Friday 17 October 2014

Memori PPL UAD 2013 di SMP N 5 BANGUNTAPAN, BANTUL, YOGYAKARTA


Skripsi Anak Pongok

Dikutip dari catatan harian  Prayudha Magriby tentang proses skripsiku hingga mencapai hasil yang sesuai harapan.

Ini kisah adek kosku. Namanya Yudhi. Di Facebook, akunnya bertuliskan Yudhi Doank. Ya, kerena memang namanya itu doang. Nggak lebih pun nggak kurang. Khas nama anak pedalaman di Bangka Belitung. Pongok, tempat Yudhi lahir dan tumbuh memang cuma pulau kecil yang barangkali nampak sekecil semut di peta. Kalau di globe, bisa dipastikan pulau Pongok tidak terditeksi.

Yudhi sekolah di Pongok hanya sampai SMP. Untuk melanjutkan ke SMA, anak-anak Pongok mesti hijrah ke  pulau Bangka atau Belitung. Berhuntung orang tua Yudhi punya pemikiran yang maju. Dengan berbagai usaha, Yudhi bisa melanjutkan ke salah satu SMK di Belitung. Belitung dipilih karena Yudhi punya bibi di sana. Setidaknya, dengan “numpang” di tempat saudara, beban biaya sekolah Yudhi bisa sedikit ringan. Teman-teman Yudhi di Pongok sedikit yang bisa seberhuntung dirinya. Karena hampir mustahil melanjutkan, mereka langsung menjadi penambang timah tradisional. Pekerjaan berat dan penuh resiko tempat sebagian besar penduduk Pongok — bahkan Bangka Belitung — menggantungkan hidupnya. Saking bahayanya, tak terhitung sudah berapa nyawa hilang tertimbun galian timah, tak terkecuali beberapa teman Yudhi.

Selama di SMK, Yudhi dikenal sebagai siswa yang rajin. Bakatnya di bidang olah raga telah menghantarkannya menjuarai banyak turnamen. Terakhir, Yudhi didaulat sebagai atlit tenis meja di Pekan Olah Raga Daerah. Namun demikian, cita-cita Yudhi ternyata bukan menjadi atlit atau orang kantoran. Ia sedari lama sudah menyimpan hasrat untuk menjadi guru. Akases pendidikan yang luar biasa sederhana di Pulaunya, seringkali membuat Yudhi miris. Apalagi, jika melihat bagaimana nasib anak sebangsanya di Jawa dan pulau-pulau besar lainnya. Mereka seperti hidup di dunia lain yang tak terjangkau imajinasi anak-anak Pongok. Menjadi guru Yudhi pikir akan dapat sedikit merubah keadaan.

Untuk cita-citanya itu, Yudhi hijrah ke Yogyakarta. Ia akhirnya bisa diterima di salah satu universitas swasta di sana. Enatah kenapa Yudhi memilih jurusan pendidikan bahasa Inggris. Mungkin saja selain bercita-cita menjadi guru dia punya “hidden agenda” untuk menarik wisatawan ke pulaunya. Ya, siapa tau saja. Selama berkuliah di kampus tersebut, Yudhi bisa dikatakan mahasiswa yang rajian. Saking rajinnya, tiap kali menjelang ujian, pasien-pasien datang memenuhi kamar kos Yudhi yang kecil. Pasien tersebut tidak lain dalah teman sekelas Yudhi yang berharap bisa mendapat pencerahan. Minimal pencerahan berupa catatan kuliah.

Dengan etos belajar yang demikian, tak mengherankan jika Yudhi bisa menjalani kuliahnya sesuai ketentuan. Di semester delapan Yudhi telah bisa menulis skripsi — yang dijurusannya disebut test..is, eh.. “thesis” maksudnya. Nampaknya, Yudhi sangat mencintai tesis yang tengah ia garap. Tiap malam ia lembur hingga pagi. Karena tak punya dispensier, seringkali ia mengganggu tidurku untuk meminta air panas. Mitos kopi dapat menjaga mata dari kantuk rupanya ia percayai juga.

Dalam keseriusannya bergelut dengan tesis, Yudhi semakin menjadi relijus. Terpampang tulisan besar di temboknya: “One Day One Juzz”. Ingat! Juzz bukan Juice. Tiap habis sahalat, terutama Maghrib dan Subuh, Yudhi membaca Qur’an dengan tartil. Pernah sesekali sang empu kos meledek target satu hari satu jus itu. Namun Yudhi tak bergeming. Ia mantap untuk istiqomah dengan menyelaraskan halaman tesis dengan halaman Qur’an.

Tak lama berselang, tesis Yudhi pun tuntas sudah. Tibalah hari penentuan. Hari di mana tangan dan kaki bicara. “kemana saja kita melangkahnya.a.a.a..” Ya, lagunya Bimbo tepat juga jadi soundtrack ujian tesis yang biasa disebut di kampus Yudhi sebagai “Pendadaran”.
Momen pendadaran — bagi siapapun tak terkeculai — merupakan hari yang menentukan. Hari di mana kuliah bertahun-tahun akan dibuktikan. Di situlah hari yang menjadi semacam jembatan antara dunia kampus dengan dunia nyata. Di situlah hari yang menjadi gerbang bagi kebermanfaatan ilmu bagi kehidupan. Di situlah hari yang menjadi ujung tombak keilmuan seseorang. Hari yang sakral dan suci bagi seorang intelektual!

