Thursday, 28 February 2019

Pigura

Image result for pigura
Pigura Kayu
(Terdokumentasi dalam kumpulan puisi Padang Keladi)

Pigura membawaku ke seberang pulau
memahat ayu wajah ibu, ku tatap sayu
ia sedang mendekap kekanak-kanakan ku
Berdendang merayu, jikala tangisku menggerutu

Pigura membawaku ke seberang pulau
ku saksikan senyum ayah serupa hujan
mengaliri sungai di pelupuk mata ku
mengajakku bersepeda dalam bingkai pigura

Pigura menghadirkan tawa
yang tidak bisa ku dengar walau hanya sepatah kata
menghadirkan air mata
yang tak bisa kuusap namun membikin basah

Jikalah musim telah berganti, namun
pigura ku tetapdi dinding yang sama
membingkai sepotong cerita, antara;
Aku, Ayah, Ibu dan Jogja

Yogyakarta, 28 November 2018
Haiyudi

Ayah di Ujung Pelabuhan Kecil

Image result for pelabuhan pulau pongok
Pelabuhan Pulau Pongok
(Terdokuentasi dalam kumpulan puisi Padang Keladi)


Ketika ayah duduk di pelabuhan reot, itu;

Semenjak hari itu

Ketika aku pergi meninggalkan desa
engkau terduduk di pelabuhan kecil
terpecikkan asin air laut di muka mu
membuat sukar kubedakan dengan tangis

Ketika aku pergi meninggalkan desa
engkau memeluk lutut dan meratap doa
berbinar matamu, bergetar bibirmu
membuat sukar kubedakan dangan tabah

Semenjak hari itu
Ketika aku pergi meninggalkan desa
dari kejauhan kulihat kau berbalik dan berjalan
sesekali menoleh ke arah ku
melambaikan tangan dan senyuman

Semenjak hari itu
Ketika perahuku berlayar
rantauku tak akan kemana
tersebab ayah di ujung pelabuhan kecil
menanti kepulangan anaknya.

Thailand, 15 November 2017
Haiyudi

Sunday, 8 April 2018

Cerita Kelam Pendidikan Dari Dusun Padang Keladi

Dok. Pribadi
Padang Keladi, sebuah dusun yang terletak di Kecamatan Kepulauan Pongok, memiliki kisah pendidikan yang Ironis. Sekolah tersebut masih berstatus cabang dari Sekolah Dasar yang ada di Desa Pongok.
Dari sekolah dengan satu gedung ini terlihat gambaran pendidikan yang sangat ironis. Tidak sama dengan sekolah lainnya, waktu belajar sekolah ini cenderung lebih cepat dan bahkan seringkali tidak belajar karena gurunya berhalangan hadir.
“Hari ini ada 6 guru yang datang, kalau jum’at kemarin hanya ada dua guru saja yang hadir, yang lain sibuk mengurusi berkas untuk akreditasi sekolah” Ungkap Pak Junaedi, Senin (2/4/2018)
Menurut penjelasan beberapa orang guru, jarak yang jauh sebetulnya bukan masalah. Yang menjadi masalah pada umumnya ialah kesejahteraan guru, terutama honorer yang dituntut mengerjakan pekerjaan yang sama dengan pegawai. Sementara secara kesejahteraan mereka terpaut jauh dengan pegawai negeri sipil.
“Saya hanya seorang honorer biasa, kesejahteraan kami sangat jauh dibanding pegawai. Namun secara tugas kami sama sekali tidak ada bedanya, bahkan mungkin pekerjaan kami lebih berat” Ungkap seorang guru yang akrab dipanggil Pak Yan
Selain itu, ia juga menceritakan bahwa hak mereka berupa gaji sangat memprihatinkan. “Saya tidak menerima gaji sudah hampir tiga bulan, kalaulah tidak memikirkan nasib anak-anak saya lebih baik melaut saja” Tambahnya dengan suara bergetar.
Menurutnya, pemerintah harus bertindak jelas terkait nasib guru honorer seperti dirinya. “Kalau pemerintah tidak peduli seperti ini, bayangkan kalau guru honorer beralih menjadi petani, nelayan dan profesi lainnya? Kelabakan dunia pendidikan kita”
Ia juga menyampaikan keprihatinannya bahwa saat ini guru-guru yang berstatus PNS sibuk mempersiapkan berkas kenaikan gaji dan pangkat daripada memikirkan metode dan teknik pengajaran.
“Waktu guru habis, sudah mempersiapkan Administrasi Mengajar ditambah lagi mempersiapkan berkas kenaikan pangkat. Sehingga tidak ada waktu untuk memikirkan metode dan teknik pengajaran. Hasilnya guru sibuk di kantor, anak-anak sibuk bermain di halaman seperti itu” tambahnya sambil melihat ke arah anak-anak yang sibuk bermain.


