan aku setuju hal itu.
            Mila, perempuan ayu berjilbab putih ini menurut dunia sekitar adalah kekasihku, entah siapa yang menobatkan. Namun sedikitpun aku tidak merasa bahwa kami adalah sepasang kekasih. Bukan karena aku membenci atau tidak menyukainya. Lebih kepada bagaimana sepasang kekasih menurut Islam yang ku tahu dan ku pahami.
Malam itu, adalah aku, Mila dan Andi sedang duduk rapi diatas tikar purun. Kami berbicara sedikit lebih terbuka tentang banyak hal, dimulai membahas puisi Robert Burns, membedah buku Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945 karya A.M. Fatwa, membedah film Filosofi Kopi yang sedang booming pada saat itu, bahkan sampai membahas lagu terbaru Cita Citata yang entah apa itu judulnya. Namun yang terpenting pula saat itu kami sedang berbicara perihal keberangkatanku. Sebagai delegasi yang akan segera diberangkatkan ke Luar Negeri, pastilah itu akan mengundang banyak percakapan. Ada rasa semacam menjadi terdakwa, menjawab banyak pertanyaan ini dan itu. Namun malam itu aku merasa indah sekali, sebab percakapan kami tak luput dari secangkir kopi, nasi kucing, dan berapa jenis sate ala angkringan. Serta yang paling istimewa adalah bahwa malam itu kami ditemani langit berbintang kota Jogja.
            “Minggu depan sudah fiks, Boi?” Tanya Andi kepadaku.
            “Tidak ada yang bisa menghalangi untuk bercita-cita” Jawabku sambil mengedipkan mata. Sementara Andi hanya menunjukkan wajah persetujuan sambil menganggukkan kepala. Kami bertiga adalah bujang dayang Melayu yang sama-sama melanjutkan studi kala itu. Sama-sama menyukai seni dan yang pasti saat itu kami sama-sama masih sendiri. Tepat di depan ku Mila masih terdiam dan menunduk. Entah apa yang ada dalam pikirannya.
            “Kamu tidak kasihan membiarkannya menunggu, Man”
            Aku hanya tersenyum mendengar kalimat tanya yang dolontarkan Andi kepadaku. Namun tidak dengan Mila, ia tetap saja membisu, menunduk dengan nafas tidak teratur. Tidak biasanya Mila diam sedemikian lama. Menunduk sedemikian jauh dan dalam.
            “Apa yang sudah kau persiapkan, Man?”
            “Masih terlalu dini untuk berkemas-kemas” Jawabku sambil tersenyum
            “Bukan itu, maksudku, mempersiapkan mental misalnya” Andi meminta tambahan kopi hitam kepada bapak Angkringan
            “InshaAllah sudah siap, sudah mendapat pembekalan bahasa dari kampus juga kok”
            “Begitu?”
            “Negeri yang kan ku datangi tidak teramat jauh dari Indonesia, masih tetangga”
            “Untuk masalah hati?” Tanya Andi sambil tersenyum dan melirih ke Mila “Jangan terlalu lama, nanti ada yang rindu” Sambungnya semakin tidak tahu diri. Ku perhatikan Mila sedikit mengangkat muka dan tersenyum menatapku. Aku bingung.
            “Ada apa Mila?” Tanyaku dengan nada pelan.
“Tidak apa-apa. Jaga diri baik-baik bila kelak sudah disana”
“Jangan khwatir, aku sudah besar”
“Bahkan sudah tua” Sambung Andi tersenyum, Mila tertawa kecil dan pelan
“Seperti kau tidak tua saja, bukankah umurmu sudah mencapai 25”
“Kan belum 26” Andi adalah yang tertua dari kami karena tidak naik kelas 3 kali semasa di bangku Sekolah Dasar. Namun demikian bukanlah karena bodoh, melainkan nakal.Sehingga dikeluarkan di beberapa sekolah di Batam.
“Lalu?” Kami bertiga tertawa, dan itu pertama kuliat Mila tertawa bebas malam itu. Banyak lagi percakapan kami yang mengundang tawa
Jauh dari dalam lubuk hati, akupun sebetulnya merasa canggung hendak bertutur dengan Mila malam itu. Tidak serupa dengan malam-malam sebelumnya yang selalu timbul diskusi hangat dari kami, entah mengapa malam ini tidak demikian. Malu rasanya pada rembulan. Rembulan itu terus bertengger di ranting pohon mangga Pak Supardjono si pemilik angkringan. Ia semakin meninggi, meninggalkan kami bertiga dalam percakapan yang semakin dingin. Mila berpamit pulang ke rumahnya yang tidak jauh dari Keraton Yogyakarta. Andi juga pulang ke kontrakannya, pun jua aku, pulang dengan sepeda tua yang ku beri nama Paino menuju kosan.
Di sisi lain, ku perhatikan Pak Supardjono menggulung tikar purun tempat kami duduk malam itu. Itu tandanya malam sudah menunjukkan pukul 11.00. Sebab aku kenal betul siapa pak Suparjono. Bila saja  masih pukul 10.59, dia tidak akan menggulung tikarnya. Ia terkenal sebagai bapak On Time untuk masalah jualan, terlebih menagih hutang kepada mahasiswa langganan.
Malam semakin gelap, sejuta tanda tanya sedang menggantung di kepalaku. Tangan ku letakkan diatas kening. Sayup-sayup ku dengar sinden Jawa mengalun. Malam membawaku ke alamnya. Aku terlelap dalam selimut gelap, di musim hujan kala itu.
***
            “Man, bisa temui aku di Perpustakaan Daerah nanti siang jam 9?” Sebuah pesan singkat dari Mila. Pesan itu datang begitu pagi, serasa embun saja masih pulas di dedaunan hijau. “Oke, Mila. J” Balasku singkat.
            Pukul 8.58 aku tiba di Perpustakaan Daerah. Sudah ku perhitungkan, aku akan masuk ke pintu PERPUSDA tepat pukul 9.00. Jiwa pak Supardjono rupanya sudah mendarah daging dalam tubuhku. Mungkin berkat kopi pahitnya yang kuminum (hampir) setiap malam
“Kamu dimana?”
            “Dalam, blok A, bagian sastra Jerman bangku nomor 3 deretan ke empat” Kurang dari satu menit pesan singkatku sudah terbalas. Aku menuju kedalam, dan ku saksikan Mila menggunakan gamis merah jambu, jilbab panjang berwarna putih. Aku sedikit ragu, sebab hari ini ia lebih mirip anak rohis dibandingkan anak sastra. Namun demikian, aku senang.
