Thursday 23 November 2017

PENYADAP TERAKHIR


Cerpen ini sudah dibukukan dalam kumpulan cerpen "Cha Yen" yang merupakan gabungan mahasiswa dan pengajar di Thailand.

oleh: Haiyudi
“Ibu tidak capek?” 
“Tidak sama sekali” Seorang wanita mengelap keringat di dahinya.
Semilir angin meniup basah pundak pekerja pagi itu. Membuang jauh gurindam Melayu, menggeser peradaban negeri ibu pertiwi. Sang fajar mulai menunduk hendak berpamit. Duh, Keindahan apalagi yang ada di dunia ini? Tidak ada, kecuali masa pergantian peran rembulan dan mentari, Fajar dan Senja. Belum penuh mentari menyapa, bahkan dinginnya aspal menjadi pertanda pekat. Angin pagi masih sibuk mencari tempat bersandar. Kokok ayam terasa sumbang didengar, tersebab sang tuan belum membukanya dari kandang.
Mendapati diri yang terjaga setelah subuh, Enggal Suroso memilih keluar dari peraduan. Dari namanya jelas Enggal, atau Suroso bukanlah orang Thailand masa kini. Lelaki berperawakan Jawa kuno itu adalah seorang guru muda. Ia diasingkan oleh kampusnya keluar dari negerinya sendiri. Konon kabarnya untuk menghindari stress berat akibat memikirkan negaranya. Sebab sejak dulu, ia dikenal sebagai mahasiswa pemikir. Seperti mau mandi misalnya, ia selalu berpikir panjang. Sudah, ini bukan kisah Enggal Suroso
Dengan bekal bahasa yang pas-pasan dan seadanya, Enggal tidak sulit untuk berinteraksi kepada warga setempat.  
Pagi itu, dengan kamera seadanya, Enggal mencoba mencari objek gambar, namun yang nampak adalah berbeda. Sayup-sayup suara seorang wanita tua berbincang dengan anaknya. Suara reot dan rantai yang bergesekan pula menandakan sepeda tua yang ditumpanginya tidak kalah tua dari usianya.
“Ibu, jika sudah sampai sekolah, terus aku bagaimana?” suara si anak memecah embun di tengkuk Enggal. Tiba-tiba suasana menjadi hangat. Semakin dekat dan jelas bayangan dua anak-beranak itu di depan Enggal.
“Ibu, jangan pergi dulu, aku takut sendirian. Kan masih gelap” Sambungnya
Enggal sedikit terperangah dengan pemandangan itu. Seorang anak dengan pakaian sekolah rapi, berkaos kaki serta membawa bekal dalam plastik asoy hitam sedang duduk diatas sepeda tua yang di tuntun ibunya. Enggal melihat jam tangan yang menunjukkan pukul 05.30. Enggal tersenyum kebingungan.
‘Guruuuuuuuuu” panggil si anak
“Hai...., pagi sekali?” Enggal bertanya dengan senyuman
Dilihatnya sang ibu hanya tersenyum, tanpa sepatah katapun terucap. Pakainnya sangat kumal, khas petani karet. Bahan hain seakan berganti beerbahan karet. Enggal masih kebingungan.
“Iya, ibu mau pergi mengumpulkan getah karet di kebun milik orang”
“Jauh?”
“Jauh, Guru” Yang tampak hanya senyuman dari wajah si anak dan ibu.
“Saya pergi ke sekolah setiap pagi seperti ini, sebab biar bisa di antar oleh ibu. Jika tidak, saya tidak bisa pergi ke sekolah, karena Ayah juga bekerja namun di tempat yang berbeda”
Panjang lebar penjelasan si anak yang belakangan Enggal ketahui bernama Surayut Sukkeaw. Sungguh nama yang sama sekali tidak bernuansa Jawa apalagi Melayu. Singkat cerita, Enggal meminta Surayut menunggu mentari terbit di rumah tempat Enggal tinggal, namun rayuan Enggal tidak berhasil melumpuhkan Surayut. Ia lebih memilih menunggu di depan gerbang sekolah yang tidak jauh dari tiang bendera hingga mentari muncul dan ayam keluar dari kandang.