Hyd

Tuesday, 13 February 2018

SEKOLAH TANPA SERAGAM, TANPA GURU DAN TANPA MATA PELAJARAN DI JOGJA, TETAPI SANGAT KEREN


today.line.me
Sanggar Anak Alam (SALAM) merupakan pendidikan alternatif yang memiliki kurikulum berbasis penelitian/ riset.
Masih banyak yang belum mengetahui keberadaan sekolah alam ini. Baik, inilah sekilas tentang Sekolah Anak Alam (SALAM).
Dilansir dari www.vice.com Selasa (30/1/2018) Sri Wahyaningsih atau yang akrab disapa Wahya, merupakan pendiri SALAM ini sudah memulai sekolah ini sejak tahun 2000 yang lalu. Sekolah ini didirikan di tengah area persawahan di daerah Nitiprayan , Yogyakarta.
Berbeda dengan sekolah formal tentunya, sekolah ini tidak memiliki jadwal pelajaran tetap. Siswa memillih sendiri pelajaran atau penelitian yang mereka suka. Darisitulah pelajaran bermula. Dengan topik yang mereka tentukan sendiri, nantinya mereka akan mengetahui banyak hal yang berhubungan dengan topik mereka tersebut.
Wahya mengungkapkan kalau kebanyak sekolah formal seakan memaksa siswa untuk memenuhi beban nilai yang sangat berat. Menelan ilmu-ilmu yang sebenarnya tidak mereka butuhkan.
“Di sekolah formal saya melihat mereka banyak belajar sesuatu yang belum pas di usianya. Misalnya anak SD belajar tugas MPR-DPR, prosedur cari KTP, Pemilu, itu ngapain? Untuk apa? Harusnya kan mereka belajar soal diri sendiri, potensi diri, apa yang dia lakukan, dan kebutuhan dasar mereka,” ujar Wahya.
Tidak hanya itu, pendiri SALAM juga menceritakan status sekolah ini. Ia mengungkapkan saat ini status hukum SALAM masuk kategori Pendampingan Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM) sebagai sekolah non-formal. Kategori ini masih di bawah Dinas Pendidikan Nasional.
Demi mentaati peraturan siswa SALAM masih mengikuti ujian kejar paket penyetaraan dari pemerintah.Wwahya juga menyebutkan bahwa siswa siswi SALAM pada saat mengikuti ujian seringkali malah mengkritisi soal yang dibuat pemerintah.
 “Anak-anak itu nemu banyak soal UN yang salah, jawabannya salah, juga banyak yang sebenernya nggak perlu ditanyakan, malah mengevaluasi soal pemerintah,” Ujar Wahya
Saat ini SALAM memiliki 3 orang pendamping, bukan guru. 3 Pendamping disini bahka tidak memiliki hak untuk mengatur jalannya kelas, karena itu murni hak siswa sesuai kesepakatan.
Adapun topik riset yang dilakukan merupakan hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.
“Masak iya di sini mau belajar roket, padahal kita enggak pernah lihat roket beneran, itu enggak akan ngaruh ke masa depan mereka. Kami nggak minta riset yang gede kok, supaya tidak terlalu berjarak dengan lingkungan,” cerita Erika, fasilitator relawan yang mendampingi kelas 7
Wahya juga mengungkapkan ketidaksepakatannya terhadap pemerintah dalam hal penyelenggaraan pendidikan. Ia menganggap negara tidak menyelenggarakan pendidikan dengan bhineka tunggal ika.
“Pemerintah kita nggak mendesain pendidikan sesuai dengan Bhineka Tunggal Ika. Penyeragaman itu kan sebenarnya menodai slogan itu sendiri. Pendidikan di sini sama di Papua kan harusnya beda, tapi sekarang disamakan. Kalau standarnya dibuat satu, jadinya memarjinalkan. Itu luar biasa bahaya,” ujar Wahya berapi-api.
Itulah sekilas kisah Sekolah Anak Alam yang berada di Yogyakarta. Sekolah alternatif yang memiliki kurikulum berbasis penelitian terutama dalam hal kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan alam.

Sumber: www.vice.com/id_id/article/xw4ez3/sekolah-tanpa-seragam-tanpa-guru-dan-tanpa-mata-pelajaran-di-yogya

Thursday, 23 November 2017

SAJAK ANAK PALESTINA


Nasib kami melambung bersama debu-debu
tertimpa hujan selanjutnya jatuh ke jalan
tercium bau-bau sajak kematian dalam badan kami.

Nasib kami hanyut dalam sungai-sungai merah
pecah berkeping terhimpit batu
terpancar sajak kesengsaraan dalam raut muka kami

Tang melintang jatuh terombang
Tang melintang tubuh terlentang
Anak-anak kami berlari disela-sela gedung
Ujung senapan serupa malaikat maut
mengancam sejak pagi hingga petang
Kabut gelap tak mengenal pagi ataupun malam

Nasib kami melambung bersama debu-debu
sisa keangkuhan manusia laknatullah
Nasib kami hanyut bersama sungai-sungai
sisa darah mujahid fi sabilillah

Anak-anak kami berlari mengejar kehidupan
bukan pamrih di hadapan mentari

Yogyakarta, 2010
Haiyudi

MENUNGGU? HARUSKAH?