            “Bisa berbicara sebentar?”
            “Aku sudah disini, Mila. Tentu saja bisa” Jawabku sambil tersenyum
            “Aku bawakan buku The Count of Monte Cristo untuk mu, yang ini untuk ku. Kita berbicara di taman saja ya” Mila menunjukkan buku kumpulan puisi pilihan padaku sambil senyum. Aku tau betul Mila adalah penggemar puisi. Sama sepertiku. Bahkan kami berdua adalah penggemar berat Sapardi Djoko Damono.
            Mila memintaku berjalan didepan, sedangkan aku meminta Mila duluan. Habis kata-kataku untuk mendeskripsikan betapa susahnya aku waktu itu. Hingga pada akhirnya, istilah “lady’s first” kalah dengan An-Nisa 34. Aku melangkah didepan selanjutnya memilih bangku yang agak berjarak namun tetap berdua, selanjutnya memesan minuman, selanjutnya aku pula yang harus memulai percakapan. Saat itu aku merasa sedang diuji oleh Mila.
            “Ada apa, Mila?”
            “Man, maaf kalau semalam suasananya tidak enak” Mila memasang wajah bersalah
            “Hanya itu? Kau harus meminta maaf sama Pak Supardjono juga”
            “Loh mengapa begitu?” Mila kebingungan mendengar ucapanku
            “Beliau terlihat canggung karena wajahmu semalam”
            “Seman, aku sedang serius”
            “Aku dua rius”
            “Semaaan..........” Mila memanggil namaku dengan nada panjang namun lembut dan merdu. “Milaaaaaaaa” Ku balas dengan sedikit sumbang.
            Mila tertawa namun tidak terlalu keras. Sementara aku, masih memasang wajah letih setengah berkeringat dingin, serta tidak sabar menunggu kopi susu pesananku. Sesekali aku mendapati wajah Mila menatapku untuk selanjutnya tersenyum kembali
            “Ada apa, Mila?”
            “Aku senang, Man” jawab Mila spontan “Aku senang karena masih bisa bercanda sama kamu”
            “Iya, harusnya ada Andi dan yang lain disini”
            “Tidak, Man. Sengaja aku hanya meminta kamu sendiri kesini” Mila menampakkan wajah serius. “Mungkin setelah ini, entah kapan bisa begini” Pelan namun pasti, dugaanku semakin jelas bahwa Mila memang sengaja meminta aku datang supaya bisa berbicara dan bercanda berdua dengannya.
            “Kamu terlihat berbeda hari ini, Mil” Ucapku sekedar memecah kebuntuan, atau mungkin membelokkan percakapan yang sudah bisa ku tau arahnya
            “Iya, lagi kepengen saja” balas Mila sambil tersenyum “tidak pantas ya?”
            “Loh...... justeru sangat pantas”
            “Masak?” Mila tersenyum malu-malu.
            Aku baru menyadari bahwa perkataanku sangat pantas itu adalah kejujuran atau hanya spontanitas, atau pula kejujuran yang spontanitas? Entahlah, yang ku saksikan Mila hanya bisa tersipu malu oleh kata-kata itu.
            “Man, jika kelak kamu sudah disana, apa masih ingat denganku?” Tanya Mila padaku dengan nada gemetar. Aku dapat mendengar dengan jelas setiap tarik dan hembus nafasnya. Mila seperti sedang menahan sesuatu di dada nya. Ia seakan menahan debur haru dan khawatir akan kepergianku yang masih rencana kala itu
            “Apakah mudah untuk melupakan teman?” Jawabku “Tidak mudak, Mila”
            “Aku takut Man” Imbuhnya
            “Sebab?”
            “Aku takut rasa kehilangan akan tumbuh dan besar seiring berjalannya waktu kelak”
            “Aku semakin tidak mengerti, Mila” Aku semakin kebingungan, meskipun sebetulnya aku sudah sangat mengerti jalan pembicaraan aku dan Mila saat itu.
            “Mungkin kedekatan kita memang tidak lebih dari sekedar sahabat, namun waktulah yang mengajarkan aku untuk memelihara rasa dalam sudut yang berbeda, Man” Mila tertunduk mengucapkan itu dengan getaran semakin kuat, bahkan sedikit tersedu. Angin di taman itu seakan membelaiku untuk menjadi lebih peka, serta mengajarkan Mila untuk belajar menahan diri. Cukup canggung suasananya. Cukup lama aku dan Mila terdiam, hanya menikmati satu dan dua lagu anak muda masa itu. Aku tidak bisa berkata, sementara Mila semakin dalam menunduk, semakin pula ia terdiam. Bila saja salah dalam menyikapi masalah itu, aku yakin akan kehilangan sahabat seperti Mila di detik yang sama.
            “Aku akan pergi, Mila. Mengapa seperti ini?” Aku memecahkan suasana hening di taman itu. Meskipun ramai, namun orang lain hanya ku anggap semacam hiasan saja. Mila hanya diam. Jangankan berucap kata, ia bahkan tidak mampu mengangkat wajah. “Mila, kita kenal sudah lama, Mil” namun lagi dan lagi, Mila masih saja terdiam. Aku seperti hanya melihat patung Mila di hadapanku.
            “Man, SAMPAI KAPAN AKU MENUNGGU?” Pertanyaan Mila sontak membuatku begitu terkejut. Sama sekali tidak menyangka bahwa Mila akan berucap sedemikian rupa. Maka saat itu justeru akulah yang terdiam.
            “Milaaaa” Panggilku, Mila hanya menatapku dengan wajah sayu
            “Tidak ada yang mengharuskan kamu untuk menunggu, jika kelak kita berjodoh, aku akan mendatangi. Bukan kamu, melainkan wali mu” Ucapku dengan nada bergetar “Kita hanya hanya butuh saling memperbaiki  kualitas diri”
            Mila tersenyum mendengar semua penjelasanku. Senyum Mila lebar sekali, selebar mentari siang itu. Setelah mendung, saat itu mentari kembali bersinar. Selanjutnya percakapan kami begitu panjang dan lama. Lalu pukul 12.03 aku kembali dengan sepeda tuaku. Mila pun demikian, Motor Matic terbaru pemberian ayahnya sebagai hadiah ulang tahun yang ke 22, mengikuti di belakangku. Sampai pada persimpangan jalan kami harus berpisah, lambaian tangan Mila masih terkenang hingga sore, maghrib, isya, bahkan sampai malam.
***

