Showing posts with label Pusaka. Show all posts
Showing posts with label Pusaka. Show all posts

Thursday, 23 November 2017

MENUNGGU? HARUSKAH?

The Art of Waiting
Cerpen ini pernah diikutsertakan dalam lomba kepenulisan cerpen oleh penerbit Wahyu Qolbu

Kasih, tidak ada yang mengharuskan kau menunggu, bila berjodoh maka aku yang
akan mendatangi. Bila tidak, sebait do’a untukmu rasanya lebih mulia
Oleh: Haiyudi
======================
            Langit semakin menghitam, melenyapkan senja yang selalu dipuja oleh para penikmatnya. Rembulan semakin meninggi, terkadang bersembunyi di sebalik bongkahan awan. Aku, Seman Yusuf, hanya termenung dalam segelas kopi. Merapuh dalam sejuta bayang masa depan. Memikirkan perihal yang masih “entahlah”. Malam ini, aku duduk di bawah langit dan di atas bumi negeri rantau. Angin malam membawaku kepada kenangan dan menerawang kepada masa lalu dua tahun silam.
***
            “Sampai kapan kamu disana, Seman?” Mila bertanya padaku sedikit bergetar
            “Mungkin hanya dua tahun” Jawabku sambil menyuguhkan senyum termanisku. Walaupun kata mereka senyum ku sedikit pahit, dan aku setuju hal itu.
            Mila, perempuan ayu berjilbab putih ini menurut dunia sekitar adalah kekasihku, entah siapa yang menobatkan. Namun sedikitpun aku tidak merasa bahwa kami adalah sepasang kekasih. Bukan karena aku membenci atau tidak menyukainya. Lebih kepada bagaimana sepasang kekasih menurut Islam yang ku tahu dan ku pahami.
Malam itu, adalah aku, Mila dan Andi sedang duduk rapi diatas tikar purun. Kami berbicara sedikit lebih terbuka tentang banyak hal, dimulai membahas puisi Robert Burns, membedah buku Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945 karya A.M. Fatwa, membedah film Filosofi Kopi yang sedang booming pada saat itu, bahkan sampai membahas lagu terbaru Cita Citata yang entah apa itu judulnya. Namun yang terpenting pula saat itu kami sedang berbicara perihal keberangkatanku. Sebagai delegasi yang akan segera diberangkatkan ke Luar Negeri, pastilah itu akan mengundang banyak percakapan. Ada rasa semacam menjadi terdakwa, menjawab banyak pertanyaan ini dan itu. Namun malam itu aku merasa indah sekali, sebab percakapan kami tak luput dari secangkir kopi, nasi kucing, dan berapa jenis sate ala angkringan. Serta yang paling istimewa adalah bahwa malam itu kami ditemani langit berbintang kota Jogja.
            “Minggu depan sudah fiks, Boi?” Tanya Andi kepadaku.
            “Tidak ada yang bisa menghalangi untuk bercita-cita” Jawabku sambil mengedipkan mata. Sementara Andi hanya menunjukkan wajah persetujuan sambil menganggukkan kepala. Kami bertiga adalah bujang dayang Melayu yang sama-sama melanjutkan studi kala itu. Sama-sama menyukai seni dan yang pasti saat itu kami sama-sama masih sendiri. Tepat di depan ku Mila masih terdiam dan menunduk. Entah apa yang ada dalam pikirannya.
            “Kamu tidak kasihan membiarkannya menunggu, Man”
            Aku hanya tersenyum mendengar kalimat tanya yang dolontarkan Andi kepadaku. Namun tidak dengan Mila, ia tetap saja membisu, menunduk dengan nafas tidak teratur. Tidak biasanya Mila diam sedemikian lama. Menunduk sedemikian jauh dan dalam.
            “Apa yang sudah kau persiapkan, Man?”
            “Masih terlalu dini untuk berkemas-kemas” Jawabku sambil tersenyum
            “Bukan itu, maksudku, mempersiapkan mental misalnya” Andi meminta tambahan kopi hitam kepada bapak Angkringan
            “InshaAllah sudah siap, sudah mendapat pembekalan bahasa dari kampus juga kok”
            “Begitu?”
            “Negeri yang kan ku datangi tidak teramat jauh dari Indonesia, masih tetangga”
            “Untuk masalah hati?” Tanya Andi sambil tersenyum dan melirih ke Mila “Jangan terlalu lama, nanti ada yang rindu” Sambungnya semakin tidak tahu diri. Ku perhatikan Mila sedikit mengangkat muka dan tersenyum menatapku. Aku bingung.
            “Ada apa Mila?” Tanyaku dengan nada pelan.
“Tidak apa-apa. Jaga diri baik-baik bila kelak sudah disana”
“Jangan khwatir, aku sudah besar”