The Art of Waiting
Cerpen ini pernah diikutsertakan dalam lomba kepenulisan cerpen oleh penerbit Wahyu Qolbu

Kasih, tidak ada yang mengharuskan kau menunggu, bila berjodoh maka aku yang
akan mendatangi. Bila tidak, sebait do’a untukmu rasanya lebih mulia
Oleh: Haiyudi
======================
            Langit semakin menghitam, melenyapkan senja yang selalu dipuja oleh para penikmatnya. Rembulan semakin meninggi, terkadang bersembunyi di sebalik bongkahan awan. Aku, Seman Yusuf, hanya termenung dalam segelas kopi. Merapuh dalam sejuta bayang masa depan. Memikirkan perihal yang masih “entahlah”. Malam ini, aku duduk di bawah langit dan di atas bumi negeri rantau. Angin malam membawaku kepada kenangan dan menerawang kepada masa lalu dua tahun silam.
***
            “Sampai kapan kamu disana, Seman?” Mila bertanya padaku sedikit bergetar
            “Mungkin hanya dua tahun” Jawabku sambil menyuguhkan senyum termanisku. Walaupun kata mereka senyum ku sedikit pahit, dan aku setuju hal itu.
            Mila, perempuan ayu berjilbab putih ini menurut dunia sekitar adalah kekasihku, entah siapa yang menobatkan. Namun sedikitpun aku tidak merasa bahwa kami adalah sepasang kekasih. Bukan karena aku membenci atau tidak menyukainya. Lebih kepada bagaimana sepasang kekasih menurut Islam yang ku tahu dan ku pahami.
Malam itu, adalah aku, Mila dan Andi sedang duduk rapi diatas tikar purun. Kami berbicara sedikit lebih terbuka tentang banyak hal, dimulai membahas puisi Robert Burns, membedah buku Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945 karya A.M. Fatwa, membedah film Filosofi Kopi yang sedang booming pada saat itu, bahkan sampai membahas lagu terbaru Cita Citata yang entah apa itu judulnya. Namun yang terpenting pula saat itu kami sedang berbicara perihal keberangkatanku. Sebagai delegasi yang akan segera diberangkatkan ke Luar Negeri, pastilah itu akan mengundang banyak percakapan. Ada rasa semacam menjadi terdakwa, menjawab banyak pertanyaan ini dan itu. Namun malam itu aku merasa indah sekali, sebab percakapan kami tak luput dari secangkir kopi, nasi kucing, dan berapa jenis sate ala angkringan. Serta yang paling istimewa adalah bahwa malam itu kami ditemani langit berbintang kota Jogja.
            “Minggu depan sudah fiks, Boi?” Tanya Andi kepadaku.
            “Tidak ada yang bisa menghalangi untuk bercita-cita” Jawabku sambil mengedipkan mata. Sementara Andi hanya menunjukkan wajah persetujuan sambil menganggukkan kepala. Kami bertiga adalah bujang dayang Melayu yang sama-sama melanjutkan studi kala itu. Sama-sama menyukai seni dan yang pasti saat itu kami sama-sama masih sendiri. Tepat di depan ku Mila masih terdiam dan menunduk. Entah apa yang ada dalam pikirannya.
            “Kamu tidak kasihan membiarkannya menunggu, Man”
            Aku hanya tersenyum mendengar kalimat tanya yang dolontarkan Andi kepadaku. Namun tidak dengan Mila, ia tetap saja membisu, menunduk dengan nafas tidak teratur. Tidak biasanya Mila diam sedemikian lama. Menunduk sedemikian jauh dan dalam.
            “Apa yang sudah kau persiapkan, Man?”
            “Masih terlalu dini untuk berkemas-kemas” Jawabku sambil tersenyum
            “Bukan itu, maksudku, mempersiapkan mental misalnya” Andi meminta tambahan kopi hitam kepada bapak Angkringan
            “InshaAllah sudah siap, sudah mendapat pembekalan bahasa dari kampus juga kok”
            “Begitu?”
            “Negeri yang kan ku datangi tidak teramat jauh dari Indonesia, masih tetangga”
            “Untuk masalah hati?” Tanya Andi sambil tersenyum dan melirih ke Mila “Jangan terlalu lama, nanti ada yang rindu” Sambungnya semakin tidak tahu diri. Ku perhatikan Mila sedikit mengangkat muka dan tersenyum menatapku. Aku bingung.
            “Ada apa Mila?” Tanyaku dengan nada pelan.
“Tidak apa-apa. Jaga diri baik-baik bila kelak sudah disana”
“Jangan khwatir, aku sudah besar”
“Bahkan sudah tua” Sambung Andi tersenyum, Mila tertawa kecil dan pelan
