***Gedung Sekolah***
Matahari pagi mengintip mesra menyambut makhluk titipan Tuhan yang ada
dibumi, Seorang anak desa terpencil merupakan salah satu dari jutaan makhluk
tersebut. Beranjak menuju Gedung Reok adalah rutinitasnya ketika matahari
menyapa. Oh iya sobat, namanya Yudhi. Ia merupakan
seorang anak yang dilahirkan di salah satu dusun yang amat terpencil dari
sektor apapun yakni Dusun Padang Keladi ---bukan berarti tanah
yang hanya di tumbuhi tanaman “keladi” yang berarti Talas dalam bahasa setempat--- namun demikian bukan berarti ia tertinggal sepenuhnya. Didikan organisasi
sederhana itu membuatnya mengantongi sedikit keberungtungan dibandingan teman-teman
sebaya yang ada di desanya. Kini dia merupakan satu-satunya utusan perwakilan
pemuda desa yang berdiri hormat di kota budaya ini. Di keluarga inilah tempat
yang ramai baginya saat itu meskipun sejatinya hanya terdiri Ayah, ibu, dia dan
juga kedua adiknya. Namun kini semua suasana yang dulu ia temukan dalam keluarga itu telah berubah
dari semula rumah yang ramai kini berganti kostan yang ramah.
Pada tahun 1992, ia dilahirkan, tepatnya tanggal 22 november 1992.
Seperti di atas, dia dilahirkan dari keluarga yang sederhana. Detik berganti
menit, menit berganti jam, jam berganti hari, hari berganti minggu, minggu
berganti bulan, bulan berganti tahun hingga tidak terasa manusia kecil itu kini
telah tumbuh menjadi anak-anak. Memasuki usia sekolah, tahun 1998 dia di
daftarkan untuk menjelajah gedung kecil yang di bernama sekolah, ketika itu di
Padang keladi hanya merupakan sekolah filial yang masih menginduk pada desa Pongok. Pagi tiba,
di hari pertama sekolah ia di dandan seolah anak perempuan yang ingin lomba
menari. Ketika itu teman kelas nya pertama
terdiri dari 6 siswa, disana mulai terlihat gaya mereka seperti anak STM karena
tidak ditemukan wajah anggun diantara wajah sangar mereka yang sehari-hari
memegang peletik[1].
Awan cerah dipagi hari mengiringi embun dingin nan sejuk. Berjalan
dijalanan yang becek merupakan surga bagi beberapa anak di desa tesebut. Pun
pagi ini sama dengan hari kemaren, meskipun matahari mengintip mesra namun sisa
hujan semalam masih tergenang layaknya tumpahan air yang tak diterima bumi
secara keseluruhan. Beberapa hari sekolah, tidak selayaknya siswa yang ada di
kota yang merupakan lulusan TK, sehingga butuh perkenalan, kami disini terdiri
dari 6 anak dalam satu kelas yang sejak dari lahir telah mengenal satu sama
lain. Pada suatu pagi, layaknya sekolah yang lain, kegiatan pertama selain
memperkenalkan diri mereka juga diminta
maju satu-persatu untuk mendendangkan sebuah lagu yang mereka hafal. Ketika 5
orang anak telah selesai, maka tibalah satu nama yang terakhir yakni Alex
Candra, pada saat berada di depan kelas, ia sungguh berbeda dengan Yudhi dan
temannya yang lain, ia bukan menunjukkan suara merdunya, namun ia menunjukkan
wajahnya yang memerah hingga mengeluarkan butiran air mata. Sungguh tak
disangka, seorang anak yang telah akrab dengan alam liar itu menangis hanya
karana disuruh menyanyi di depan kelas.
“Alex, sekarang gilran kamu yang
terakhir, silahkan maju kedepan” pinta pak guru yang akrab dipanggil pak
Jun, nama lengkapnya yaitu Junaedi, yang tak lain adalah tetangga terdekat Alex
Chandra.
Alex Candra maju kedepan papan tulis dengan ekspresi yang tak bisa
dibaca, tanpa sepatah katapun yang
keluar dari bibirnya. Hingga 5 menit kemudianpun ia tetap membisu secara suara
dan ekspresi. Keadaan tersebut membuat kelima temannya bingung sekaligus
tertawa.