“Dia adalah guru saya” Ujar Surayut kepada Ibu
“Jika aku besar kelak, aku mau menjadi guru sepertinya” Ujar Surayut kembali. Ibunya hanya tersenyum kembali mendengar ocehan anak SD Kelas 4 itu.
Pelukan hangat seorang ibu nampak membuat Surayut nyaman. Tidak ada pemberontakan sedikitpun dari Surayut. Tiang bendera, sepeda tua, Surayut dan ibunya. Itu membuat Enggal tertegun dari kejauhan. Barangkali Enggal sedang merindukan pelukan seorang ibu jua.
Mentari muncul seiring dengan bunyi sepeda ibunda Surayut yang meninggalkannya sendirian. Tidak ragu sang ibu menitipkan Surayut pada mentari pagi itu. Surayut pun jua sama, tidak ragu melepas kepergian ibunda dengan sejuta senyum mengembang. Mekar sekali layaknya senyuman mentari pagi itu. Enggal yang menyaksikan pertunjukan semesta itu jua ikut tersenyum lebar, sehingga menampakkan bibirnya yang tebal serta hidungnya yang pesek. Namun Enggal bahagia tak terhingga pagi itu. Sejak pagi itu Enggal tidak ingin melewatkan pertunjukkan alam itu.
***
Pagi terus saja berganti, penikmat pagi mendentingkan cangkir dan sendok dalam hangatnya kopi.
“Enggal, ayo ikut saya ngopi dulu sambil memakan roti” Ajak Abdullah Naser
Seorang lelaki melayu yang berasal dari Pattani, dari ceritanya ia berhijrah ke tanah tetangga, Songkhla dengan hati yang ikhlas. Ia menikah dengan seorang gadis jelita anak petani karet. Singkat cerita mereka tinggal tidak jauh dari sekolahan tempat Enggal mengajar.
Jelas saja Enggal tidak menolak kesempatan emas itu. Seribu satu kisah mereka suguhkan di warung kopi ala negeri gajah ini. Abdullah bercerita banyak tentang keadaan masyarakat di sekitar. Hampir setiap seluk-beluk desa ia pahami. Ia mengerti semua yang terjadi dan kabar berita yang ia terima selalu up to date  sebab ia adalah kepala desa setempat. Ini merupakan hal yang jarang ditemui, seorang yang berasal dari 3 wilayah memangku jabatan sebagai kepala komunitas apalagi kepala desa mengingat sejarah kelam ketiga wilayah tersebut.
“Setiap pagi saya melihat anak-anak diantar ibunya bersepeda” Enggal bercerita
“Oh... itu anak dusun sebelah, rumahnya jauh di dalam hutan karet” Jawab Abdullah
“Ia selalu bersepeda?”
“Iya, keluarganya sederhana. Beliau juga bisu, tidak bisa berbicara”
Enggal terdiam, kebingungannya terjawab. Bibir si ibu memang tidak berucap kala itu, namun senyumnya tidak hilang di terpa badai. Betapa senyuman itu mengalahkan ucapan manis apalagi bualan. Enggal terdiam sejenak.
“Mengapa?” Sambung Abdullah
“Saya selalu memperhatikannya setiap pagi” Ucap Enggal seraya membetulkan posisi duduk
“Besok kamu ikut saya ke rumahnya”
“Ada apa?” tanya Enggal kebingungan
“Saya selalu melakukan kunjungan berkala ke rumah warga yang berada di pedalaman kebun karet”
Enggal tentulah sangat senang dengan ajakan itu. Tidak ada alasan bagi Enggal untuk menolak ajakan semanis itu. Sungguh itu lebih manis dari Roti Canai  dan Cha Yen yang sedang mereka cicipi. Dirasakan olehnya gemulai angin bahagia, itu terlihat dari semerbaknya dara yang berterbangan. Para pemangku agama Budha berdatangan di setiap rumah untuk mendoakan umatnya lalu menerima sejumlah bekal sebagai imbalannya. Angkutan umum kecil yang terkenal dengan namanya “tuk-tuk” juga datang dan berhenti mengantarkan penumpang di berbagai tujuan. Semua itu membuka mata Enggal kembali bahwasannya ia bukan di negeri pertiwi. Enggal bahagia, tersenyum dan melanjutkan makan. Seribu satu percakapan ala Melayu kampong mereka lakoni, Abdullah dan Enggal kadang mendapati kebingungan tersendiri dengan kata-kata yang didengar dan diucapkan masing-masing.