            Malam ini, kopiku sudah semakin dingin. Tanpa kusadari malam semakin larut, rembulan mengintipku tersenyum, namun bukan dari pohon mangga Pak Supardjono, melainkan dari sela-sela candi Budha. Aku mendapati kabar penantian Mila sudah berakhir. Mila dikhitbah oleh teman sekampusnya yang juga teman ku sendiri. Rembulan tersenyum menatapku, menyambut baik do’a yang kupanjatkan untuk Mila dan kekasihnya yang sesungguhnya.

PENYADAP TERAKHIR


Cerpen ini sudah dibukukan dalam kumpulan cerpen "Cha Yen" yang merupakan gabungan mahasiswa dan pengajar di Thailand.

oleh: Haiyudi
“Ibu tidak capek?” 
“Tidak sama sekali” Seorang wanita mengelap keringat di dahinya.
Semilir angin meniup basah pundak pekerja pagi itu. Membuang jauh gurindam Melayu, menggeser peradaban negeri ibu pertiwi. Sang fajar mulai menunduk hendak berpamit. Duh, Keindahan apalagi yang ada di dunia ini? Tidak ada, kecuali masa pergantian peran rembulan dan mentari, Fajar dan Senja. Belum penuh mentari menyapa, bahkan dinginnya aspal menjadi pertanda pekat. Angin pagi masih sibuk mencari tempat bersandar. Kokok ayam terasa sumbang didengar, tersebab sang tuan belum membukanya dari kandang.
Mendapati diri yang terjaga setelah subuh, Enggal Suroso memilih keluar dari peraduan. Dari namanya jelas Enggal, atau Suroso bukanlah orang Thailand masa kini. Lelaki berperawakan Jawa kuno itu adalah seorang guru muda. Ia diasingkan oleh kampusnya keluar dari negerinya sendiri. Konon kabarnya untuk menghindari stress berat akibat memikirkan negaranya. Sebab sejak dulu, ia dikenal sebagai mahasiswa pemikir. Seperti mau mandi misalnya, ia selalu berpikir panjang. Sudah, ini bukan kisah Enggal Suroso
Dengan bekal bahasa yang pas-pasan dan seadanya, Enggal tidak sulit untuk berinteraksi kepada warga setempat.  
Pagi itu, dengan kamera seadanya, Enggal mencoba mencari objek gambar, namun yang nampak adalah berbeda. Sayup-sayup suara seorang wanita tua berbincang dengan anaknya. Suara reot dan rantai yang bergesekan pula menandakan sepeda tua yang ditumpanginya tidak kalah tua dari usianya.
“Ibu, jika sudah sampai sekolah, terus aku bagaimana?” suara si anak memecah embun di tengkuk Enggal. Tiba-tiba suasana menjadi hangat. Semakin dekat dan jelas bayangan dua anak-beranak itu di depan Enggal.
“Ibu, jangan pergi dulu, aku takut sendirian. Kan masih gelap” Sambungnya
Enggal sedikit terperangah dengan pemandangan itu. Seorang anak dengan pakaian sekolah rapi, berkaos kaki serta membawa bekal dalam plastik asoy hitam sedang duduk diatas sepeda tua yang di tuntun ibunya. Enggal melihat jam tangan yang menunjukkan pukul 05.30. Enggal tersenyum kebingungan.
‘Guruuuuuuuuu” panggil si anak
“Hai...., pagi sekali?” Enggal bertanya dengan senyuman
Dilihatnya sang ibu hanya tersenyum, tanpa sepatah katapun terucap. Pakainnya sangat kumal, khas petani karet. Bahan hain seakan berganti beerbahan karet. Enggal masih kebingungan.
“Iya, ibu mau pergi mengumpulkan getah karet di kebun milik orang”
“Jauh?”
“Jauh, Guru” Yang tampak hanya senyuman dari wajah si anak dan ibu.
“Saya pergi ke sekolah setiap pagi seperti ini, sebab biar bisa di antar oleh ibu. Jika tidak, saya tidak bisa pergi ke sekolah, karena Ayah juga bekerja namun di tempat yang berbeda”
Panjang lebar penjelasan si anak yang belakangan Enggal ketahui bernama Surayut Sukkeaw. Sungguh nama yang sama sekali tidak bernuansa Jawa apalagi Melayu. Singkat cerita, Enggal meminta Surayut menunggu mentari terbit di rumah tempat Enggal tinggal, namun rayuan Enggal tidak berhasil melumpuhkan Surayut. Ia lebih memilih menunggu di depan gerbang sekolah yang tidak jauh dari tiang bendera hingga mentari muncul dan ayam keluar dari kandang.
“Dia adalah guru saya” Ujar Surayut kepada Ibu
“Jika aku besar kelak, aku mau menjadi guru sepertinya” Ujar Surayut kembali. Ibunya hanya tersenyum kembali mendengar ocehan anak SD Kelas 4 itu.
Pelukan hangat seorang ibu nampak membuat Surayut nyaman. Tidak ada pemberontakan sedikitpun dari Surayut. Tiang bendera, sepeda tua, Surayut dan ibunya. Itu membuat Enggal tertegun dari kejauhan. Barangkali Enggal sedang merindukan pelukan seorang ibu jua.
Mentari muncul seiring dengan bunyi sepeda ibunda Surayut yang meninggalkannya sendirian. Tidak ragu sang ibu menitipkan Surayut pada mentari pagi itu. Surayut pun jua sama, tidak ragu melepas kepergian ibunda dengan sejuta senyum mengembang. Mekar sekali layaknya senyuman mentari pagi itu. Enggal yang menyaksikan pertunjukan semesta itu jua ikut tersenyum lebar, sehingga menampakkan bibirnya yang tebal serta hidungnya yang pesek. Namun Enggal bahagia tak terhingga pagi itu. Sejak pagi itu Enggal tidak ingin melewatkan pertunjukkan alam itu.