“Can, la kuang beehh nyanyi, lete
neh kamek nunggu e”, ucap Sunyoto.
“Die agik mace du’e itu toooh”
sambut seorang teman yang bernama Mario.
Tiba-tiba suasana hening melihat air suci membasahi pipi putih nan mulus
Alex, ohhhh ternyata ia menangis dikarenakan kekurangan asupan percaya diri.
“Pukok e kau harus nyanyi Can,
kamek semue lah uda nyanyi e, terserah lagu ape nak e, yang penting kau harus
nyanyi” sambung seorang teman bernama Ranu sambil terbata.
“Iye Pak, lagu Cong Mak Ilong[2]
kuang ke Pak?” Tanya Alex kepada Pak Jun.
Kini suasana berubah, Pak Junaedi
yang akrab dipanggil pak Jun justeru yang bingung atas permintaan Alex Candra,
karena hingga sekarang lagu Cong Mak Ilong tak terdaftar sebagai lagu Daerah
apalagi lagu Nasional. Tanpa menunggu jawaban dari Pak Jun, Alex Candra
langsung mendendangkan lagu tersebut dengan suara merdunya bak botol siisi
pasir atau bebatuan kecil.
Cong mak ilong
Mak Ilong gaga batu
Dimana kucing belang
Disitu rumah hantu
Suasana sepi bagai rumah tak berpenghuni yang dipenuhi suara Jangkrik.
Namun tiba-tiba, tanpa basa basi Alex Candra menyunggingkan senyuman yang
merubah mendung dan hujan menjadi cerah layaknya kulitnya yang putih seperti
keturunan China. Serentak kelima temannya bertepuk tangan atas keberhasilannya
melewati tantangan terberat yang pernah ada dalam hidupnya.
***Air Sinsa***
Tidak lengkap rasanya jika seorang siswa kelas 1 SD berangkat kesekolah
tanpa adanya bekal. Begitu juga dengan sekelompok siswa kelas 1 yang terdiri
dari setengah lusin tersebut. Layaknya sekolah ditengah kota, merekapun
membutuhkan bekal baik makanan dan minuman. Namun demikian makanan bukanlah hal
yang wajib bagi mereka, karena itu bisa mereka dapatkan di lingkungan yang tak
asing bagi mereka yakni hutan. Hutan dianggap sebagai restauran yang
menyediakan banyak menu makanan bahkan jauh lebih lengkap dari restauran sekalipun.
Bakat menjadi sekelompok pengusaha yang kreatifpun mereka tekuni dengan
menciptakan minuman warna baru. Jika hari-hari mereka hanya minum minuman yang
berwarna bening, maka pagi ini mereka telah menciptakan inovasi baru dalam
kemasan yang lusuh dan berantakan. Layaknya kemasan minuman masa kini yang
memiliki gas dan berwarna. Kini mereka tertarik untuk mencoba melakukan
penemuan dengan membuat minuman dari pewarna. Adapun pewarna yang mereka
gunakan berbahan dasar sinsa, namun demikian mereka menambahkan sedikit gula
untuk menambah rasa manis dalam minuman meraka. Kekompakan dan kemandirian
telah mereka dapatkan sejak lama. Ditengah abad yang serba ada begini sebetulnya mereka tidak heran jika bertemu dengan minuman sejenis dengan kemasan yang lebih rapi.
***Balik Untuk Tangkun***
Suatu pagi, matahari mengintip mesra dibalik bukit
Pilar. Kicauan pentis dan perling bersaut riang menghiasi dedaun hijau ditepi
jalanan sepanjang Padang Penuduk. Siul ria serta obrolan semalam (nyolong
mempelam) menjadi penanda bahwa burung-burung tak sendiri, ada enam anak
manusia berstatus layaknya Little Krisna.