***
Kokok ayam membangunkan Enggal seperti biasanya, namun dinginnya embun memanjakan Enggal untuk berada di dalam rumah. Mentari meninggi seiring dengan pongahnya serunai belakang rumah Enggal menandakan janjinya dengan Abdullah untuk Blusukan telah tiba.
“Jangan kaget dengan semuanya” Abdullah meyakinkan Enggal
Enggal hanya membalas dengan senyuman
Berliku jalan mereka lalui, sejak kalimat “Jangan kaget dengan semuanya” mereka baru benar-benar memasuki sebuah pertualangan hebat. Jalan berbatu, sungai, jembatan sebatang kayu, jalan di bawah rindangnya pepohonan karet, akar pepohonan, serta monyet-monyet menjadi penghias perjalanan Enggal pagi ini.
“Apakah kita tidak terlalu pagi, Bang?”
“Perjalanan kita akan memakan waktu 2 jam, Enggal. Jadi, di perkirakan kita akan sampai di perkampungan pada pukul 10. Dan saat itu mereka akan berada di rumah, sebab itu adalah masa-masa istirahat dari mengumpulkan getah ” Jawab Abdullah
Enggal hanya mengangguk,
“Mereka pulang mengambil getah karet?” Isyaratkan keraguan di kepalanya.
“Iya, sedangkan malam hingga subuh mereka menyadap, atau memotong” Jawab Abdullah singkat
Enggal nampaknya begitu kagum saja dengan Abdullah. Sebab ia begitu memahami apa yang terjadi meskipun ia tidak menyaksikannya. Selama di perjalanan sesekali merekapun bertemu dengan pengendara motor dengan kecepatan kilat,  meskipun demikian bukan berarti di jalanan tidak ada rintangan  Keranjang yang terbuat dari Jerigen selaksa mahkota kendaraan tua itu.
“Disini kau akan melihat motor yang mengalami penuaan dini” Ucap abdullah.
“Oh ya? Bagaimana bisa?” tanya Enggal
Kau lihat saja itu!”
“Tua, tapi tenaga oke”
“Seperti orang sini”
Pecah tawa keduanya. Enggal hanya tertawa mendengar pernyatan itu, sebab nampak jelas sekali nahwa motor yang baru di beli langsung mengalami modifikasi yang serupa motor tua. Tetesan getah karet yang menjadi penghias utama setiap jengkal motor. Selain itu, dikabarkan juga bahwa bunyi motor di sini wajib di keraskan. Sebab jalanan begitu membahayakan, selain sempit, banyak terdapat tikungan berbahaya.
Jengkal demi jengkal jalanan mereka lalui, berbagai perasaan mereka lewati, kagum, mengerikan, berhati hati dan lain-lain.
“Titik terang sebuah terowongan sudah terlihat, Enggal”
“Iya, kita sudah melewati satu rumah tinggi”
“Kita akan mendatangi rumah terjauh duluan”
“Iya, Bang” Enggal menjawab singkat.
Kedatangan Enggal dan Pak Kades mendapat sambutan luar biasa, meskipun bukan tindakan terencana, namun warga sangat terkesan. Barangkali wajah Enggal lah yang membuat semua mata tertuju.
***
Tiba di penghujung dusun, penghujung perkebunan serta penghujung peradaban di daerah itu. Yang ada hanya rumah panggung di bawah pohon karet. Aliran air dari bambu yang katanya berasal dari air sungai. Air itu juga menjadi sumber kehidupan orang setempat.
“Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam, wah ada Pak Kades dan Pak Guru”
Basa-basi semacamnya panjang lebar. Hampir dimana saja, percakapan selalu di mulai dengan basa-basi. Panjang dan lebar, itu yang membedakan basa-basi di negeri ini.
