Cerpen ini sudah dibukukan dalam kumpulan cerpen "Cha Yen" yang merupakan gabungan mahasiswa dan pengajar di Thailand.
oleh: Haiyudi
“Ibu tidak capek?”
“Tidak sama sekali” Seorang wanita mengelap keringat
di dahinya.
Semilir angin meniup basah pundak
pekerja pagi itu. Membuang jauh gurindam Melayu, menggeser peradaban negeri ibu
pertiwi. Sang fajar mulai menunduk hendak berpamit. Duh, Keindahan apalagi yang
ada di dunia ini? Tidak ada, kecuali masa pergantian peran rembulan dan
mentari, Fajar dan Senja. Belum penuh mentari menyapa, bahkan dinginnya aspal
menjadi pertanda pekat. Angin pagi masih sibuk mencari tempat bersandar. Kokok
ayam terasa sumbang didengar, tersebab sang tuan belum membukanya dari kandang.
Mendapati diri yang terjaga
setelah subuh, Enggal Suroso memilih keluar dari peraduan. Dari namanya jelas
Enggal, atau Suroso bukanlah orang Thailand masa kini. Lelaki berperawakan Jawa
kuno itu adalah seorang guru muda. Ia diasingkan oleh kampusnya keluar dari negerinya
sendiri. Konon kabarnya untuk menghindari stress berat akibat memikirkan
negaranya. Sebab sejak dulu, ia dikenal sebagai mahasiswa pemikir. Seperti mau
mandi misalnya, ia selalu berpikir panjang. Sudah, ini bukan kisah Enggal
Suroso
Dengan bekal bahasa yang
pas-pasan dan seadanya, Enggal tidak sulit untuk berinteraksi kepada warga
setempat.
Pagi itu, dengan kamera seadanya,
Enggal mencoba mencari objek gambar, namun yang nampak adalah berbeda.
Sayup-sayup suara seorang wanita tua berbincang dengan anaknya. Suara reot dan
rantai yang bergesekan pula menandakan sepeda tua yang ditumpanginya tidak
kalah tua dari usianya.
“Ibu, jika sudah sampai sekolah,
terus aku bagaimana?”
suara si anak memecah embun di tengkuk Enggal. Tiba-tiba suasana menjadi
hangat. Semakin dekat dan jelas bayangan dua anak-beranak itu di depan Enggal.
“Ibu, jangan pergi dulu, aku
takut sendirian. Kan masih gelap”
Sambungnya
Enggal sedikit terperangah dengan
pemandangan itu. Seorang anak dengan pakaian sekolah rapi, berkaos kaki serta
membawa bekal dalam plastik asoy hitam sedang duduk diatas sepeda tua yang di
tuntun ibunya. Enggal melihat jam tangan yang menunjukkan pukul 05.30. Enggal
tersenyum kebingungan.
‘Guruuuuuuuuu” panggil si anak
“Hai...., pagi sekali?” Enggal bertanya dengan senyuman
Dilihatnya
sang ibu hanya tersenyum, tanpa sepatah katapun terucap. Pakainnya sangat
kumal, khas petani karet. Bahan hain seakan berganti beerbahan karet. Enggal
masih kebingungan.
“Iya, ibu mau pergi mengumpulkan
getah karet di kebun milik orang”
“Jauh?”
“Jauh, Guru” Yang tampak hanya senyuman dari
wajah si anak dan ibu.
“Saya pergi ke sekolah setiap
pagi seperti ini, sebab biar bisa di antar oleh ibu. Jika tidak, saya tidak
bisa pergi ke sekolah, karena Ayah juga bekerja namun di tempat yang berbeda”
Panjang lebar penjelasan si anak
yang belakangan Enggal ketahui bernama Surayut Sukkeaw. Sungguh nama yang sama
sekali tidak bernuansa Jawa apalagi Melayu. Singkat cerita, Enggal meminta
Surayut menunggu mentari terbit di rumah tempat Enggal tinggal, namun rayuan
Enggal tidak berhasil melumpuhkan Surayut. Ia lebih memilih menunggu di depan
gerbang sekolah yang tidak jauh dari tiang bendera hingga mentari muncul dan
ayam keluar dari kandang.