6 orang siswa SMP Negeri 1 Lepong (Kini menjadi SMPN 2 Pongok) yang selama
ini dikenal kuat dalam menggenjot pedal sepeda onthel, layaknya Krisna yang
kuat membela Prindapan. Kekuatan tanpa tanding, semangat tanpa ujung serta
tekad tanpa sekat meskipun kadang tak mufakad. Namun tiba-tiba kini lemas tak
berdaya bagaikan tidak makan seminggu. Lemas kali ini ternyata bukan karena
kami tidak makan, namun karena satu godaan. Wanita? Sepertinya bukan, karena
kami belum mengenal wanita terlalu dalam. Uang ataupun Harta? Bukan juga.
Karena hari-hari kami berangkat kesekolah tanpa uangpun sepertinya merupakan
hal yang biasa, sehingga menghasilkan hutang (rimba) diwarung Yuk Sun
(diketahui setelah lulus sekolah). Tahta? Sepertinya apalagi ini, kami belum
terinfeksi oleh pemberitaan terkini yang memanfaatkan tahta sebagai lahan
penghasilan bahkan mencari bonus diatas rata-rata. Yaaahhhh Punai.... Punai
kali ini berhasil membalikkan arah sepeda kami. Semula menuju sekolah, kini
berbalik dengan rapi bagaikan barisan ketika upacara bendera. Menuju rumah?
iya... namun setelah itu pergi ke hutan rimba untuk mencari Tangkun dan kawanan
penggoda iman (Punai).
Punai memang menjadi idola para anak muda dan remaja
setempat. Bukan wanita, harta apalagi tahta, punai hanyalah nama burung yang
tidak ditemukan dihutan bagian Jakarta apalagi Jogja. :-)
Suatu pagi, matahari mengintip mesra dibalik bukit Pilar. Kicauan pentis dan perling bersaut riang menghiasi dedaun hijau ditepi jalanan sepanjang Padang Penuduk. Siul ria serta obrolan semalam (nyolong mempelam) menjadi penanda bahwa burung-burung tak sendiri, ada enam anak manusia berstatus layaknya Little Krisna. 6 orang siswa SMP Negeri 1 Lepong (Kini menjadi SMPN 2 Pongok) yang selama ini dikenal kuat dalam menggenjot pedal sepeda onthel, layaknya Krisna yang kuat membela Prindapan. Kekuatan tanpa tanding, semangat tanpa ujung serta tekad tanpa sekat meskipun kadang tak mufakad. Namun tiba-tiba kini lemas tak berdaya bagaikan tidak makan seminggu. Lemas kali ini ternyata bukan karena kami tidak makan, namun karena satu godaan. Wanita? Sepertinya bukan, karena kami belum mengenal wanita terlalu dalam. Uang ataupun Harta? Bukan juga. Karena hari-hari kami berangkat kesekolah tanpa uangpun sepertinya merupakan hal yang biasa, sehingga menghasilkan hutang (rimba) diwarung Yuk Sun (diketahui setelah lulus sekolah). Tahta? Sepertinya apalagi ini, kami belum terinfeksi oleh pemberitaan terkini yang memanfaatkan tahta sebagai lahan penghasilan bahkan mencari bonus diatas rata-rata. Yaaahhhh Punai.... Punai kali ini berhasil membalikkan arah sepeda kami. Semula menuju sekolah, kini berbalik dengan rapi bagaikan barisan ketika upacara bendera. Menuju rumah? iya... namun setelah itu pergi ke hutan rimba untuk mencari Tangkun dan kawanan penggoda iman (Punai). Punai memang menjadi idola para anak muda dan remaja setempat. Bukan wanita, harta apalagi tahta, punai hanyalah nama burung yang tidak ditemukan dihutan bagian Jakarta apalagi Jogja. :-) Make Money at : http://bit.ly/copy_win
Make Money at : http://bit.ly/copy_win
Suatu pagi, matahari mengintip mesra dibalik bukit Pilar. Kicauan pentis dan perling bersaut riang menghiasi dedaun hijau ditepi jalanan sepanjang Padang Penuduk. Siul ria serta obrolan semalam (nyolong mempelam) menjadi penanda bahwa burung-burung tak sendiri, ada enam anak manusia berstatus layaknya Little Krisna. 