“Bahkan sudah tua” Sambung Andi tersenyum, Mila tertawa kecil dan pelan
“Seperti kau tidak tua saja, bukankah umurmu sudah mencapai 25”
“Kan belum 26” Andi adalah yang tertua dari kami karena tidak naik kelas 3 kali semasa di bangku Sekolah Dasar. Namun demikian bukanlah karena bodoh, melainkan nakal.Sehingga dikeluarkan di beberapa sekolah di Batam.
“Lalu?” Kami bertiga tertawa, dan itu pertama kuliat Mila tertawa bebas malam itu. Banyak lagi percakapan kami yang mengundang tawa
Jauh dari dalam lubuk hati, akupun sebetulnya merasa canggung hendak bertutur dengan Mila malam itu. Tidak serupa dengan malam-malam sebelumnya yang selalu timbul diskusi hangat dari kami, entah mengapa malam ini tidak demikian. Malu rasanya pada rembulan. Rembulan itu terus bertengger di ranting pohon mangga Pak Supardjono si pemilik angkringan. Ia semakin meninggi, meninggalkan kami bertiga dalam percakapan yang semakin dingin. Mila berpamit pulang ke rumahnya yang tidak jauh dari Keraton Yogyakarta. Andi juga pulang ke kontrakannya, pun jua aku, pulang dengan sepeda tua yang ku beri nama Paino menuju kosan.
Di sisi lain, ku perhatikan Pak Supardjono menggulung tikar purun tempat kami duduk malam itu. Itu tandanya malam sudah menunjukkan pukul 11.00. Sebab aku kenal betul siapa pak Suparjono. Bila saja  masih pukul 10.59, dia tidak akan menggulung tikarnya. Ia terkenal sebagai bapak On Time untuk masalah jualan, terlebih menagih hutang kepada mahasiswa langganan.
Malam semakin gelap, sejuta tanda tanya sedang menggantung di kepalaku. Tangan ku letakkan diatas kening. Sayup-sayup ku dengar sinden Jawa mengalun. Malam membawaku ke alamnya. Aku terlelap dalam selimut gelap, di musim hujan kala itu.
***
            “Man, bisa temui aku di Perpustakaan Daerah nanti siang jam 9?” Sebuah pesan singkat dari Mila. Pesan itu datang begitu pagi, serasa embun saja masih pulas di dedaunan hijau. “Oke, Mila. J” Balasku singkat.
            Pukul 8.58 aku tiba di Perpustakaan Daerah. Sudah ku perhitungkan, aku akan masuk ke pintu PERPUSDA tepat pukul 9.00. Jiwa pak Supardjono rupanya sudah mendarah daging dalam tubuhku. Mungkin berkat kopi pahitnya yang kuminum (hampir) setiap malam
“Kamu dimana?”
            “Dalam, blok A, bagian sastra Jerman bangku nomor 3 deretan ke empat” Kurang dari satu menit pesan singkatku sudah terbalas. Aku menuju kedalam, dan ku saksikan Mila menggunakan gamis merah jambu, jilbab panjang berwarna putih. Aku sedikit ragu, sebab hari ini ia lebih mirip anak rohis dibandingkan anak sastra. Namun demikian, aku senang.
            “Bisa berbicara sebentar?”
            “Aku sudah disini, Mila. Tentu saja bisa” Jawabku sambil tersenyum
            “Aku bawakan buku The Count of Monte Cristo untuk mu, yang ini untuk ku. Kita berbicara di taman saja ya” Mila menunjukkan buku kumpulan puisi pilihan padaku sambil senyum. Aku tau betul Mila adalah penggemar puisi. Sama sepertiku. Bahkan kami berdua adalah penggemar berat Sapardi Djoko Damono.
            Mila memintaku berjalan didepan, sedangkan aku meminta Mila duluan. Habis kata-kataku untuk mendeskripsikan betapa susahnya aku waktu itu. Hingga pada akhirnya, istilah “lady’s first” kalah dengan An-Nisa 34. Aku melangkah didepan selanjutnya memilih bangku yang agak berjarak namun tetap berdua, selanjutnya memesan minuman, selanjutnya aku pula yang harus memulai percakapan. Saat itu aku merasa sedang diuji oleh Mila.
            “Ada apa, Mila?”
            “Man, maaf kalau semalam suasananya tidak enak” Mila memasang wajah bersalah
            “Hanya itu? Kau harus meminta maaf sama Pak Supardjono juga”
            “Loh mengapa begitu?” Mila kebingungan mendengar ucapanku
            “Beliau terlihat canggung karena wajahmu semalam”
            “Seman, aku sedang serius”
            “Aku dua rius”
            “Semaaan..........” Mila memanggil namaku dengan nada panjang namun lembut dan merdu. “Milaaaaaaaa” Ku balas dengan sedikit sumbang.