“Dia adalah guru saya” Ujar Surayut kepada Ibu
“Jika aku besar kelak, aku mau
menjadi guru sepertinya”
Ujar Surayut kembali. Ibunya hanya tersenyum kembali mendengar ocehan anak SD
Kelas 4 itu.
Pelukan hangat seorang ibu nampak
membuat Surayut nyaman. Tidak ada pemberontakan sedikitpun dari Surayut. Tiang
bendera, sepeda tua, Surayut dan ibunya. Itu membuat Enggal tertegun dari
kejauhan. Barangkali Enggal sedang merindukan pelukan seorang ibu jua.
Mentari muncul seiring dengan
bunyi sepeda ibunda Surayut yang meninggalkannya sendirian. Tidak ragu sang ibu
menitipkan Surayut pada mentari pagi itu. Surayut pun jua sama, tidak ragu
melepas kepergian ibunda dengan sejuta senyum mengembang. Mekar sekali layaknya
senyuman mentari pagi itu. Enggal yang menyaksikan pertunjukan semesta itu jua
ikut tersenyum lebar, sehingga menampakkan bibirnya yang tebal serta hidungnya
yang pesek. Namun Enggal bahagia tak terhingga pagi itu. Sejak pagi itu Enggal
tidak ingin melewatkan pertunjukkan alam itu.
***
Pagi terus saja berganti,
penikmat pagi mendentingkan cangkir dan sendok dalam hangatnya kopi.
“Enggal, ayo ikut saya ngopi dulu
sambil memakan roti” Ajak Abdullah Naser
Seorang lelaki melayu yang
berasal dari Pattani, dari ceritanya ia berhijrah ke tanah tetangga, Songkhla
dengan hati yang ikhlas. Ia menikah dengan seorang gadis jelita anak petani
karet. Singkat cerita mereka tinggal tidak jauh dari sekolahan tempat Enggal
mengajar.
Jelas saja Enggal tidak menolak
kesempatan emas itu. Seribu satu kisah mereka suguhkan di warung kopi ala
negeri gajah ini. Abdullah bercerita banyak tentang keadaan masyarakat di
sekitar. Hampir setiap seluk-beluk desa ia pahami. Ia mengerti semua yang
terjadi dan kabar berita yang ia terima selalu up to date sebab ia adalah kepala desa setempat. Ini
merupakan hal yang jarang ditemui, seorang yang berasal dari 3 wilayah memangku
jabatan sebagai kepala komunitas apalagi kepala desa mengingat sejarah kelam
ketiga wilayah tersebut.
“Setiap pagi saya melihat
anak-anak diantar ibunya bersepeda”
Enggal bercerita
“Oh... itu anak dusun sebelah,
rumahnya jauh di dalam hutan karet”
Jawab Abdullah
“Ia selalu bersepeda?”
“Iya, keluarganya sederhana.
Beliau juga bisu, tidak bisa berbicara”
Enggal terdiam, kebingungannya
terjawab. Bibir si ibu memang tidak berucap kala itu, namun senyumnya tidak
hilang di terpa badai. Betapa senyuman itu mengalahkan ucapan manis apalagi
bualan. Enggal terdiam sejenak.
“Mengapa?” Sambung Abdullah
“Saya selalu memperhatikannya
setiap pagi”
Ucap Enggal seraya membetulkan posisi duduk
“Besok kamu ikut saya ke
rumahnya”
“Ada apa?” tanya Enggal kebingungan
“Saya selalu melakukan kunjungan
berkala ke rumah warga yang berada di pedalaman kebun karet”
Enggal tentulah sangat senang
dengan ajakan itu. Tidak ada alasan bagi Enggal untuk menolak ajakan semanis
itu. Sungguh itu lebih manis dari Roti Canai dan Cha Yen yang sedang mereka cicipi.
Dirasakan olehnya gemulai angin bahagia, itu terlihat dari semerbaknya dara
yang berterbangan. Para pemangku agama Budha berdatangan di setiap rumah untuk
mendoakan umatnya lalu menerima sejumlah bekal sebagai imbalannya. Angkutan
umum kecil yang terkenal dengan namanya “tuk-tuk” juga datang dan berhenti
mengantarkan penumpang di berbagai tujuan. Semua itu membuka mata Enggal
kembali bahwasannya ia bukan di negeri pertiwi. Enggal bahagia, tersenyum dan
melanjutkan makan. Seribu satu percakapan ala Melayu kampong mereka lakoni,
Abdullah dan Enggal kadang mendapati kebingungan tersendiri dengan kata-kata
yang didengar dan diucapkan masing-masing.