“Seperti kau tidak tua saja, bukankah umurmu sudah mencapai 25”
“Kan belum 26” Andi adalah yang tertua dari kami karena tidak naik kelas 3 kali semasa di bangku Sekolah Dasar. Namun demikian bukanlah karena bodoh, melainkan nakal.Sehingga dikeluarkan di beberapa sekolah di Batam.
“Lalu?” Kami bertiga tertawa, dan itu pertama kuliat Mila tertawa bebas malam itu. Banyak lagi percakapan kami yang mengundang tawa
Jauh dari dalam lubuk hati, akupun sebetulnya merasa canggung hendak bertutur dengan Mila malam itu. Tidak serupa dengan malam-malam sebelumnya yang selalu timbul diskusi hangat dari kami, entah mengapa malam ini tidak demikian. Malu rasanya pada rembulan. Rembulan itu terus bertengger di ranting pohon mangga Pak Supardjono si pemilik angkringan. Ia semakin meninggi, meninggalkan kami bertiga dalam percakapan yang semakin dingin. Mila berpamit pulang ke rumahnya yang tidak jauh dari Keraton Yogyakarta. Andi juga pulang ke kontrakannya, pun jua aku, pulang dengan sepeda tua yang ku beri nama Paino menuju kosan.
Di sisi lain, ku perhatikan Pak Supardjono menggulung tikar purun tempat kami duduk malam itu. Itu tandanya malam sudah menunjukkan pukul 11.00. Sebab aku kenal betul siapa pak Suparjono. Bila saja  masih pukul 10.59, dia tidak akan menggulung tikarnya. Ia terkenal sebagai bapak On Time untuk masalah jualan, terlebih menagih hutang kepada mahasiswa langganan.
Malam semakin gelap, sejuta tanda tanya sedang menggantung di kepalaku. Tangan ku letakkan diatas kening. Sayup-sayup ku dengar sinden Jawa mengalun. Malam membawaku ke alamnya. Aku terlelap dalam selimut gelap, di musim hujan kala itu.
***
            “Man, bisa temui aku di Perpustakaan Daerah nanti siang jam 9?” Sebuah pesan singkat dari Mila. Pesan itu datang begitu pagi, serasa embun saja masih pulas di dedaunan hijau. “Oke, Mila. J” Balasku singkat.
            Pukul 8.58 aku tiba di Perpustakaan Daerah. Sudah ku perhitungkan, aku akan masuk ke pintu PERPUSDA tepat pukul 9.00. Jiwa pak Supardjono rupanya sudah mendarah daging dalam tubuhku. Mungkin berkat kopi pahitnya yang kuminum (hampir) setiap malam
“Kamu dimana?”
            “Dalam, blok A, bagian sastra Jerman bangku nomor 3 deretan ke empat” Kurang dari satu menit pesan singkatku sudah terbalas. Aku menuju kedalam, dan ku saksikan Mila menggunakan gamis merah jambu, jilbab panjang berwarna putih. Aku sedikit ragu, sebab hari ini ia lebih mirip anak rohis dibandingkan anak sastra. Namun demikian, aku senang.
            “Bisa berbicara sebentar?”
            “Aku sudah disini, Mila. Tentu saja bisa” Jawabku sambil tersenyum
            “Aku bawakan buku The Count of Monte Cristo untuk mu, yang ini untuk ku. Kita berbicara di taman saja ya” Mila menunjukkan buku kumpulan puisi pilihan padaku sambil senyum. Aku tau betul Mila adalah penggemar puisi. Sama sepertiku. Bahkan kami berdua adalah penggemar berat Sapardi Djoko Damono.
            Mila memintaku berjalan didepan, sedangkan aku meminta Mila duluan. Habis kata-kataku untuk mendeskripsikan betapa susahnya aku waktu itu. Hingga pada akhirnya, istilah “lady’s first” kalah dengan An-Nisa 34. Aku melangkah didepan selanjutnya memilih bangku yang agak berjarak namun tetap berdua, selanjutnya memesan minuman, selanjutnya aku pula yang harus memulai percakapan. Saat itu aku merasa sedang diuji oleh Mila.
            “Ada apa, Mila?”
            “Man, maaf kalau semalam suasananya tidak enak” Mila memasang wajah bersalah
            “Hanya itu? Kau harus meminta maaf sama Pak Supardjono juga”
            “Loh mengapa begitu?” Mila kebingungan mendengar ucapanku
            “Beliau terlihat canggung karena wajahmu semalam”
            “Seman, aku sedang serius”
            “Aku dua rius”
            “Semaaan..........” Mila memanggil namaku dengan nada panjang namun lembut dan merdu. “Milaaaaaaaa” Ku balas dengan sedikit sumbang.