            Mila tertawa namun tidak terlalu keras. Sementara aku, masih memasang wajah letih setengah berkeringat dingin, serta tidak sabar menunggu kopi susu pesananku. Sesekali aku mendapati wajah Mila menatapku untuk selanjutnya tersenyum kembali
            “Ada apa, Mila?”
            “Aku senang, Man” jawab Mila spontan “Aku senang karena masih bisa bercanda sama kamu”
            “Iya, harusnya ada Andi dan yang lain disini”
            “Tidak, Man. Sengaja aku hanya meminta kamu sendiri kesini” Mila menampakkan wajah serius. “Mungkin setelah ini, entah kapan bisa begini” Pelan namun pasti, dugaanku semakin jelas bahwa Mila memang sengaja meminta aku datang supaya bisa berbicara dan bercanda berdua dengannya.
            “Kamu terlihat berbeda hari ini, Mil” Ucapku sekedar memecah kebuntuan, atau mungkin membelokkan percakapan yang sudah bisa ku tau arahnya
            “Iya, lagi kepengen saja” balas Mila sambil tersenyum “tidak pantas ya?”
            “Loh...... justeru sangat pantas”
            “Masak?” Mila tersenyum malu-malu.
            Aku baru menyadari bahwa perkataanku sangat pantas itu adalah kejujuran atau hanya spontanitas, atau pula kejujuran yang spontanitas? Entahlah, yang ku saksikan Mila hanya bisa tersipu malu oleh kata-kata itu.
            “Man, jika kelak kamu sudah disana, apa masih ingat denganku?” Tanya Mila padaku dengan nada gemetar. Aku dapat mendengar dengan jelas setiap tarik dan hembus nafasnya. Mila seperti sedang menahan sesuatu di dada nya. Ia seakan menahan debur haru dan khawatir akan kepergianku yang masih rencana kala itu
            “Apakah mudah untuk melupakan teman?” Jawabku “Tidak mudak, Mila”
            “Aku takut Man” Imbuhnya
            “Sebab?”
            “Aku takut rasa kehilangan akan tumbuh dan besar seiring berjalannya waktu kelak”
            “Aku semakin tidak mengerti, Mila” Aku semakin kebingungan, meskipun sebetulnya aku sudah sangat mengerti jalan pembicaraan aku dan Mila saat itu.
            “Mungkin kedekatan kita memang tidak lebih dari sekedar sahabat, namun waktulah yang mengajarkan aku untuk memelihara rasa dalam sudut yang berbeda, Man” Mila tertunduk mengucapkan itu dengan getaran semakin kuat, bahkan sedikit tersedu. Angin di taman itu seakan membelaiku untuk menjadi lebih peka, serta mengajarkan Mila untuk belajar menahan diri. Cukup canggung suasananya. Cukup lama aku dan Mila terdiam, hanya menikmati satu dan dua lagu anak muda masa itu. Aku tidak bisa berkata, sementara Mila semakin dalam menunduk, semakin pula ia terdiam. Bila saja salah dalam menyikapi masalah itu, aku yakin akan kehilangan sahabat seperti Mila di detik yang sama.
            “Aku akan pergi, Mila. Mengapa seperti ini?” Aku memecahkan suasana hening di taman itu. Meskipun ramai, namun orang lain hanya ku anggap semacam hiasan saja. Mila hanya diam. Jangankan berucap kata, ia bahkan tidak mampu mengangkat wajah. “Mila, kita kenal sudah lama, Mil” namun lagi dan lagi, Mila masih saja terdiam. Aku seperti hanya melihat patung Mila di hadapanku.
            “Man, SAMPAI KAPAN AKU MENUNGGU?” Pertanyaan Mila sontak membuatku begitu terkejut. Sama sekali tidak menyangka bahwa Mila akan berucap sedemikian rupa. Maka saat itu justeru akulah yang terdiam.
            “Milaaaa” Panggilku, Mila hanya menatapku dengan wajah sayu
            “Tidak ada yang mengharuskan kamu untuk menunggu, jika kelak kita berjodoh, aku akan mendatangi. Bukan kamu, melainkan wali mu” Ucapku dengan nada bergetar “Kita hanya hanya butuh saling memperbaiki  kualitas diri”
            Mila tersenyum mendengar semua penjelasanku. Senyum Mila lebar sekali, selebar mentari siang itu. Setelah mendung, saat itu mentari kembali bersinar. Selanjutnya percakapan kami begitu panjang dan lama. Lalu pukul 12.03 aku kembali dengan sepeda tuaku. Mila pun demikian, Motor Matic terbaru pemberian ayahnya sebagai hadiah ulang tahun yang ke 22, mengikuti di belakangku. Sampai pada persimpangan jalan kami harus berpisah, lambaian tangan Mila masih terkenang hingga sore, maghrib, isya, bahkan sampai malam.
***