***
Pagi terus saja berganti, penikmat pagi mendentingkan cangkir dan sendok dalam hangatnya kopi.
“Enggal, ayo ikut saya ngopi dulu sambil memakan roti” Ajak Abdullah Naser
Seorang lelaki melayu yang berasal dari Pattani, dari ceritanya ia berhijrah ke tanah tetangga, Songkhla dengan hati yang ikhlas. Ia menikah dengan seorang gadis jelita anak petani karet. Singkat cerita mereka tinggal tidak jauh dari sekolahan tempat Enggal mengajar.
Jelas saja Enggal tidak menolak kesempatan emas itu. Seribu satu kisah mereka suguhkan di warung kopi ala negeri gajah ini. Abdullah bercerita banyak tentang keadaan masyarakat di sekitar. Hampir setiap seluk-beluk desa ia pahami. Ia mengerti semua yang terjadi dan kabar berita yang ia terima selalu up to date  sebab ia adalah kepala desa setempat. Ini merupakan hal yang jarang ditemui, seorang yang berasal dari 3 wilayah memangku jabatan sebagai kepala komunitas apalagi kepala desa mengingat sejarah kelam ketiga wilayah tersebut.
“Setiap pagi saya melihat anak-anak diantar ibunya bersepeda” Enggal bercerita
“Oh... itu anak dusun sebelah, rumahnya jauh di dalam hutan karet” Jawab Abdullah
“Ia selalu bersepeda?”
“Iya, keluarganya sederhana. Beliau juga bisu, tidak bisa berbicara”
Enggal terdiam, kebingungannya terjawab. Bibir si ibu memang tidak berucap kala itu, namun senyumnya tidak hilang di terpa badai. Betapa senyuman itu mengalahkan ucapan manis apalagi bualan. Enggal terdiam sejenak.
“Mengapa?” Sambung Abdullah
“Saya selalu memperhatikannya setiap pagi” Ucap Enggal seraya membetulkan posisi duduk
“Besok kamu ikut saya ke rumahnya”
“Ada apa?” tanya Enggal kebingungan
“Saya selalu melakukan kunjungan berkala ke rumah warga yang berada di pedalaman kebun karet”
Enggal tentulah sangat senang dengan ajakan itu. Tidak ada alasan bagi Enggal untuk menolak ajakan semanis itu. Sungguh itu lebih manis dari Roti Canai  dan Cha Yen yang sedang mereka cicipi. Dirasakan olehnya gemulai angin bahagia, itu terlihat dari semerbaknya dara yang berterbangan. Para pemangku agama Budha berdatangan di setiap rumah untuk mendoakan umatnya lalu menerima sejumlah bekal sebagai imbalannya. Angkutan umum kecil yang terkenal dengan namanya “tuk-tuk” juga datang dan berhenti mengantarkan penumpang di berbagai tujuan. Semua itu membuka mata Enggal kembali bahwasannya ia bukan di negeri pertiwi. Enggal bahagia, tersenyum dan melanjutkan makan. Seribu satu percakapan ala Melayu kampong mereka lakoni, Abdullah dan Enggal kadang mendapati kebingungan tersendiri dengan kata-kata yang didengar dan diucapkan masing-masing.
***
Kokok ayam membangunkan Enggal seperti biasanya, namun dinginnya embun memanjakan Enggal untuk berada di dalam rumah. Mentari meninggi seiring dengan pongahnya serunai belakang rumah Enggal menandakan janjinya dengan Abdullah untuk Blusukan telah tiba.
“Jangan kaget dengan semuanya” Abdullah meyakinkan Enggal
Enggal hanya membalas dengan senyuman
Berliku jalan mereka lalui, sejak kalimat “Jangan kaget dengan semuanya” mereka baru benar-benar memasuki sebuah pertualangan hebat. Jalan berbatu, sungai, jembatan sebatang kayu, jalan di bawah rindangnya pepohonan karet, akar pepohonan, serta monyet-monyet menjadi penghias perjalanan Enggal pagi ini.
“Apakah kita tidak terlalu pagi, Bang?”
“Perjalanan kita akan memakan waktu 2 jam, Enggal. Jadi, di perkirakan kita akan sampai di perkampungan pada pukul 10. Dan saat itu mereka akan berada di rumah, sebab itu adalah masa-masa istirahat dari mengumpulkan getah ” Jawab Abdullah
Enggal hanya mengangguk,
“Mereka pulang mengambil getah karet?” Isyaratkan keraguan di kepalanya.
“Iya, sedangkan malam hingga subuh mereka menyadap, atau memotong” Jawab Abdullah singkat
Enggal nampaknya begitu kagum saja dengan Abdullah. Sebab ia begitu memahami apa yang terjadi meskipun ia tidak menyaksikannya. Selama di perjalanan sesekali merekapun bertemu dengan pengendara motor dengan kecepatan kilat,  meskipun demikian bukan berarti di jalanan tidak ada rintangan  Keranjang yang terbuat dari Jerigen selaksa mahkota kendaraan tua itu.
“Disini kau akan melihat motor yang mengalami penuaan dini” Ucap abdullah.
“Oh ya? Bagaimana bisa?” tanya Enggal
Kau lihat saja itu!”
“Tua, tapi tenaga oke”
“Seperti orang sini”