6 orang siswa SMP Negeri 1 Lepong (Kini menjadi SMPN 2 Pongok) yang selama ini dikenal kuat dalam menggenjot pedal sepeda onthel, layaknya Krisna yang kuat membela Prindapan. Kekuatan tanpa tanding, semangat tanpa ujung serta tekad tanpa sekat meskipun kadang tak mufakad. Namun tiba-tiba kini lemas tak berdaya bagaikan tidak makan seminggu. Lemas kali ini ternyata bukan karena kami tidak makan, namun karena satu godaan. Wanita? Sepertinya bukan, karena kami belum mengenal wanita terlalu dalam. Uang ataupun Harta? Bukan juga. Karena hari-hari kami berangkat kesekolah tanpa uangpun sepertinya merupakan hal yang biasa, sehingga menghasilkan hutang (rimba) diwarung Yuk Sun (diketahui setelah lulus sekolah). Tahta? Sepertinya apalagi ini, kami belum terinfeksi oleh pemberitaan terkini yang memanfaatkan tahta sebagai lahan penghasilan bahkan mencari bonus diatas rata-rata. Yaaahhhh Punai.... Punai kali ini berhasil membalikkan arah sepeda kami. Semula menuju sekolah, kini berbalik dengan rapi bagaikan barisan ketika upacara bendera. Menuju rumah? iya... namun setelah itu pergi ke hutan rimba untuk mencari Tangkun dan kawanan penggoda iman (Punai). Punai memang menjadi idola para anak muda dan remaja setempat. Bukan wanita, harta apalagi tahta, punai hanyalah nama burung yang tidak ditemukan dihutan bagian Jakarta apalagi Jogja. :-) Make Money at : http://bit.ly/copy_win
Make Money at : http://bit.ly/copy_win
***Perpisahan***
bertahun lamanya ia berjuang jauh dari keluarga, terbayang jelas sosok
perempuan yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga sekaligus petani, seorang
laki-laki setengah tua namun masih gagah yang berprofesi sebagai seorang petani
sekaligus nelayan dan dua anak kecil perempuan yang pintar dan jelita. Itulah
keluarga nya yang ia tinggalkan kini. Tetapi dimatanya mereka bukan petani
apalagi nelayan, mereka semua adalah pahlawan karena profesi itu telah menghantarkannya berdiri tegak didepan Perguruan Tinggi serta
tertunduk hormat diatas kota ini.
Setahun yang lalu, terlukis jelas wajah lugu seorang ibu dengan kesederhanaannya
yang menghantarkannya menuju bandara dan tidak lupa dua orang anak kecil
perempuan yang tak lain adalah adik kandung nya. Saat itu salah satu pahlawan
nya tidak ikut serta dalam momen disiang itu. Dengan wajah gembira yang
menutupi kesediah perpisahan mereka tunjukkan itu tak lain merupakan karena itu
hari pertama mereka melihat pesawat terbang secara langsung. Bahkan sejatinya
salah satu adiknya merupakan hari sekolah seperti biasa, namun ia memilih untuk
memupuk air matanya dilantai bandara saat melihatnya terbang ke kota. Ribuan nasihat
yang mereka berikan padanya, namun satu pertanyaan yang muncul dari mulut siswa
kelas 4 SD yang tak lain adalah adiknya sendiri...
“bang ngape disetiap bahasa ade
kosa kata menangis...?”
Terdiam sejenak ia untuk berfikir... namum belum sempat terjawab iapun
berkata lagi..
“karne disanak juak ade kate
tertawa”
Ia tertawa seakan melecehkan kata-katanya itu.. lalu ia bertanya..
“maksudnye ape itu Ka..?” Oh
iya nama adik nya itu Antika, jadi panggilan pedek ia padanya “ka”. Sedangkan
adiknya yang satunya berumur 2 tahun dan namanya Agustri.
“menangis toh lambang sedih, susah payah, sedangkan tertawa itu lambang
bahagia, jadi abang jangan takut susah payah karene kelak pasti ade bahagie” kata-katanya begitu bijak bukan,,..?
Sejenak ia terdiam dalam lamunan,
sisa detik-detik perpisahanpun mereka habiskan dengan bercanda sesekali
merenung karena ingin segera berpisah. Detik berganti menit, hingga tanpa terasa pesawat akan segera “take
off” namu sebelum masuk tangis perpisahan menghiasi perjalanannya, tak lain
adalah siswa yang begitu bijak namun kini menangis tersedu-sedu. Hingga ia
sadar ternyata adiknya begitu sayang padanya meskipun hari-hari mereka tak
lepas dari perselisihan. Namun itu tak mengurangi rasa sayang nya pada adiknya
itu.