            Malam ini, kopiku sudah semakin dingin. Tanpa kusadari malam semakin larut, rembulan mengintipku tersenyum, namun bukan dari pohon mangga Pak Supardjono, melainkan dari sela-sela candi Budha. Aku mendapati kabar penantian Mila sudah berakhir. Mila dikhitbah oleh teman sekampusnya yang juga teman ku sendiri. Rembulan tersenyum menatapku, menyambut baik do’a yang kupanjatkan untuk Mila dan kekasihnya yang sesungguhnya.

PENYADAP TERAKHIR


Cerpen ini sudah dibukukan dalam kumpulan cerpen "Cha Yen" yang merupakan gabungan mahasiswa dan pengajar di Thailand.

oleh: Haiyudi
“Ibu tidak capek?” 
“Tidak sama sekali” Seorang wanita mengelap keringat di dahinya.
Semilir angin meniup basah pundak pekerja pagi itu. Membuang jauh gurindam Melayu, menggeser peradaban negeri ibu pertiwi. Sang fajar mulai menunduk hendak berpamit. Duh, Keindahan apalagi yang ada di dunia ini? Tidak ada, kecuali masa pergantian peran rembulan dan mentari, Fajar dan Senja. Belum penuh mentari menyapa, bahkan dinginnya aspal menjadi pertanda pekat. Angin pagi masih sibuk mencari tempat bersandar. Kokok ayam terasa sumbang didengar, tersebab sang tuan belum membukanya dari kandang.
Mendapati diri yang terjaga setelah subuh, Enggal Suroso memilih keluar dari peraduan. Dari namanya jelas Enggal, atau Suroso bukanlah orang Thailand masa kini. Lelaki berperawakan Jawa kuno itu adalah seorang guru muda. Ia diasingkan oleh kampusnya keluar dari negerinya sendiri. Konon kabarnya untuk menghindari stress berat akibat memikirkan negaranya. Sebab sejak dulu, ia dikenal sebagai mahasiswa pemikir. Seperti mau mandi misalnya, ia selalu berpikir panjang. Sudah, ini bukan kisah Enggal Suroso
Dengan bekal bahasa yang pas-pasan dan seadanya, Enggal tidak sulit untuk berinteraksi kepada warga setempat.  
Pagi itu, dengan kamera seadanya, Enggal mencoba mencari objek gambar, namun yang nampak adalah berbeda. Sayup-sayup suara seorang wanita tua berbincang dengan anaknya. Suara reot dan rantai yang bergesekan pula menandakan sepeda tua yang ditumpanginya tidak kalah tua dari usianya.
“Ibu, jika sudah sampai sekolah, terus aku bagaimana?” suara si anak memecah embun di tengkuk Enggal. Tiba-tiba suasana menjadi hangat. Semakin dekat dan jelas bayangan dua anak-beranak itu di depan Enggal.
“Ibu, jangan pergi dulu, aku takut sendirian. Kan masih gelap” Sambungnya
Enggal sedikit terperangah dengan pemandangan itu. Seorang anak dengan pakaian sekolah rapi, berkaos kaki serta membawa bekal dalam plastik asoy hitam sedang duduk diatas sepeda tua yang di tuntun ibunya. Enggal melihat jam tangan yang menunjukkan pukul 05.30. Enggal tersenyum kebingungan.
‘Guruuuuuuuuu” panggil si anak
“Hai...., pagi sekali?” Enggal bertanya dengan senyuman
Dilihatnya sang ibu hanya tersenyum, tanpa sepatah katapun terucap. Pakainnya sangat kumal, khas petani karet. Bahan hain seakan berganti beerbahan karet. Enggal masih kebingungan.
“Iya, ibu mau pergi mengumpulkan getah karet di kebun milik orang”
“Jauh?”
“Jauh, Guru” Yang tampak hanya senyuman dari wajah si anak dan ibu.
“Saya pergi ke sekolah setiap pagi seperti ini, sebab biar bisa di antar oleh ibu. Jika tidak, saya tidak bisa pergi ke sekolah, karena Ayah juga bekerja namun di tempat yang berbeda”