            Mila tertawa namun tidak terlalu keras. Sementara aku, masih memasang wajah letih setengah berkeringat dingin, serta tidak sabar menunggu kopi susu pesananku. Sesekali aku mendapati wajah Mila menatapku untuk selanjutnya tersenyum kembali
            “Ada apa, Mila?”
            “Aku senang, Man” jawab Mila spontan “Aku senang karena masih bisa bercanda sama kamu”
            “Iya, harusnya ada Andi dan yang lain disini”
            “Tidak, Man. Sengaja aku hanya meminta kamu sendiri kesini” Mila menampakkan wajah serius. “Mungkin setelah ini, entah kapan bisa begini” Pelan namun pasti, dugaanku semakin jelas bahwa Mila memang sengaja meminta aku datang supaya bisa berbicara dan bercanda berdua dengannya.
            “Kamu terlihat berbeda hari ini, Mil” Ucapku sekedar memecah kebuntuan, atau mungkin membelokkan percakapan yang sudah bisa ku tau arahnya
            “Iya, lagi kepengen saja” balas Mila sambil tersenyum “tidak pantas ya?”
            “Loh...... justeru sangat pantas”
            “Masak?” Mila tersenyum malu-malu.
            Aku baru menyadari bahwa perkataanku sangat pantas itu adalah kejujuran atau hanya spontanitas, atau pula kejujuran yang spontanitas? Entahlah, yang ku saksikan Mila hanya bisa tersipu malu oleh kata-kata itu.
            “Man, jika kelak kamu sudah disana, apa masih ingat denganku?” Tanya Mila padaku dengan nada gemetar. Aku dapat mendengar dengan jelas setiap tarik dan hembus nafasnya. Mila seperti sedang menahan sesuatu di dada nya. Ia seakan menahan debur haru dan khawatir akan kepergianku yang masih rencana kala itu
            “Apakah mudah untuk melupakan teman?” Jawabku “Tidak mudak, Mila”
            “Aku takut Man” Imbuhnya
            “Sebab?”
            “Aku takut rasa kehilangan akan tumbuh dan besar seiring berjalannya waktu kelak”
            “Aku semakin tidak mengerti, Mila” Aku semakin kebingungan, meskipun sebetulnya aku sudah sangat mengerti jalan pembicaraan aku dan Mila saat itu.
            “Mungkin kedekatan kita memang tidak lebih dari sekedar sahabat, namun waktulah yang mengajarkan aku untuk memelihara rasa dalam sudut yang berbeda, Man” Mila tertunduk mengucapkan itu dengan getaran semakin kuat, bahkan sedikit tersedu. Angin di taman itu seakan membelaiku untuk menjadi lebih peka, serta mengajarkan Mila untuk belajar menahan diri. Cukup canggung suasananya. Cukup lama aku dan Mila terdiam, hanya menikmati satu dan dua lagu anak muda masa itu. Aku tidak bisa berkata, sementara Mila semakin dalam menunduk, semakin pula ia terdiam. Bila saja salah dalam menyikapi masalah itu, aku yakin akan kehilangan sahabat seperti Mila di detik yang sama.
            “Aku akan pergi, Mila. Mengapa seperti ini?” Aku memecahkan suasana hening di taman itu. Meskipun ramai, namun orang lain hanya ku anggap semacam hiasan saja. Mila hanya diam. Jangankan berucap kata, ia bahkan tidak mampu mengangkat wajah. “Mila, kita kenal sudah lama, Mil” namun lagi dan lagi, Mila masih saja terdiam. Aku seperti hanya melihat patung Mila di hadapanku.
            “Man, SAMPAI KAPAN AKU MENUNGGU?” Pertanyaan Mila sontak membuatku begitu terkejut. Sama sekali tidak menyangka bahwa Mila akan berucap sedemikian rupa. Maka saat itu justeru akulah yang terdiam.
            “Milaaaa” Panggilku, Mila hanya menatapku dengan wajah sayu
            “Tidak ada yang mengharuskan kamu untuk menunggu, jika kelak kita berjodoh, aku akan mendatangi. Bukan kamu, melainkan wali mu” Ucapku dengan nada bergetar “Kita hanya hanya butuh saling memperbaiki  kualitas diri”
            Mila tersenyum mendengar semua penjelasanku. Senyum Mila lebar sekali, selebar mentari siang itu. Setelah mendung, saat itu mentari kembali bersinar. Selanjutnya percakapan kami begitu panjang dan lama. Lalu pukul 12.03 aku kembali dengan sepeda tuaku. Mila pun demikian, Motor Matic terbaru pemberian ayahnya sebagai hadiah ulang tahun yang ke 22, mengikuti di belakangku. Sampai pada persimpangan jalan kami harus berpisah, lambaian tangan Mila masih terkenang hingga sore, maghrib, isya, bahkan sampai malam.
***