Pecah tawa keduanya. Enggal hanya tertawa mendengar pernyatan itu, sebab nampak jelas sekali nahwa motor yang baru di beli langsung mengalami modifikasi yang serupa motor tua. Tetesan getah karet yang menjadi penghias utama setiap jengkal motor. Selain itu, dikabarkan juga bahwa bunyi motor di sini wajib di keraskan. Sebab jalanan begitu membahayakan, selain sempit, banyak terdapat tikungan berbahaya.
Jengkal demi jengkal jalanan mereka lalui, berbagai perasaan mereka lewati, kagum, mengerikan, berhati hati dan lain-lain.
“Titik terang sebuah terowongan sudah terlihat, Enggal”
“Iya, kita sudah melewati satu rumah tinggi”
“Kita akan mendatangi rumah terjauh duluan”
“Iya, Bang” Enggal menjawab singkat.
Kedatangan Enggal dan Pak Kades mendapat sambutan luar biasa, meskipun bukan tindakan terencana, namun warga sangat terkesan. Barangkali wajah Enggal lah yang membuat semua mata tertuju.
***
Tiba di penghujung dusun, penghujung perkebunan serta penghujung peradaban di daerah itu. Yang ada hanya rumah panggung di bawah pohon karet. Aliran air dari bambu yang katanya berasal dari air sungai. Air itu juga menjadi sumber kehidupan orang setempat.
“Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam, wah ada Pak Kades dan Pak Guru”
Basa-basi semacamnya panjang lebar. Hampir dimana saja, percakapan selalu di mulai dengan basa-basi. Panjang dan lebar, itu yang membedakan basa-basi di negeri ini.
Surayut sedang duduk di pangkuan ayahnya, serta adiknya sedang berada dalam Ayunan.
“Anak yang lain dimana?” Enggal bertanya
“Anak saya ada 7, Guru” Ujar Warrawut Sukkeaw, yang tidak lain adalah ayahanda Surayut.
Enggal tidak bisa menutupi rasa kagetnya meskipun tadi sudah mendapat berbagai wejangan dari Abdullah. Konon di kabarkan rata-rata jumlah anak penduduk di perkebunan karet adalah 5 hingga 8 anak. Diagnosa sementara Enggal mengatakan hal ini disebabkan oleh minimnya penerangan di malam hari serta matinya aktifitas malam hari.
“Ini adalah anak terakhir saya” Sambil menggenjot ayunan bayi yang terbuat dari kain sarung. “Sementara ini anak nomor 6 saya” Menunjuk Surayut.
Surayut tersenyum lebar menampakkan gigi kapaknya. Sejuk sekali dipandang mata. Untuk kesekian kalinya Enggal tersenyum lebar juga. Sama lebarnya dengan gigi surayut.
“Yang lain sudah berkeluarga ya, Pak?”
“Ada yang belum, ada yang sudah. Yang pertama menjadi Polisi di Bangkok. Alhamdulillah kami tidak menghawatirkan kesejahteraan hidupnya lagi”
Warrawut berkata dengan sedikit getaran di bibirnya. Disusul dengan sang istri yang duduk melipat kaki ke belakang. Tentu tidak ada ucapan darinya, hanya semerbak senyuman yang ia suguhkan. Enggal tertegun kagum.
“Yang kedua, dia di Hatyai, dia memiliki toko di BIG-C. Yang ini perempuan dan sudah menikah, justru mendahului kakaknya. Yang ketiga Menjadi Dokter di Satun. Yang keempat sedang kuliah mendapatkan beasiswa di Bangkok juga. Yang kelima sedang sekolah kelas 1 SMA. Yang ke enam ini, yang memiliki gigi besar seperti kapak. Yang ke tujuh ini yang sedang dalam ayunan”
Tidak ada suara sedikitpun. Yang terdengar hanya sunyi dan suara angin bersentuhan dengan pepohonan. Raut wajah Warrawut dalam bercerita mengisyaratkan kebanggan. Getar bibirnya menisyaratkan kepuasan serta mata yang berkaca menjadi bukti haru suasana. Enggal hanya tertegun mendengarkan cerita itu. Begitu pula dengan Pak Kades dan Istri Warrawut.
“Entah yang ini mau jadi apa besok. Kamu mau jadi apa, Nak?
“Saya meu menjadi petani karet saja seperti ayah” Jawab Surayut
“Tidak, bisa... kamu harus lebih dari saudara mu yang lain” Bantah Warrawut kepada Surayut.
“Aku mau menemani ibu” Ujar Surayut lagi
“Bercita-cita lah, Nak”
“Menjadi petani karet menjanjikan loh, Pak” Abdullah nyambung seraya bercanda
“Saya harus menghentikan tadisi ini”
“Bukankah ini menjanjikan?”
“Betul, menjanjikan tenaga ekstra”
Lalu?”
“Saya akan menjadi penyadap terakhir di keturunan ini” Ujar Warrawut Sukkeaw
Panjang sekali percakapan di atas rumah kayu sederhana itu. Sedikit tidak percaya, Enggal masih tidak habis pikir dengan kehidupannya hari ini. Mendapati sebuah ketegaran hati seorang ayah dan ibu. Mentari semakin meninggi, menyudahi sebuah obrolan edukasi dalam pelosok. Menyudahi kisah inspirasi setiap sosok. Suara seruling mendayu merdu mengiringi perjalana Enggal dan Pak Kades. Lambaian tangan mungil dan dekil penyadap getah karet sungguh begitu menghangatkan. Senyuman seorang ibu yang setiap pagi Enggal saksikan kini menambah luasnya kasih sayang yang Enggal rasakan.
Sepenggal kisah yang penuh inspirasi dari pedalaman Klong Hin.