Panjang lebar penjelasan si anak yang belakangan Enggal ketahui bernama Surayut Sukkeaw. Sungguh nama yang sama sekali tidak bernuansa Jawa apalagi Melayu. Singkat cerita, Enggal meminta Surayut menunggu mentari terbit di rumah tempat Enggal tinggal, namun rayuan Enggal tidak berhasil melumpuhkan Surayut. Ia lebih memilih menunggu di depan gerbang sekolah yang tidak jauh dari tiang bendera hingga mentari muncul dan ayam keluar dari kandang.
“Dia adalah guru saya” Ujar Surayut kepada Ibu
“Jika aku besar kelak, aku mau menjadi guru sepertinya” Ujar Surayut kembali. Ibunya hanya tersenyum kembali mendengar ocehan anak SD Kelas 4 itu.
Pelukan hangat seorang ibu nampak membuat Surayut nyaman. Tidak ada pemberontakan sedikitpun dari Surayut. Tiang bendera, sepeda tua, Surayut dan ibunya. Itu membuat Enggal tertegun dari kejauhan. Barangkali Enggal sedang merindukan pelukan seorang ibu jua.
Mentari muncul seiring dengan bunyi sepeda ibunda Surayut yang meninggalkannya sendirian. Tidak ragu sang ibu menitipkan Surayut pada mentari pagi itu. Surayut pun jua sama, tidak ragu melepas kepergian ibunda dengan sejuta senyum mengembang. Mekar sekali layaknya senyuman mentari pagi itu. Enggal yang menyaksikan pertunjukan semesta itu jua ikut tersenyum lebar, sehingga menampakkan bibirnya yang tebal serta hidungnya yang pesek. Namun Enggal bahagia tak terhingga pagi itu. Sejak pagi itu Enggal tidak ingin melewatkan pertunjukkan alam itu.
***
Pagi terus saja berganti, penikmat pagi mendentingkan cangkir dan sendok dalam hangatnya kopi.
“Enggal, ayo ikut saya ngopi dulu sambil memakan roti” Ajak Abdullah Naser
Seorang lelaki melayu yang berasal dari Pattani, dari ceritanya ia berhijrah ke tanah tetangga, Songkhla dengan hati yang ikhlas. Ia menikah dengan seorang gadis jelita anak petani karet. Singkat cerita mereka tinggal tidak jauh dari sekolahan tempat Enggal mengajar.
Jelas saja Enggal tidak menolak kesempatan emas itu. Seribu satu kisah mereka suguhkan di warung kopi ala negeri gajah ini. Abdullah bercerita banyak tentang keadaan masyarakat di sekitar. Hampir setiap seluk-beluk desa ia pahami. Ia mengerti semua yang terjadi dan kabar berita yang ia terima selalu up to date  sebab ia adalah kepala desa setempat. Ini merupakan hal yang jarang ditemui, seorang yang berasal dari 3 wilayah memangku jabatan sebagai kepala komunitas apalagi kepala desa mengingat sejarah kelam ketiga wilayah tersebut.
“Setiap pagi saya melihat anak-anak diantar ibunya bersepeda” Enggal bercerita
“Oh... itu anak dusun sebelah, rumahnya jauh di dalam hutan karet” Jawab Abdullah
“Ia selalu bersepeda?”
“Iya, keluarganya sederhana. Beliau juga bisu, tidak bisa berbicara”
Enggal terdiam, kebingungannya terjawab. Bibir si ibu memang tidak berucap kala itu, namun senyumnya tidak hilang di terpa badai. Betapa senyuman itu mengalahkan ucapan manis apalagi bualan. Enggal terdiam sejenak.
“Mengapa?” Sambung Abdullah
“Saya selalu memperhatikannya setiap pagi” Ucap Enggal seraya membetulkan posisi duduk
“Besok kamu ikut saya ke rumahnya”
“Ada apa?” tanya Enggal kebingungan
“Saya selalu melakukan kunjungan berkala ke rumah warga yang berada di pedalaman kebun karet”
