Sunday 8 April 2018

Cerita Kelam Pendidikan Dari Dusun Padang Keladi

Dok. Pribadi
Padang Keladi, sebuah dusun yang terletak di Kecamatan Kepulauan Pongok, memiliki kisah pendidikan yang Ironis. Sekolah tersebut masih berstatus cabang dari Sekolah Dasar yang ada di Desa Pongok.
Dari sekolah dengan satu gedung ini terlihat gambaran pendidikan yang sangat ironis. Tidak sama dengan sekolah lainnya, waktu belajar sekolah ini cenderung lebih cepat dan bahkan seringkali tidak belajar karena gurunya berhalangan hadir.
“Hari ini ada 6 guru yang datang, kalau jum’at kemarin hanya ada dua guru saja yang hadir, yang lain sibuk mengurusi berkas untuk akreditasi sekolah” Ungkap Pak Junaedi, Senin (2/4/2018)
Menurut penjelasan beberapa orang guru, jarak yang jauh sebetulnya bukan masalah. Yang menjadi masalah pada umumnya ialah kesejahteraan guru, terutama honorer yang dituntut mengerjakan pekerjaan yang sama dengan pegawai. Sementara secara kesejahteraan mereka terpaut jauh dengan pegawai negeri sipil.
“Saya hanya seorang honorer biasa, kesejahteraan kami sangat jauh dibanding pegawai. Namun secara tugas kami sama sekali tidak ada bedanya, bahkan mungkin pekerjaan kami lebih berat” Ungkap seorang guru yang akrab dipanggil Pak Yan
Selain itu, ia juga menceritakan bahwa hak mereka berupa gaji sangat memprihatinkan. “Saya tidak menerima gaji sudah hampir tiga bulan, kalaulah tidak memikirkan nasib anak-anak saya lebih baik melaut saja” Tambahnya dengan suara bergetar.
Menurutnya, pemerintah harus bertindak jelas terkait nasib guru honorer seperti dirinya. “Kalau pemerintah tidak peduli seperti ini, bayangkan kalau guru honorer beralih menjadi petani, nelayan dan profesi lainnya? Kelabakan dunia pendidikan kita”
Ia juga menyampaikan keprihatinannya bahwa saat ini guru-guru yang berstatus PNS sibuk mempersiapkan berkas kenaikan gaji dan pangkat daripada memikirkan metode dan teknik pengajaran.
“Waktu guru habis, sudah mempersiapkan Administrasi Mengajar ditambah lagi mempersiapkan berkas kenaikan pangkat. Sehingga tidak ada waktu untuk memikirkan metode dan teknik pengajaran. Hasilnya guru sibuk di kantor, anak-anak sibuk bermain di halaman seperti itu” tambahnya sambil melihat ke arah anak-anak yang sibuk bermain.


Hyd

Tuesday 13 February 2018

SEKOLAH TANPA SERAGAM, TANPA GURU DAN TANPA MATA PELAJARAN DI JOGJA, TETAPI SANGAT KEREN


today.line.me
Sanggar Anak Alam (SALAM) merupakan pendidikan alternatif yang memiliki kurikulum berbasis penelitian/ riset.
Masih banyak yang belum mengetahui keberadaan sekolah alam ini. Baik, inilah sekilas tentang Sekolah Anak Alam (SALAM).
Dilansir dari www.vice.com Selasa (30/1/2018) Sri Wahyaningsih atau yang akrab disapa Wahya, merupakan pendiri SALAM ini sudah memulai sekolah ini sejak tahun 2000 yang lalu. Sekolah ini didirikan di tengah area persawahan di daerah Nitiprayan , Yogyakarta.
Berbeda dengan sekolah formal tentunya, sekolah ini tidak memiliki jadwal pelajaran tetap. Siswa memillih sendiri pelajaran atau penelitian yang mereka suka. Darisitulah pelajaran bermula. Dengan topik yang mereka tentukan sendiri, nantinya mereka akan mengetahui banyak hal yang berhubungan dengan topik mereka tersebut.
Wahya mengungkapkan kalau kebanyak sekolah formal seakan memaksa siswa untuk memenuhi beban nilai yang sangat berat. Menelan ilmu-ilmu yang sebenarnya tidak mereka butuhkan.
“Di sekolah formal saya melihat mereka banyak belajar sesuatu yang belum pas di usianya. Misalnya anak SD belajar tugas MPR-DPR, prosedur cari KTP, Pemilu, itu ngapain? Untuk apa? Harusnya kan mereka belajar soal diri sendiri, potensi diri, apa yang dia lakukan, dan kebutuhan dasar mereka,” ujar Wahya.
Tidak hanya itu, pendiri SALAM juga menceritakan status sekolah ini. Ia mengungkapkan saat ini status hukum SALAM masuk kategori Pendampingan Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM) sebagai sekolah non-formal. Kategori ini masih di bawah Dinas Pendidikan Nasional.
Demi mentaati peraturan siswa SALAM masih mengikuti ujian kejar paket penyetaraan dari pemerintah.Wwahya juga menyebutkan bahwa siswa siswi SALAM pada saat mengikuti ujian seringkali malah mengkritisi soal yang dibuat pemerintah.
 “Anak-anak itu nemu banyak soal UN yang salah, jawabannya salah, juga banyak yang sebenernya nggak perlu ditanyakan, malah mengevaluasi soal pemerintah,” Ujar Wahya
Saat ini SALAM memiliki 3 orang pendamping, bukan guru. 3 Pendamping disini bahka tidak memiliki hak untuk mengatur jalannya kelas, karena itu murni hak siswa sesuai kesepakatan.
Adapun topik riset yang dilakukan merupakan hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.
“Masak iya di sini mau belajar roket, padahal kita enggak pernah lihat roket beneran, itu enggak akan ngaruh ke masa depan mereka. Kami nggak minta riset yang gede kok, supaya tidak terlalu berjarak dengan lingkungan,” cerita Erika, fasilitator relawan yang mendampingi kelas 7
Wahya juga mengungkapkan ketidaksepakatannya terhadap pemerintah dalam hal penyelenggaraan pendidikan. Ia menganggap negara tidak menyelenggarakan pendidikan dengan bhineka tunggal ika.
“Pemerintah kita nggak mendesain pendidikan sesuai dengan Bhineka Tunggal Ika. Penyeragaman itu kan sebenarnya menodai slogan itu sendiri. Pendidikan di sini sama di Papua kan harusnya beda, tapi sekarang disamakan. Kalau standarnya dibuat satu, jadinya memarjinalkan. Itu luar biasa bahaya,” ujar Wahya berapi-api.
Itulah sekilas kisah Sekolah Anak Alam yang berada di Yogyakarta. Sekolah alternatif yang memiliki kurikulum berbasis penelitian terutama dalam hal kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan alam.

Sumber: www.vice.com/id_id/article/xw4ez3/sekolah-tanpa-seragam-tanpa-guru-dan-tanpa-mata-pelajaran-di-yogya

Pigura