Wednesday 22 November 2017

KACA DI MATA AYAH


Kalian tau resiko orang bermimpi? Kalian akan dianggap bodoh oleh mereka yang tidak punya mimpi, sampai kalian mampu mewujudkannya. Tapi jangan takut. Itu adalah kekuatan. –Ayah— 

Di Padang Keladi sana, belaian lembut angin pedesaan diatas kursi santai terbuat dari kayu menjadi penanda sebuah percakapan khas ibu-ibu. Pertanda bahwa adanya keangkuhan penduduk bumi disudut pertiwi yang lain, dengan lambaian sombong khas serunai yang semakin meninggi, diapit dua bukit. Sebuah perbincangan ringan muncul dari beberapa bibir insan yang istimewa. Dibawah pohon mempelam –mangga yang berjenis kecil dengan aroma wangi khas Bangka Belitung— beberapa orang berbincang serius menemani senja diwaktu sore.
“Kabarnya Zamri hendak kuliah, benar begitu?”
“Oh benar, Ayahnya selalu meng-iya-kan mimpi Zamri”
“Hebat, kabarnya dia hendak menjadi sarjana pertama di Padang Keladi ini”
“Jadi sarjana itu tidak mudah, anaknya bang Seman di kampung sebelah sudah 7 tahun belum sarjana. Katanya banyak rapot yang merah”
“Tak apa, bang Seman banyak uang. Nah kalau yang ini?”
Berbagai macam percakapan semacam cemoohan yang menganggap ayahnya Zamri melakukan tindakan tidak rasional. Kala itu menjadi petani lada tidak sekaya sepuluh tahun kebelakang, harga lada jauh menurun, disisi lain petani lada dirugikan dengan virus ulat bulu yang menjadi racun bagi pohon lada, sehingga petani lada banyak yang gigit jari. Ayah Zamri salah satunya.
Karena itu, keputusannya untuk mengirimkan Zamri menuju bangku kuliah mencapat kecaman dari berbagai elemen. Mulai dari pak RT, tetangga yang rumahnya disebelah timur rumah Zamri, tetangga yang sebelah utara, tetangga yang rumahnya menempati nomor 05 dan lain-lain. Sehingga sore itu dikalangan ibu-ibu saja Ayah Zamri seakan menjadi trending topic.
Dipojok lain tak jauh dari bangku rumpi ibu-ibu kampung Padang Keladi itu, ada seorang lelaki yang tidak lain adalah Pak Cik-nya Zamri, yaitu suami dari adik ibunya. Mendapati ia sedang mengulas sabut kelapa sebelum diparut dan diproduksi menjadi minyak kelapa. Keberadaannya kurang terlihat oleh sekelompok ibu-ibu yang sedang bergunjing itu. Dengan senyuman menyungging dibibir ia mendengar celotehan yang dianggapnya angin lalu itu.
***
Suatu pagi, serunai belakang rumah semakin meninggi. Mendongak kearah matahari terbit. Pertanda matahari merestui setiap langkah makhluk hidup. Dan embun mulai ditarik pergi. Gemercik bunyi burung seperti air terjun yang tak kunjung putus. Mendapati seorang ibu yang sederhana dengan handuk melilit dikepala. Sedang mengaduk minyak kelapa setengah matang hasil parutan sehari yang lalu. Seperti biasanya, beliau adalah kepala bagian produksi. Lalu disisi yang lain seorang ayah yang sedang mengasah setiap sisi parang hingga tajam, maklum saja kerjaannya sedikit santai karena ia adalah direktur.
Entah apa yang sedang dibicarakan. Yang pasti bukan berbicara politk terkini masa itu. Usahlah bicara politik, mendengar kata politik saja mereka seakan sangat asing. Tiba-tiba datang seorang lelaki mngantarkan kelapa untuk diparut. Pak Cik Zamri, adik ipar ibunya Zamri datang,
“Jadinya Zamri kuliah dimana, Bang?”
“Kabarnya dia hendak ke Jogja” Ayah Zamri melebarkan senyum dan menatap lembut.
Bagai diserbu sebuah angin topan. Isyarat hendak bertanya tentang finansial sebuah keluarga ini telah luluh lantak. Melihat jawaban seperti tanpa beban dari senyum dan jawaban “katanya dia mau di Jogja”.
Dengan memutar pikiran, ia melanjutkan pertanyaan dengan cara yang beda.
“Apakah mahal, Bang?