Enggal tentulah sangat senang dengan ajakan itu. Tidak ada alasan bagi Enggal untuk menolak ajakan semanis itu. Sungguh itu lebih manis dari Roti Canai  dan Cha Yen yang sedang mereka cicipi. Dirasakan olehnya gemulai angin bahagia, itu terlihat dari semerbaknya dara yang berterbangan. Para pemangku agama Budha berdatangan di setiap rumah untuk mendoakan umatnya lalu menerima sejumlah bekal sebagai imbalannya. Angkutan umum kecil yang terkenal dengan namanya “tuk-tuk” juga datang dan berhenti mengantarkan penumpang di berbagai tujuan. Semua itu membuka mata Enggal kembali bahwasannya ia bukan di negeri pertiwi. Enggal bahagia, tersenyum dan melanjutkan makan. Seribu satu percakapan ala Melayu kampong mereka lakoni, Abdullah dan Enggal kadang mendapati kebingungan tersendiri dengan kata-kata yang didengar dan diucapkan masing-masing.
***
Kokok ayam membangunkan Enggal seperti biasanya, namun dinginnya embun memanjakan Enggal untuk berada di dalam rumah. Mentari meninggi seiring dengan pongahnya serunai belakang rumah Enggal menandakan janjinya dengan Abdullah untuk Blusukan telah tiba.
“Jangan kaget dengan semuanya” Abdullah meyakinkan Enggal
Enggal hanya membalas dengan senyuman
Berliku jalan mereka lalui, sejak kalimat “Jangan kaget dengan semuanya” mereka baru benar-benar memasuki sebuah pertualangan hebat. Jalan berbatu, sungai, jembatan sebatang kayu, jalan di bawah rindangnya pepohonan karet, akar pepohonan, serta monyet-monyet menjadi penghias perjalanan Enggal pagi ini.
“Apakah kita tidak terlalu pagi, Bang?”
“Perjalanan kita akan memakan waktu 2 jam, Enggal. Jadi, di perkirakan kita akan sampai di perkampungan pada pukul 10. Dan saat itu mereka akan berada di rumah, sebab itu adalah masa-masa istirahat dari mengumpulkan getah ” Jawab Abdullah
Enggal hanya mengangguk,
“Mereka pulang mengambil getah karet?” Isyaratkan keraguan di kepalanya.
“Iya, sedangkan malam hingga subuh mereka menyadap, atau memotong” Jawab Abdullah singkat
Enggal nampaknya begitu kagum saja dengan Abdullah. Sebab ia begitu memahami apa yang terjadi meskipun ia tidak menyaksikannya. Selama di perjalanan sesekali merekapun bertemu dengan pengendara motor dengan kecepatan kilat,  meskipun demikian bukan berarti di jalanan tidak ada rintangan  Keranjang yang terbuat dari Jerigen selaksa mahkota kendaraan tua itu.
“Disini kau akan melihat motor yang mengalami penuaan dini” Ucap abdullah.
“Oh ya? Bagaimana bisa?” tanya Enggal
Kau lihat saja itu!”
“Tua, tapi tenaga oke”
“Seperti orang sini”
Pecah tawa keduanya. Enggal hanya tertawa mendengar pernyatan itu, sebab nampak jelas sekali nahwa motor yang baru di beli langsung mengalami modifikasi yang serupa motor tua. Tetesan getah karet yang menjadi penghias utama setiap jengkal motor. Selain itu, dikabarkan juga bahwa bunyi motor di sini wajib di keraskan. Sebab jalanan begitu membahayakan, selain sempit, banyak terdapat tikungan berbahaya.
Jengkal demi jengkal jalanan mereka lalui, berbagai perasaan mereka lewati, kagum, mengerikan, berhati hati dan lain-lain.
“Titik terang sebuah terowongan sudah terlihat, Enggal”
“Iya, kita sudah melewati satu rumah tinggi”
“Kita akan mendatangi rumah terjauh duluan”
“Iya, Bang” Enggal menjawab singkat.
Kedatangan Enggal dan Pak Kades mendapat sambutan luar biasa, meskipun bukan tindakan terencana, namun warga sangat terkesan. Barangkali wajah Enggal lah yang membuat semua mata tertuju.
***
Tiba di penghujung dusun, penghujung perkebunan serta penghujung peradaban di daerah itu. Yang ada hanya rumah panggung di bawah pohon karet. Aliran air dari bambu yang katanya berasal dari air sungai. Air itu juga menjadi sumber kehidupan orang setempat.
“Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam, wah ada Pak Kades dan Pak Guru”
Basa-basi semacamnya panjang lebar. Hampir dimana saja, percakapan selalu di mulai dengan basa-basi. Panjang dan lebar, itu yang membedakan basa-basi di negeri ini.
Surayut sedang duduk di pangkuan ayahnya, serta adiknya sedang berada dalam Ayunan.
“Anak yang lain dimana?” Enggal bertanya
“Anak saya ada 7, Guru” Ujar Warrawut Sukkeaw, yang tidak lain adalah ayahanda Surayut.
Enggal tidak bisa menutupi rasa kagetnya meskipun tadi sudah mendapat berbagai wejangan dari Abdullah. Konon di kabarkan rata-rata jumlah anak penduduk di perkebunan karet adalah 5 hingga 8 anak. Diagnosa sementara Enggal mengatakan hal ini disebabkan oleh minimnya penerangan di malam hari serta matinya aktifitas malam hari.
“Ini adalah anak terakhir saya” Sambil menggenjot ayunan bayi yang terbuat dari kain sarung. “Sementara ini anak nomor 6 saya” Menunjuk Surayut.
Surayut tersenyum lebar menampakkan gigi kapaknya. Sejuk sekali dipandang mata. Untuk kesekian kalinya Enggal tersenyum lebar juga. Sama lebarnya dengan gigi surayut.
“Yang lain sudah berkeluarga ya, Pak?”
“Ada yang belum, ada yang sudah. Yang pertama menjadi Polisi di Bangkok. Alhamdulillah kami tidak menghawatirkan kesejahteraan hidupnya lagi”
Warrawut berkata dengan sedikit getaran di bibirnya. Disusul dengan sang istri yang duduk melipat kaki ke belakang. Tentu tidak ada ucapan darinya, hanya semerbak senyuman yang ia suguhkan. Enggal tertegun kagum.
“Yang kedua, dia di Hatyai, dia memiliki toko di BIG-C. Yang ini perempuan dan sudah menikah, justru mendahului kakaknya. Yang ketiga Menjadi Dokter di Satun. Yang keempat sedang kuliah mendapatkan beasiswa di Bangkok juga. Yang kelima sedang sekolah kelas 1 SMA. Yang ke enam ini, yang memiliki gigi besar seperti kapak. Yang ke tujuh ini yang sedang dalam ayunan”
Tidak ada suara sedikitpun. Yang terdengar hanya sunyi dan suara angin bersentuhan dengan pepohonan. Raut wajah Warrawut dalam bercerita mengisyaratkan kebanggan. Getar bibirnya menisyaratkan kepuasan serta mata yang berkaca menjadi bukti haru suasana. Enggal hanya tertegun mendengarkan cerita itu. Begitu pula dengan Pak Kades dan Istri Warrawut.
“Entah yang ini mau jadi apa besok. Kamu mau jadi apa, Nak?
“Saya meu menjadi petani karet saja seperti ayah” Jawab Surayut
“Tidak, bisa... kamu harus lebih dari saudara mu yang lain” Bantah Warrawut kepada Surayut.
“Aku mau menemani ibu” Ujar Surayut lagi
“Bercita-cita lah, Nak”
“Menjadi petani karet menjanjikan loh, Pak” Abdullah nyambung seraya bercanda
“Saya harus menghentikan tadisi ini”
“Bukankah ini menjanjikan?”
“Betul, menjanjikan tenaga ekstra”
Lalu?”
“Saya akan menjadi penyadap terakhir di keturunan ini” Ujar Warrawut Sukkeaw
Panjang sekali percakapan di atas rumah kayu sederhana itu. Sedikit tidak percaya, Enggal masih tidak habis pikir dengan kehidupannya hari ini. Mendapati sebuah ketegaran hati seorang ayah dan ibu. Mentari semakin meninggi, menyudahi sebuah obrolan edukasi dalam pelosok. Menyudahi kisah inspirasi setiap sosok. Suara seruling mendayu merdu mengiringi perjalana Enggal dan Pak Kades. Lambaian tangan mungil dan dekil penyadap getah karet sungguh begitu menghangatkan. Senyuman seorang ibu yang setiap pagi Enggal saksikan kini menambah luasnya kasih sayang yang Enggal rasakan.
Sepenggal kisah yang penuh inspirasi dari pedalaman Klong Hin.