            Malam ini, kopiku sudah semakin dingin. Tanpa kusadari malam semakin larut, rembulan mengintipku tersenyum, namun bukan dari pohon mangga Pak Supardjono, melainkan dari sela-sela candi Budha. Aku mendapati kabar penantian Mila sudah berakhir. Mila dikhitbah oleh teman sekampusnya yang juga teman ku sendiri. Rembulan tersenyum menatapku, menyambut baik do’a yang kupanjatkan untuk Mila dan kekasihnya yang sesungguhnya.

PENYADAP TERAKHIR


Cerpen ini sudah dibukukan dalam kumpulan cerpen "Cha Yen" yang merupakan gabungan mahasiswa dan pengajar di Thailand.

oleh: Haiyudi
“Ibu tidak capek?” 
“Tidak sama sekali” Seorang wanita mengelap keringat di dahinya.
Semilir angin meniup basah pundak pekerja pagi itu. Membuang jauh gurindam Melayu, menggeser peradaban negeri ibu pertiwi. Sang fajar mulai menunduk hendak berpamit. Duh, Keindahan apalagi yang ada di dunia ini? Tidak ada, kecuali masa pergantian peran rembulan dan mentari, Fajar dan Senja. Belum penuh mentari menyapa, bahkan dinginnya aspal menjadi pertanda pekat. Angin pagi masih sibuk mencari tempat bersandar. Kokok ayam terasa sumbang didengar, tersebab sang tuan belum membukanya dari kandang.
Mendapati diri yang terjaga setelah subuh, Enggal Suroso memilih keluar dari peraduan. Dari namanya jelas Enggal, atau Suroso bukanlah orang Thailand masa kini. Lelaki berperawakan Jawa kuno itu adalah seorang guru muda. Ia diasingkan oleh kampusnya keluar dari negerinya sendiri. Konon kabarnya untuk menghindari stress berat akibat memikirkan negaranya. Sebab sejak dulu, ia dikenal sebagai mahasiswa pemikir. Seperti mau mandi misalnya, ia selalu berpikir panjang. Sudah, ini bukan kisah Enggal Suroso
Dengan bekal bahasa yang pas-pasan dan seadanya, Enggal tidak sulit untuk berinteraksi kepada warga setempat.  
Pagi itu, dengan kamera seadanya, Enggal mencoba mencari objek gambar, namun yang nampak adalah berbeda. Sayup-sayup suara seorang wanita tua berbincang dengan anaknya. Suara reot dan rantai yang bergesekan pula menandakan sepeda tua yang ditumpanginya tidak kalah tua dari usianya.
“Ibu, jika sudah sampai sekolah, terus aku bagaimana?” suara si anak memecah embun di tengkuk Enggal. Tiba-tiba suasana menjadi hangat. Semakin dekat dan jelas bayangan dua anak-beranak itu di depan Enggal.
“Ibu, jangan pergi dulu, aku takut sendirian. Kan masih gelap” Sambungnya
Enggal sedikit terperangah dengan pemandangan itu. Seorang anak dengan pakaian sekolah rapi, berkaos kaki serta membawa bekal dalam plastik asoy hitam sedang duduk diatas sepeda tua yang di tuntun ibunya. Enggal melihat jam tangan yang menunjukkan pukul 05.30. Enggal tersenyum kebingungan.
‘Guruuuuuuuuu” panggil si anak
“Hai...., pagi sekali?” Enggal bertanya dengan senyuman
Dilihatnya sang ibu hanya tersenyum, tanpa sepatah katapun terucap. Pakainnya sangat kumal, khas petani karet. Bahan hain seakan berganti beerbahan karet. Enggal masih kebingungan.
“Iya, ibu mau pergi mengumpulkan getah karet di kebun milik orang”
“Jauh?”
“Jauh, Guru” Yang tampak hanya senyuman dari wajah si anak dan ibu.
“Saya pergi ke sekolah setiap pagi seperti ini, sebab biar bisa di antar oleh ibu. Jika tidak, saya tidak bisa pergi ke sekolah, karena Ayah juga bekerja namun di tempat yang berbeda”
Panjang lebar penjelasan si anak yang belakangan Enggal ketahui bernama Surayut Sukkeaw. Sungguh nama yang sama sekali tidak bernuansa Jawa apalagi Melayu. Singkat cerita, Enggal meminta Surayut menunggu mentari terbit di rumah tempat Enggal tinggal, namun rayuan Enggal tidak berhasil melumpuhkan Surayut. Ia lebih memilih menunggu di depan gerbang sekolah yang tidak jauh dari tiang bendera hingga mentari muncul dan ayam keluar dari kandang.
“Dia adalah guru saya” Ujar Surayut kepada Ibu
“Jika aku besar kelak, aku mau menjadi guru sepertinya” Ujar Surayut kembali. Ibunya hanya tersenyum kembali mendengar ocehan anak SD Kelas 4 itu.
Pelukan hangat seorang ibu nampak membuat Surayut nyaman. Tidak ada pemberontakan sedikitpun dari Surayut. Tiang bendera, sepeda tua, Surayut dan ibunya. Itu membuat Enggal tertegun dari kejauhan. Barangkali Enggal sedang merindukan pelukan seorang ibu jua.
Mentari muncul seiring dengan bunyi sepeda ibunda Surayut yang meninggalkannya sendirian. Tidak ragu sang ibu menitipkan Surayut pada mentari pagi itu. Surayut pun jua sama, tidak ragu melepas kepergian ibunda dengan sejuta senyum mengembang. Mekar sekali layaknya senyuman mentari pagi itu. Enggal yang menyaksikan pertunjukan semesta itu jua ikut tersenyum lebar, sehingga menampakkan bibirnya yang tebal serta hidungnya yang pesek. Namun Enggal bahagia tak terhingga pagi itu. Sejak pagi itu Enggal tidak ingin melewatkan pertunjukkan alam itu.