Surayut sedang duduk di pangkuan ayahnya, serta adiknya sedang berada dalam Ayunan.
“Anak yang lain dimana?” Enggal bertanya
“Anak saya ada 7, Guru” Ujar Warrawut Sukkeaw, yang tidak lain adalah ayahanda Surayut.
Enggal tidak bisa menutupi rasa kagetnya meskipun tadi sudah mendapat berbagai wejangan dari Abdullah. Konon di kabarkan rata-rata jumlah anak penduduk di perkebunan karet adalah 5 hingga 8 anak. Diagnosa sementara Enggal mengatakan hal ini disebabkan oleh minimnya penerangan di malam hari serta matinya aktifitas malam hari.
“Ini adalah anak terakhir saya” Sambil menggenjot ayunan bayi yang terbuat dari kain sarung. “Sementara ini anak nomor 6 saya” Menunjuk Surayut.
Surayut tersenyum lebar menampakkan gigi kapaknya. Sejuk sekali dipandang mata. Untuk kesekian kalinya Enggal tersenyum lebar juga. Sama lebarnya dengan gigi surayut.
“Yang lain sudah berkeluarga ya, Pak?”
“Ada yang belum, ada yang sudah. Yang pertama menjadi Polisi di Bangkok. Alhamdulillah kami tidak menghawatirkan kesejahteraan hidupnya lagi”
Warrawut berkata dengan sedikit getaran di bibirnya. Disusul dengan sang istri yang duduk melipat kaki ke belakang. Tentu tidak ada ucapan darinya, hanya semerbak senyuman yang ia suguhkan. Enggal tertegun kagum.
“Yang kedua, dia di Hatyai, dia memiliki toko di BIG-C. Yang ini perempuan dan sudah menikah, justru mendahului kakaknya. Yang ketiga Menjadi Dokter di Satun. Yang keempat sedang kuliah mendapatkan beasiswa di Bangkok juga. Yang kelima sedang sekolah kelas 1 SMA. Yang ke enam ini, yang memiliki gigi besar seperti kapak. Yang ke tujuh ini yang sedang dalam ayunan”
Tidak ada suara sedikitpun. Yang terdengar hanya sunyi dan suara angin bersentuhan dengan pepohonan. Raut wajah Warrawut dalam bercerita mengisyaratkan kebanggan. Getar bibirnya menisyaratkan kepuasan serta mata yang berkaca menjadi bukti haru suasana. Enggal hanya tertegun mendengarkan cerita itu. Begitu pula dengan Pak Kades dan Istri Warrawut.
“Entah yang ini mau jadi apa besok. Kamu mau jadi apa, Nak?
“Saya meu menjadi petani karet saja seperti ayah” Jawab Surayut
“Tidak, bisa... kamu harus lebih dari saudara mu yang lain” Bantah Warrawut kepada Surayut.
“Aku mau menemani ibu” Ujar Surayut lagi
“Bercita-cita lah, Nak”
“Menjadi petani karet menjanjikan loh, Pak” Abdullah nyambung seraya bercanda
“Saya harus menghentikan tadisi ini”
“Bukankah ini menjanjikan?”
“Betul, menjanjikan tenaga ekstra”
Lalu?”
“Saya akan menjadi penyadap terakhir di keturunan ini” Ujar Warrawut Sukkeaw
Panjang sekali percakapan di atas rumah kayu sederhana itu. Sedikit tidak percaya, Enggal masih tidak habis pikir dengan kehidupannya hari ini. Mendapati sebuah ketegaran hati seorang ayah dan ibu. Mentari semakin meninggi, menyudahi sebuah obrolan edukasi dalam pelosok. Menyudahi kisah inspirasi setiap sosok. Suara seruling mendayu merdu mengiringi perjalana Enggal dan Pak Kades. Lambaian tangan mungil dan dekil penyadap getah karet sungguh begitu menghangatkan. Senyuman seorang ibu yang setiap pagi Enggal saksikan kini menambah luasnya kasih sayang yang Enggal rasakan.
Sepenggal kisah yang penuh inspirasi dari pedalaman Klong Hin.


No comments:

Post a Comment

Pigura