“Belum tau, kabarnya lumayan!”
“Oooh” Jawab Pak Cik singkat.
Setengah dibungkam dengan senyuman, Pak Cik kini tak mau berucap banyak kata lagi.
Sebuah senyuman mengembang, dan mata tertuju pada satu ranting. Pohon rambutan dan mangga menjadi saksi percakapan itu. Namun semua seakan melayu. Daunnya berguguran dalam satu musim. Jatuh tertimpa sesimpul senyuman seorang ayah melayu.
Rupanya keluarga Zamri, terutama ayah dan ibu sudah terlebih dulu mendengar kabar angin sebagian masyarakat kampung. Sebuah keraguan yang ditujukan pada pundak ayah Zamri. Sebuah api kecongkakan yang dinilai sebagian orang. Sebuah tindakan yang dianggap  kesombongan karena memberanikan diri untuk menguliahkan anaknya.
“Aku hanya tak ingin melihat Zamri sepertiku yang setiap pagi pergi kebukit”
Sambil terus mengasah parang. Sementara Pak Cik hanya tersenyum dan sesekali menunduk dalam-dalam.
“Kau juga ikut meragukan kemampuanku?
Pak Cik menunduk semakin dalam.
“Aku selalu membangkitkan semangatnya. Aku tidak ada, namun ku bilang ada. Aku tidak punya, tapi seakan aku lelaki kaya. Bukan harta semata, tetapi aku senantiasa menyelipkan semangat didadanya. Aku hanya membukakan jalan untuknya, selebihnya Zamri yang tau baik-buruknya”
Suasana hening. Ayah Zamri tersenyum, yah tersenyum sangat lebar sembari terus mengasah parang
“Terlepas apa yang Zamri lakukan disana nanti, karena mataku memang tidak bisa melihatnya terus menerus. Namun aku yakin, Zamri paham dan menghargai keringatku”
“Iya, Bang”
“Kau tau resikonya orang bermimpi?”
Pak Cik Zamri hanya terdiam seribu bahkan sejuta bahasa. Bibirnya bungkam tanpa sepatah kata.
“Kita akan dianggap bodoh oleh mereka yang tidak memiliki mimpi sampai kita bisa mewujudkan mimpi itu. Tapi jangan takut, itu sebuah cambukan, sebuah kekuatan. Sesekali aku ajak dia ke bukit, sekedar menunjukkan ‘inilah kerjaan ayah, Nak. Anak ayah harus merubah semuanya. Anak ayah harus jadi sarjana’. Itu kulakukan berulang-ulang, tidak hanya sekali”
Gemulai angin menyelimuti pori Pak Cik, dan matahari semakin tinggi membakar semua pertanyaan yang menyangkut finansial di kepalanya Pak Cik. Betul, matahari semakin meninggi, sama tingginya dengan semangat ayah nomor satu sedesa itu.
“Aku begitu bukan ingin membuatnya lemah. Aku justeru hanya ingin dia tau kalau kerjaan ayahnya tidak boleh dicontoh. Lihat ini, tangan segini kasarnya, kulit segini bersisiknya, rambut kering begini, pakaian kusam dan bau seperti ini”
Matanya memerah bak buah saga serta semangat yang berkobar seakan membakar pagi, kini ia bangkit dan berkata “niatku menyuruhnya hanya semata-mata ibadah. Siapa tau kelak ia berguna bagi negeri ini. Atau paling tidak ia berguna buatku dihari tua”
Entah dimenit yang ke berapa, Pak Cik hanya bisa terdiam sejuta bahasa.
“Dengan begitu aku yakin Allah tidak akan diam. Jangan takut, aku berdua dengan istri tidak pernah berprasangka buruk. Minyak kelapa masak dan dijual, kami syukuri”
Sang istri hanya bisa menatapnya haru. Barangkali jika saja suasananya mendukung, dipastikan ia akan menangis mendengar ucapan itu yang begitu menyentuh hati dari suaminya. Sementara ayah Zamri harunya memuncak, matanya memerah serta berkaca-kaca.
“Saya tidak butuh pengakuan dunia, mereka mau meragukan silahkan saja. Memang begini resiko bermimpi. Namun ketahuilah, ada Allah dan itu jauh lebih dari cukup”
***
Tidak banyak cerita yang dapat ku ceritakan mengingat hal itu, untuk kali ini saja, bagiku, bercerita rasanya seperti menikam diri sendiri. Sakit dan perih. Sebab menyaksikan ayah menangis adalah pantangan seumur hidup.