***
Pagi terus saja berganti, penikmat pagi mendentingkan cangkir dan sendok dalam hangatnya kopi.
“Enggal, ayo ikut saya ngopi dulu sambil memakan roti” Ajak Abdullah Naser
Seorang lelaki melayu yang berasal dari Pattani, dari ceritanya ia berhijrah ke tanah tetangga, Songkhla dengan hati yang ikhlas. Ia menikah dengan seorang gadis jelita anak petani karet. Singkat cerita mereka tinggal tidak jauh dari sekolahan tempat Enggal mengajar.
Jelas saja Enggal tidak menolak kesempatan emas itu. Seribu satu kisah mereka suguhkan di warung kopi ala negeri gajah ini. Abdullah bercerita banyak tentang keadaan masyarakat di sekitar. Hampir setiap seluk-beluk desa ia pahami. Ia mengerti semua yang terjadi dan kabar berita yang ia terima selalu up to date  sebab ia adalah kepala desa setempat. Ini merupakan hal yang jarang ditemui, seorang yang berasal dari 3 wilayah memangku jabatan sebagai kepala komunitas apalagi kepala desa mengingat sejarah kelam ketiga wilayah tersebut.
“Setiap pagi saya melihat anak-anak diantar ibunya bersepeda” Enggal bercerita
“Oh... itu anak dusun sebelah, rumahnya jauh di dalam hutan karet” Jawab Abdullah
“Ia selalu bersepeda?”
“Iya, keluarganya sederhana. Beliau juga bisu, tidak bisa berbicara”
Enggal terdiam, kebingungannya terjawab. Bibir si ibu memang tidak berucap kala itu, namun senyumnya tidak hilang di terpa badai. Betapa senyuman itu mengalahkan ucapan manis apalagi bualan. Enggal terdiam sejenak.
“Mengapa?” Sambung Abdullah
“Saya selalu memperhatikannya setiap pagi” Ucap Enggal seraya membetulkan posisi duduk
“Besok kamu ikut saya ke rumahnya”
“Ada apa?” tanya Enggal kebingungan
“Saya selalu melakukan kunjungan berkala ke rumah warga yang berada di pedalaman kebun karet”
Enggal tentulah sangat senang dengan ajakan itu. Tidak ada alasan bagi Enggal untuk menolak ajakan semanis itu. Sungguh itu lebih manis dari Roti Canai  dan Cha Yen yang sedang mereka cicipi. Dirasakan olehnya gemulai angin bahagia, itu terlihat dari semerbaknya dara yang berterbangan. Para pemangku agama Budha berdatangan di setiap rumah untuk mendoakan umatnya lalu menerima sejumlah bekal sebagai imbalannya. Angkutan umum kecil yang terkenal dengan namanya “tuk-tuk” juga datang dan berhenti mengantarkan penumpang di berbagai tujuan. Semua itu membuka mata Enggal kembali bahwasannya ia bukan di negeri pertiwi. Enggal bahagia, tersenyum dan melanjutkan makan. Seribu satu percakapan ala Melayu kampong mereka lakoni, Abdullah dan Enggal kadang mendapati kebingungan tersendiri dengan kata-kata yang didengar dan diucapkan masing-masing.
***
Kokok ayam membangunkan Enggal seperti biasanya, namun dinginnya embun memanjakan Enggal untuk berada di dalam rumah. Mentari meninggi seiring dengan pongahnya serunai belakang rumah Enggal menandakan janjinya dengan Abdullah untuk Blusukan telah tiba.
“Jangan kaget dengan semuanya” Abdullah meyakinkan Enggal
Enggal hanya membalas dengan senyuman
Berliku jalan mereka lalui, sejak kalimat “Jangan kaget dengan semuanya” mereka baru benar-benar memasuki sebuah pertualangan hebat. Jalan berbatu, sungai, jembatan sebatang kayu, jalan di bawah rindangnya pepohonan karet, akar pepohonan, serta monyet-monyet menjadi penghias perjalanan Enggal pagi ini.
“Apakah kita tidak terlalu pagi, Bang?”
“Perjalanan kita akan memakan waktu 2 jam, Enggal. Jadi, di perkirakan kita akan sampai di perkampungan pada pukul 10. Dan saat itu mereka akan berada di rumah, sebab itu adalah masa-masa istirahat dari mengumpulkan getah ” Jawab Abdullah
Enggal hanya mengangguk,
“Mereka pulang mengambil getah karet?” Isyaratkan keraguan di kepalanya.
“Iya, sedangkan malam hingga subuh mereka menyadap, atau memotong” Jawab Abdullah singkat
Enggal nampaknya begitu kagum saja dengan Abdullah. Sebab ia begitu memahami apa yang terjadi meskipun ia tidak menyaksikannya. Selama di perjalanan sesekali merekapun bertemu dengan pengendara motor dengan kecepatan kilat,  meskipun demikian bukan berarti di jalanan tidak ada rintangan  Keranjang yang terbuat dari Jerigen selaksa mahkota kendaraan tua itu.
“Disini kau akan melihat motor yang mengalami penuaan dini” Ucap abdullah.
“Oh ya? Bagaimana bisa?” tanya Enggal
Kau lihat saja itu!”
“Tua, tapi tenaga oke”
“Seperti orang sini”