Sobat... ketahuilah saat itu
merupakan pertama kalinya ia berada dalam pesawat. Hingga berlahan waktu
berganti, kabut yang menutupi pulau belitung kini berganti kepulau jawa. Dengan
tekat yang kuat tibalah ia di jakarta bersama tetangganya yang sama-sama menuju
ke Jogja.
***SOETTA***
Sedang asyik menikmati
pemandangan hidup di sekitar bandara Soekarno Hatta, tiba-tiba HP butut nya berdering
setelah beberapa saat ia matikan. Dengan sedikit rasa kaget bercampur rasa malu
karena bunyinya sungguh jauh berbeda dengan HP orang-orang zaman sekarang
hehehehehe... tak lain adalah panggilan dari
ibunya.........
“assalamua’laikum” panggilan ia jawab dengan sedikit canggung di
antara ratusan orang yang memiliki wajah modern masa kini.....
“waalaikumsalam” iapun
mejawab.
“Agik dmane...?” ibunya
bertanya lagi.
“di bandara mak..... kini baru nelpon
y....” singkatnya ingin metutup
telpon ibu dari ibunya.
“oh iye lah mun gitu seh, kini
nelpon e mun lah sampai jogja ye, assalamu’alaikum...”
“wa’alaikumsalam”
Jujur saja waktu itu kepalanya masih terasa
pusing karena ayunan ombak yang ia rasa saat di pesawat. Tak kuasa ia menahan
lapar setelah beberapa saat menunggu pesawat menuju kota tujuannya yaitu
Jogjakarta. Akhirnya ia memilih untuk membuka bekal yang di sediakan oleh
ibunya yang sejak subuh dipersiapkan khusus untuk seorang putra yang kini
terbang meniti jembatan masa depan yang sulit diperkirakan. Oh iya sobat perlu
diketahui bahwa ia terbang hanya ditemani 1 tas tang bertuliskan ”BANGKA
BELITUNG’’ yang tak lain adalah pemberian seorang ATLET nasional yang tak asing
lagi baginya. Namun tas tersebut berada didalam bagasi pesawat sedari tadi.
Namun kini yang ada dihadapannya yang ia gunakan untuk membawa bekal adalah tas
yang sudah ia gunakan sejak kelas 1 SMK yang mana sudah memiliki bekas operasi
dimana-mana. Namun itu bukan masalah yang berarti baginya ketika ingat tas yang
digunakan ayahnya untuk membawa bekal ke lahan sumber pencarian, itu jauh lebih
tua yang jika diperkirakan seperti manusia ia telah dalam kondisi kritis.
Tetapi tiba-tiba tas itu pula yang membuatnya tersentak sedikit malu saat
membuka resleting tas yang tidak bisa di kompromi sehingga membuat perutnya
bersabar sejenak. Kini keberadaannya serasa dipenuhi oleh mata-mata orang yang
pada dasarnya belum tentu melihat dirinya.
[1] Peletik biasa dikenal dengan nama ketapel
yang merupakan senjata tradisional setempat yang memiliki fungsi seperti
senapan. Peletik terbuat dari kayu bercabang yang ditambah dengan beberapa
karet sebagai energi pegas serta belulang yang digunakan untuk meletakkan
peluru yang biasa terbuat dari batu.
[2] Cong mak
ilong merupakan lagu yang hingga kini belum terdaftar sebagai lagu daerah
setempat apalagi lagu nasional.
[3] Tangkun
merupakan pohon yang di desain dengan kayu sebagai alat bantu untuk memanjat.
Tangkun dibuat senyaman mungkin layaknya rumah tarzan. Tangkun digunakan untuk
mencari punai dengan proses yang dinamakan MULUT.
[4] Pulut
merupakan alat yang digunakan untuk menjebak burung. Pulut terbuat dari getah
karet namun terkadang juga dibuat dari karet bekas yang dibuat layaknya lem.