MELUKIS PELANGI

Cerpen ini menang dalam lomba penulisan cerpen dan sudah dibukukan dalam Kumpulan Cerpen yang diterbitkan oleh Pena Indis 
ISBN: 798-602-429-047-7

MELUKIS PELANGI

Semenjak hari itu, aku sadar bahwa pelangi tak selamanya muncul setelah hujan. Ia pun tumbuh melengkung serta mengakar di senyuman ayah dan ibu dalam musim kemarau sekalipun.
==============================================
“Hendak kemana kau esok?” Seoranag ibu bertanya pada Syahrul 
“Melukis pelangi” Jawabnya sembari berlari meninggalkan senyum untuk ibu
Mentari dikala sore itu sudah terbenam, mesin diesel yang menerangi kampung Padang Keladi sudah dihidupkan oleh petugasnya. Seorang anak laki-laki berperawakan kumal bernama Syahrul berlari meninggalkan ibu untuk menuju Masjid dan selanjutnya ke rumah Pak Cik Seman untuk mengaji. Seperti anak-anak yang lainnya, dengan memakai songkok hitam berkain sarung ia berlari dan sesekali sarungnya melorot karena kebesaran.
Rumah Pak Cik Seman tidak jauh dari rumahnya. Jaraknya hanya berselang satu rumah. Syahrul dan kelompok enam sekawan beraturan masuk dan menyalami Pak Cik sebelum mengaji. Lalu meletakkan Al-Qur’an diatas bantal yang sudah disiapkan oleh Pak Cik sebelum sembahyang maghrib. Saat itu, Syahrul sebagai ketua kelas menempati barisan terdepan. Tidak ada bedanya seperti sekolah, mereka berenam sepakat menempatkan Syahrul sebagai ketua dalam tim mengaji. Satu persatu mengaji, dengan sabar dan telaten Pak Cik mengajari mereka.
“Rul, mengapa suaramu keras sekali tadi” Tanya Banu memasang muka heran.
“Supaya kedengaran ibu, biar beliau senang mendengar suaraku yang mengaji dengan semangat, inshaAllah besok aku dibelikan sepeda baru”
“Oh, patutlah kalau begitu” Jawab kelima temannya dengan muka datar.
Mereka berjalan sambil menyingsingkan sarung masing-masing. Tidak butuh waktu lama untuk ia sampai kerumah karena memang tidak terlalu jauh. Setiba Syahrul di rumah, ibu menyambut dengan senyum, pun jua sama dengan ayahnya.
“Nak, apa cita-citamu” Tanya ayah dengan nada bergetar
“Aku hanya ingin menjadi guru ngaji seperti pak cik Seman, Yah”
“Selain itu?” Imbuh ibu
“Aku hendak keliling dunia”
“lalu?”
“Aku hendak melukis pelangi di bibir ayah dan ibu” Ayah dan ibu Syahrul hanya tertawa saling menatap satu dengan yang lain.
Sebagai anak tunggal kala itu dia memang sering dimanjakan oleh ayah dan ibunya. Sepulang sekolah dia selalu diajak bersepeda keliling dusun oleh ayah. Terlebih ketika ia mendapat nilai 100, ayahnya akan mengajak ia keliling lagi pada sore hari.
Suatu sore, musim hujan di akhir tahun 1998, ayah dan ibunya mengajak Syahrul duduk bersantai di bangku depan rumah. Sesekali ayahnya mengajak bermain dengan telapak tangan. Entah apa maksud dari permainan itu. Namun tiba-tiba,
“Tangan ayah kasar, aku malas digendong ayah” Syahrul beralih ke ibunya
“Tidak boleh gitu, ayah dan ibu sama saja, sama-sama sayang kamu”
“Tapi ayah beda” Bantahnya
“Ya sudah, besok tidak usah bermain sepeda lagi” Karena ancaman itu membuatnya sedikit terpaksa meminta maaf kepada sang ayah. Lalu ayah memeluknya dengan kehangatan yang sama.
“Kelak, anak ayah jangan menjadi buruh seperti ayah. Jadilah orang besar, supaya tangannya tidak kasar seperti ayah. Cukup ayah yang begini” Lagi, untuk kesekian kalinya Syahrul mendengar sang ayah berucap dengan bibir bergetar sambil memeluknya erat. Dia menatap dan memeluk ayahnya dengan kuat pula. Sedikit merasa bersalah dengan ucapan sebelumnya. Kehangatan di musim hujan muncul diantara keluarga kecil itu. Sesekali batang serunai melambai terkena angin. Burung pentis ikut menyaksikan adegan itu sengan siulan melejit.
Angin sore itu meniup mereka begitu semilir. Syahrul bingung membedakan gelap di langit. Apakah gelap karena hendak turun hujan, entah pertanda sudah malam atau mungkin kelopak matanya yang mendung karena mendengar ucapan sang ayah?
“Bila kau hendak menjadi guru, itu cita-cita mulia”
“Tapi, aku juga hendak berjalan keliling dunia, Yah”
“Tidak masalah. Berkeliling dunia juga akan membuatmu menjadi guru yang luas akan pengetahuan. Nanti kau bisa ajarkan kepada murid-muridmu, kepada adikmu nanti, juga kepada ayah dan ibu” Ibunya menjawab sambil tersenyum ke sang ayah
Dia hanya membalas semua dengan tersenyum. Syahrul merasakan kembali tangan kasar sang ayah mengusap keningnya dengan lembut. Sekedar menepis gerimis yang mulai membasahi bumi. Menutup peraduan senja yang mereka tatap bersama.
***
            “Ibu sedang apa?”
            “Sedang mengajari adik-adik mengerjakan PR”
Gerimis tanah Songkhla, Thailand yang berubah menjadi hujan ringan membuyarkan lamunan Syahrul 18 Tahun silam. Pelangi itu sudah ia ukir sejak dirinya dinobatkan menjadi sarjana pertama di Padang Keladi.Lalu pelangi di bibir ayah dan ibunya bertambah lebar ketika mendapat kabar ia menjadi pengajar muda yang mewakili kampusnya di Thailand. Lengkap sudah impian Syahrul dan harapan ayah dan ibunya.
Namun, kali ini tidak ada tangan kasar ayah yang menghapus hujan di keningnya. Tetapi bagi Syahrul, pelangi itu ibarat bulan, dimana saja dan kapan saja ia selalu ada, hanya seringkali tidak tampak. Begitu pula dengan pelangi di bibir ayah dan ibu, ia pastikan pelangi disana sedang menyala merekah, meskipun ia tak mampu menikmati indahnya. Namun setidaknya Syahrul telah melukis pelangi itu menjadi nyata.



Nama               : Haiyudi
Facebook         : Yudhi Hyd
Email               : haiyudi@gmail.com
WA                 : +66-62-080-2292
Karya              :
1.      Persimpangan (Novel/ ISBN: 978-602-336-216-5/ 2016)
2.      Cha Yen di Negeri Gajah Putih (Kum-Cer/ ISBN: 978-602-71191-9-2/ 2016)
3.      Beberapa Cerpen dan Puisi di Media Cetak
4.      Padang Keladi (Novel/ Proses)
Penulis

Haiyudi, lahir di Padang Keladi, Sebuah dusun terdalam di Kabupaten Bangka Selatan, Provinsi Kep. Bangka Belitung. Pendidikan Dasar di SD N 233 Lepar Pongok, kemudian melanjutkan di SMP N 1 Lepar Pongok, lalu berhijrah ke Pulau Belitong untuk melanjutkan sekolah di SMK N 1 Tanjungpandan, Belitong. Selanjutnya mengadu nasib menjadi pedagang asongan di Malioboro, Jogjakarta. Sembari berjualan, ia juga merupakan mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris pada tahun 2010-2014. Selebihnya ia adalah lelaki sederhana, bahkan sederhana sekali. Hobinya adalah bermimpi dan membangun mimpi. 

Pigura