***
Kokok ayam membangunkan Enggal
seperti biasanya, namun dinginnya embun memanjakan Enggal untuk berada di dalam
rumah. Mentari meninggi seiring dengan pongahnya serunai belakang rumah Enggal
menandakan janjinya dengan Abdullah untuk Blusukan telah tiba.
“Jangan kaget dengan semuanya” Abdullah meyakinkan Enggal
Enggal hanya membalas dengan
senyuman
Berliku jalan mereka lalui, sejak
kalimat “Jangan kaget dengan semuanya” mereka baru benar-benar memasuki sebuah
pertualangan hebat. Jalan berbatu, sungai, jembatan sebatang kayu, jalan di
bawah rindangnya pepohonan karet, akar pepohonan, serta monyet-monyet menjadi
penghias perjalanan Enggal pagi ini.
“Apakah kita tidak terlalu pagi,
Bang?”
“Perjalanan kita akan memakan waktu
2 jam, Enggal. Jadi, di perkirakan kita akan sampai di perkampungan pada pukul
10. Dan saat itu mereka akan berada di rumah, sebab itu adalah masa-masa
istirahat dari mengumpulkan getah ”
Jawab Abdullah
Enggal hanya mengangguk,
“Mereka pulang mengambil getah
karet?”
Isyaratkan keraguan di kepalanya.
“Iya, sedangkan malam hingga
subuh mereka menyadap, atau memotong”
Jawab Abdullah singkat
Enggal nampaknya begitu kagum
saja dengan Abdullah. Sebab ia begitu memahami apa yang terjadi meskipun ia
tidak menyaksikannya. Selama di perjalanan sesekali merekapun bertemu dengan
pengendara motor dengan kecepatan kilat, meskipun demikian bukan berarti di jalanan
tidak ada rintangan Keranjang yang
terbuat dari Jerigen selaksa mahkota kendaraan tua itu.
“Disini kau akan melihat motor
yang mengalami penuaan dini” Ucap
abdullah.
“Oh ya? Bagaimana bisa?” tanya Enggal
“Kau lihat saja itu!”
“Tua, tapi tenaga oke”
“Seperti orang sini”
Pecah tawa keduanya. Enggal hanya
tertawa mendengar pernyatan itu, sebab nampak jelas sekali nahwa motor yang
baru di beli langsung mengalami modifikasi yang serupa motor tua. Tetesan getah
karet yang menjadi penghias utama setiap jengkal motor. Selain itu, dikabarkan
juga bahwa bunyi motor di sini wajib di keraskan. Sebab jalanan begitu
membahayakan, selain sempit, banyak terdapat tikungan berbahaya.
Jengkal demi jengkal jalanan
mereka lalui, berbagai perasaan mereka lewati, kagum, mengerikan, berhati hati
dan lain-lain.
“Titik terang sebuah terowongan
sudah terlihat, Enggal”
“Iya, kita sudah melewati satu
rumah tinggi”
“Kita akan mendatangi rumah
terjauh duluan”
“Iya, Bang” Enggal menjawab singkat.
Kedatangan Enggal dan Pak Kades
mendapat sambutan luar biasa, meskipun bukan tindakan terencana, namun warga
sangat terkesan. Barangkali wajah Enggal lah yang membuat semua mata tertuju.
***
Tiba di penghujung dusun,
penghujung perkebunan serta penghujung peradaban di daerah itu. Yang ada hanya
rumah panggung di bawah pohon karet. Aliran air dari bambu yang katanya berasal
dari air sungai. Air itu juga menjadi sumber kehidupan orang setempat.
“Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam, wah ada Pak
Kades dan Pak Guru”
Basa-basi semacamnya panjang
lebar. Hampir dimana saja, percakapan selalu di mulai dengan basa-basi. Panjang
dan lebar, itu yang membedakan basa-basi di negeri ini.