Tuesday, 30 August 2016

Aku dan Strawberry



Suatu hari aku bertemu dengan penjual strawberry yang berjejeran di tepi jalanan. Aku terkagum melihat merahnya yang merona. Sana-sini aku memalingkan wajah agar tidak tergoda. Apalah daya, aku merupakan seorang yang terlalu menyukai buah-buahan.

Aku berjalan menuju penjual strawberry yang bertama. Berpura-pura menanyakan harga strawberry seakan aku yakin hendak membelinya. Dalam benakku yang terbayang hanyalah manis. Mengapa? Karena wajahnya merah, kulitnya menggoda serta bentuknya menarik hati. Ternyata ibarat pepatah, jangan menilai buku hanya dari sampulnya saja. Apa yang ku saksikan di mata sungguh berbeda di lidah. Strawberry tidak begitu manis, Justeru cenderung asam. Bahkan sangat asam sejak gigitan pertama.

Selanjutnya aku pergi menuju penjual yang kedua di sebelahnya. Aku mendapati buah strawberry yang sama. Bentuk yang menggoda, warna yang tak ubah serta tekstur yang serupa. Aku kembali meminta izin untuk mencicipi. Dengan senang hati si penjual kedua memberiku strawberry yang paling manis "katanya". Aku mencicipi namun semua tetap sama. Tidak ada bedanya dengan penjual yang pertama. Rasanya tidak semanis yang ku bayangkan. Terus aku berpikir untuk mencoba mencicipi strawberry i pedagang selanjutnya. Sampai sekitar 7 kis strawberry ku datangi, aku tidak menemukan strawberry yang ku anggap manis sesuai prediksiku.

Tibalah aku di kios strawberry yang ke delapan, atau yang terakhir, Aku mencoba mencicipi dengan penuh harapan menemukan yang manis sesuai keinginan. Tiba-tiba penjual berbisik padaku "Anak muda, kau tak akan perah mendapatkan yang sempurna. Yang sesuai dengan yang kau inginkan. Seseorang yang merasakan manis bukan mereka yang tidak bisa merasakan asam. Tetapi justeru mereka yang selalu bersahabat dengan rasa asam dan pahit"

Hidup itu bukan tentang mencari yang manis, namun bagaimana bersahabat dengan yang asam. Maka, bila kau menemukan yang manis, hidupmu lebih bermakna dan luar biasa. Lalu bila kau menemukan yang masam, kau tidak akan apa-apa.


#hyd

Friday, 26 August 2016

Sajak Anak Ayam

Persimpangan
Berulang kali aku membaca sajak-sajak rindu
tetapi patah dalam setiap renungan malam
terpampang wajahmu dalam diam yang ku lakukan
terlukis wajahmu dalam hitamnya nan kelam

Berulangkali aku menulis sajak-sajak kangen
luluh lantak dalam namamu di ketidaksadaranku
ruh-ruh sajak Rendra membingkai indah di pelupuk
Pertamakalinya aku rindu seberat ini

tidak tahu aku akan artinya sakit
gelap aku dari bayangan anggun lain
tatkala gerimis rindu darimu sedang bertamu
adalah aku si anak ayam yang sedang berteduh

Wednesday, 17 August 2016

Aku dan 17 Agustusan

Dok. Pribadi,
Pengibaran Bendera Merah Putih di KRI Songkhla, Thailand, 17 Agustus 2016
Kemaren, 17 Agustus 2016 saya menjalankan kewajiban saya sebagai Warga Negara Indonesia. Saya terkejut melihat antusiasme kawan-kawan yang ada. Mereka datang dengan berbagai corak batik di badannya. Ada yang lipatan tokonya masih kentara, ada pula yang ada aroma setrika dan pewangi, dan lain-lain. Sementara saya hanya memakai batik hijau sekitar 3 tahun yang lalu, ah kasihan sekali. Tapi bukan itu yang mau saya ceritakan.

Lupakan perihal batik yang "saya" pakai.

Aku adalah anak kampung yang tersesat ke negeri orang. Menjalani pengabdian meskipun bukan di negeri sendiri. Sejak tahun 2015 silam diri ini sudah dididik untuk menghargai tanah air. Sebab kaki ini sudah tidak berpijak di tanah pertiwi. Sejak itu, baru aku sadar kalau keberadaan itu akan terasa setelah ketiadaan. Kerinduan akan tanah air semakin membuat hati ini membuncah-buncah.

Sekitar seratus lebih kami berjejer untuk sejenak tertunduk dibawah sang merah putih. Kadang menunduk kadang tegak, tergantung perintah dan aba-aba dari pemimpin upacara. Masing-masing dari kami ada yang serius, ada yang terharu dan juga ada yang "cengengesan". Ketika aba-aba hormat kepada Pembina upacara diberikan oleh pemimpin upacara, semuai menundukkan kepala, kecuali aku. Aku dengan tegaknya mengangkat tangan dan kemudian diletakkan dikening (harusnya diujung alis, kalau tidak salah). Ketika pemimpin upacara meminta untuk hormat kepada sang merah putih, saya menundukkan kepala, namun peserta upacara mengangkat tangan didepan kening.

Cukup sekian, setelah itu kami berfoto bersama, lalu makan dan saya tutup kalimat pertemuan kami saat itu "Sudah 4 tahun saya tidak ikut upacara" Ucapku dengan senyum lebar selebar Merah Putih yang berkibar di langit biru. hati ini senang bukan main.


Pigura