Pecah tawa keduanya. Enggal hanya tertawa mendengar pernyatan itu, sebab nampak jelas sekali nahwa motor yang baru di beli langsung mengalami modifikasi yang serupa motor tua. Tetesan getah karet yang menjadi penghias utama setiap jengkal motor. Selain itu, dikabarkan juga bahwa bunyi motor di sini wajib di keraskan. Sebab jalanan begitu membahayakan, selain sempit, banyak terdapat tikungan berbahaya.
Jengkal demi jengkal jalanan mereka lalui, berbagai perasaan mereka lewati, kagum, mengerikan, berhati hati dan lain-lain.
“Titik terang sebuah terowongan sudah terlihat, Enggal”
“Iya, kita sudah melewati satu rumah tinggi”
“Kita akan mendatangi rumah terjauh duluan”
“Iya, Bang” Enggal menjawab singkat.
Kedatangan Enggal dan Pak Kades mendapat sambutan luar biasa, meskipun bukan tindakan terencana, namun warga sangat terkesan. Barangkali wajah Enggal lah yang membuat semua mata tertuju.
***
Tiba di penghujung dusun, penghujung perkebunan serta penghujung peradaban di daerah itu. Yang ada hanya rumah panggung di bawah pohon karet. Aliran air dari bambu yang katanya berasal dari air sungai. Air itu juga menjadi sumber kehidupan orang setempat.
“Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam, wah ada Pak Kades dan Pak Guru”
Basa-basi semacamnya panjang lebar. Hampir dimana saja, percakapan selalu di mulai dengan basa-basi. Panjang dan lebar, itu yang membedakan basa-basi di negeri ini.
Surayut sedang duduk di pangkuan ayahnya, serta adiknya sedang berada dalam Ayunan.
“Anak yang lain dimana?” Enggal bertanya
“Anak saya ada 7, Guru” Ujar Warrawut Sukkeaw, yang tidak lain adalah ayahanda Surayut.
Enggal tidak bisa menutupi rasa kagetnya meskipun tadi sudah mendapat berbagai wejangan dari Abdullah. Konon di kabarkan rata-rata jumlah anak penduduk di perkebunan karet adalah 5 hingga 8 anak. Diagnosa sementara Enggal mengatakan hal ini disebabkan oleh minimnya penerangan di malam hari serta matinya aktifitas malam hari.
“Ini adalah anak terakhir saya” Sambil menggenjot ayunan bayi yang terbuat dari kain sarung. “Sementara ini anak nomor 6 saya” Menunjuk Surayut.
Surayut tersenyum lebar menampakkan gigi kapaknya. Sejuk sekali dipandang mata. Untuk kesekian kalinya Enggal tersenyum lebar juga. Sama lebarnya dengan gigi surayut.
“Yang lain sudah berkeluarga ya, Pak?”
“Ada yang belum, ada yang sudah. Yang pertama menjadi Polisi di Bangkok. Alhamdulillah kami tidak menghawatirkan kesejahteraan hidupnya lagi”
Warrawut berkata dengan sedikit getaran di bibirnya. Disusul dengan sang istri yang duduk melipat kaki ke belakang. Tentu tidak ada ucapan darinya, hanya semerbak senyuman yang ia suguhkan. Enggal tertegun kagum.
“Yang kedua, dia di Hatyai, dia memiliki toko di BIG-C. Yang ini perempuan dan sudah menikah, justru mendahului kakaknya. Yang ketiga Menjadi Dokter di Satun. Yang keempat sedang kuliah mendapatkan beasiswa di Bangkok juga. Yang kelima sedang sekolah kelas 1 SMA. Yang ke enam ini, yang memiliki gigi besar seperti kapak. Yang ke tujuh ini yang sedang dalam ayunan”
Tidak ada suara sedikitpun. Yang terdengar hanya sunyi dan suara angin bersentuhan dengan pepohonan. Raut wajah Warrawut dalam bercerita mengisyaratkan kebanggan. Getar bibirnya menisyaratkan kepuasan serta mata yang berkaca menjadi bukti haru suasana. Enggal hanya tertegun mendengarkan cerita itu. Begitu pula dengan Pak Kades dan Istri Warrawut.
“Entah yang ini mau jadi apa besok. Kamu mau jadi apa, Nak?
“Saya meu menjadi petani karet saja seperti ayah” Jawab Surayut
“Tidak, bisa... kamu harus lebih dari saudara mu yang lain” Bantah Warrawut kepada Surayut.
“Aku mau menemani ibu” Ujar Surayut lagi
“Bercita-cita lah, Nak”
“Menjadi petani karet menjanjikan loh, Pak” Abdullah nyambung seraya bercanda
“Saya harus menghentikan tadisi ini”
“Bukankah ini menjanjikan?”
“Betul, menjanjikan tenaga ekstra”
Lalu?”
“Saya akan menjadi penyadap terakhir di keturunan ini” Ujar Warrawut Sukkeaw
Panjang sekali percakapan di atas rumah kayu sederhana itu. Sedikit tidak percaya, Enggal masih tidak habis pikir dengan kehidupannya hari ini. Mendapati sebuah ketegaran hati seorang ayah dan ibu. Mentari semakin meninggi, menyudahi sebuah obrolan edukasi dalam pelosok. Menyudahi kisah inspirasi setiap sosok. Suara seruling mendayu merdu mengiringi perjalana Enggal dan Pak Kades. Lambaian tangan mungil dan dekil penyadap getah karet sungguh begitu menghangatkan. Senyuman seorang ibu yang setiap pagi Enggal saksikan kini menambah luasnya kasih sayang yang Enggal rasakan.
Sepenggal kisah yang penuh inspirasi dari pedalaman Klong Hin.


Pigura