Surayut sedang duduk di pangkuan
ayahnya, serta adiknya sedang berada dalam Ayunan.
“Anak yang lain dimana?” Enggal bertanya
“Anak saya ada 7, Guru” Ujar Warrawut Sukkeaw, yang
tidak lain adalah ayahanda Surayut.
Enggal tidak bisa menutupi rasa
kagetnya meskipun tadi sudah mendapat berbagai wejangan dari Abdullah. Konon
di kabarkan rata-rata jumlah anak penduduk di perkebunan karet adalah 5 hingga
8 anak. Diagnosa sementara Enggal mengatakan hal ini disebabkan oleh minimnya
penerangan di malam hari serta matinya aktifitas malam hari.
“Ini adalah anak terakhir saya” Sambil menggenjot ayunan bayi
yang terbuat dari kain sarung. “Sementara ini anak nomor 6 saya” Menunjuk
Surayut.
Surayut tersenyum lebar
menampakkan gigi kapaknya. Sejuk sekali dipandang mata. Untuk kesekian kalinya
Enggal tersenyum lebar juga. Sama lebarnya dengan gigi surayut.
“Yang lain sudah berkeluarga ya,
Pak?”
“Ada yang belum, ada yang sudah.
Yang pertama menjadi Polisi di Bangkok. Alhamdulillah kami tidak menghawatirkan
kesejahteraan hidupnya lagi”
Warrawut berkata dengan sedikit
getaran di bibirnya. Disusul dengan sang istri yang duduk melipat kaki ke
belakang. Tentu tidak ada ucapan darinya, hanya semerbak senyuman yang ia
suguhkan. Enggal tertegun kagum.
“Yang kedua, dia di Hatyai, dia
memiliki toko di BIG-C. Yang ini perempuan dan sudah menikah, justru mendahului
kakaknya. Yang ketiga Menjadi Dokter di Satun. Yang keempat sedang kuliah
mendapatkan beasiswa di Bangkok juga. Yang kelima sedang sekolah kelas 1 SMA.
Yang ke enam ini, yang memiliki gigi besar seperti kapak. Yang ke tujuh ini
yang sedang dalam ayunan”
Tidak ada suara sedikitpun. Yang
terdengar hanya sunyi dan suara angin bersentuhan dengan pepohonan. Raut wajah
Warrawut dalam bercerita mengisyaratkan kebanggan. Getar bibirnya menisyaratkan
kepuasan serta mata yang berkaca menjadi bukti haru suasana. Enggal hanya
tertegun mendengarkan cerita itu. Begitu pula dengan Pak Kades dan Istri
Warrawut.
“Entah yang ini mau jadi apa
besok. Kamu mau jadi apa, Nak?
“Saya meu menjadi petani karet
saja seperti ayah”
Jawab Surayut
“Tidak, bisa... kamu harus lebih
dari saudara mu yang lain” Bantah
Warrawut kepada Surayut.
“Aku mau menemani ibu” Ujar Surayut lagi
“Bercita-cita lah, Nak”
“Menjadi petani karet menjanjikan
loh, Pak”
Abdullah nyambung seraya bercanda
“Saya harus menghentikan tadisi
ini”
“Bukankah ini menjanjikan?”
“Betul, menjanjikan tenaga
ekstra”
Lalu?”
“Saya akan menjadi penyadap
terakhir di keturunan ini” Ujar
Warrawut Sukkeaw
Panjang sekali percakapan di atas
rumah kayu sederhana itu. Sedikit tidak percaya, Enggal masih tidak habis pikir
dengan kehidupannya hari ini. Mendapati sebuah ketegaran hati seorang ayah dan
ibu. Mentari semakin meninggi, menyudahi sebuah obrolan edukasi dalam pelosok.
Menyudahi kisah inspirasi setiap sosok. Suara seruling mendayu merdu mengiringi
perjalana Enggal dan Pak Kades. Lambaian tangan mungil dan dekil penyadap getah
karet sungguh begitu menghangatkan. Senyuman seorang ibu yang setiap pagi
Enggal saksikan kini menambah luasnya kasih sayang yang Enggal rasakan.
Sepenggal kisah yang penuh
inspirasi dari pedalaman Klong Hin.