Melihat sepak terjang Yudhi. Mencermati tesis Yudhi. Aku hampir bisa memastikan jika jerih payah Yudhi bisa diapresiasi secara maksimal. Pembimbing dan teman-teman Yudhi aku yakin pula punya pandangan yang sama. Namun, jalannya cerita seringkali tak terduga. Tiba-tiba saja muncul status di FB Yudhi, “...terserah padamu paduka...”

Status tersebut dilatarbelakangi keheranan Yudhi atas realitas di ruang ujian. Ia mengatakan jika sesaat sebelum ujian, suasana sudah mulai tak karuan. Jadwal ujianya dipercepat satu jam dari seharusnya. Ini untuk menghormati keinginan salah satu penguji yang notabene adalah “juru kunci” di jurusannya. Sekian menit berselang, sosok yang sangat dihormati tersebut geram karena salah seorang penguji lainnya tidak jua datang. “Telfon dia!” ujar sang penguji utama. Yudhi pun langsung mnghubungi penguji yang belum hadir tersebut. “Mohon maaf saya telat sebentar. Rapatnya belum selesai,” jawab sang penguji yang belum hadir. Nampaknya, rapat tersebut cukup penting. Saat Yudhi akan menjelaskan ke penguji utama, dia sudah terlanjur keluar ruangan. Yudhi pun menjelaskan sembari berjalan mendampingi penguji utama yang sudah berniat pulang.  “Kalau mau dapat A ujian di rumah saya!” ujar sang pembimbing utama yang sudah bersiap menyetop taksi.

Yudhi akhirnya menyerah. Dengan sedih dan penuh kebingungan di kembali ke ruang ujian. Selang beberapa waktu sang penguji utama kembali bersama penguji lainnya. Namun, salah seorang penguji telah diganti. Yudhi berpikir jika itu dilakukan agar situasi tidak menjadi lebih buruk. Kenyataannya, situasi sama sekali tidak berubah. Apa yang Yudhi takutkan terjadi. Baru saja memulai presentasi, sang penguji utama menyela, “Kamu itu nggak layak untuk Novel itu!”. Yudhi kemudian mencoba menjelaskan jika sang penguji utama tersebut telah meng-acc novel pun metode yang digunakan. “Itu karena saat itu kamu sudah hopeless!” tampik sang penguji utama. Yudhi pun mencoba menjelaskan namun pembimbimngnya memberi isyarat agar Yudhi tenang.

Ujian berjalan dengan penuh ketegangan. Jika wajarnya seorang penguji memberikan tujuh sampai delapan, hari itu sang penguji utama memberikan Yudhi 14 pertanyaan. Sudah dapat diterka nilai yang Yudhi dapatkan tak maksimal. Ia hanya memperoleh nilai B. Itu saja karena sudah diringankan oleh nilai penguji lain selain penguji utama. “Kamu kecewa kan!” tanya sang penguji utama entah dengan maksud apa. Dengan berat hati Yudhi mesti menerima nilai yang dalam hatinya tak sesuai. Salah seorang penguji, seorang ibu, mencoba menenangkannya. Ibu itu menawari Yudhi ujian ulang. Namun Yudhi menolak karena sudah tak lagi punya uang. Uangnya telah habis untuk persiapan pendadaran dan administrasi.

Beberapa hari setelah ujian, Yudhi sudah bisa menata hatinya. Ia sudah kembali seperti biasa. Menjadi penghuni kos yang penuh tawa. Hingga suatu siang beberapa orang teman sekelas Yudhi datang. Dia datang dengan membawa amplop berisi uang. Dia mengatakan jika itu uang jurusan. Uang itu diberikan supaya Yudhi bisa mendaftar pendadaran ulang.

Yudhi agak merasa ragu jika itu uang jurusan. Ia kemudian menanyakan perihal uang itu ke setiap teman kelasnya. Semua temannya mengatakan hal yang sama jika uang itu dari jurusan. Yudhi sampai mengancam tidak akan mendaftar jika teman-temannya tidak jujur. Akhirnya, salah satu temannya tidak bisa mengelak. Ia mengatakan jika uang 500 ribu itu adalah hasil iuran teman-teman. Sesaat setelah tahu apa yang dialami Yudhi, teman-temannya dengan penuh kesadaran patungan. Kurang dari sehari uang sebesar itu bisa terkumpul.

***

Yudhi menceritakan usaha teman-temannya padaku dengan mata berkaca-kaca. Jika saja suasananya tepat aku pastikan di menangis terharu. Aku pastikan jika kelak Yudhi pendadaran, saat keluar ruangan, melihat teman-teman sekelasnya, ia pasti akan menangis penuh haru. Betapa persahabatan bisa sekuat itu. Betapa persahabatan mampu melawan kesewenang-wenangan dengan cara cinta.

Yudhi, aku mungkin nggak bisa ikut iuran duit. Kamu tahu sendiri jikau kita sama-sama mahasiswa “kere”. Mahasiswa yang kuliah untuk mengubah nasib hidup. Mahasiswa yang terlahir dari ruang terpencil dan berharap menjadi secercah terang di sana kelak. Tapi Yudhi, aku cuma bisa menuliskan ini agar kita semua belajar. Belajar menjadi pribadi yang welas asih. Pribadi yang bisa rendah hati; secerdas atau seberkuasanya apapun kita. Hehehe…..

Pigura