Rindu adalah makhluk paling
kejam. Jika tidak kuat, jangan berkenalan dengan jarak dan waktu. Karena rindu
adalah anak dari keduanya. ---Yudhi Doank---
Yogyakarta,
salah satu kota yang harus diberikan lantai dua, karena kini penuh dengan
pendatang yang tinggal dilantai satu. Kota yang telah melahirkan jutaan
sarjana. Saksi bisu jutaan mahasiswa di wisuda. Sejak dulu –ketika rumah kost
belum begitu popular—kota ini sudah dikenal sebagai kota pelajar, atau jika
tidak kota ini adalah kota budaya. Alangkah indahnya ketika keharmonisan budaya
bisa disandingkan dengan ilmu pengetahuan. Saat jutaan ilmuan yang dilahirkan
universitas, dengan waktu yang sama kota Jogja juga mengajarkan nilai budaya
didalamnya.Dan itu semua mungkin hanya bisa di temukan dikota berlabel istimewa ini.
Tidak perlu
panjang lebar mendeskripsikan kota Jogja, cukuplah satu kata istimewa. Tulisan ini berawal dari
percakapan saya dengan seorang teman. Ketika hari minggu adalah hari istirahat
bagi mereka para pekerja, hari libur untuk mereka pegawai dan pelajar. Namun
tidak dengan segelintir kaum seperti kami. Ketika seorang teman bertanya- “Mas Yudhi aslinya (memang saya palsu?) mana
mas? Maksud saya Jogjannya dimana?” mendengar pertanyaan itu sebetulnya
sudah tidak asing lagi ditelinga saya. Saya pastikan dia bukan orang pertanya
yang mengira saya penduduk asli kota ini. Sambil tersenyum saya katakan “Saya asalnya dari Belitung, Mbak”.
Sontak ia kaget dengan jawaban yang saya berikan, dengan wajah heran dan
mengisyaratkan bahwa ia sangat tidak percaya dengan jawaban saya. Sekilas ia
menggambarkan tentang saya dengan kata-kata nya “Maaf mas, tapi dari wajahnya mas seperti orang jawa, gaya bicaranya
juga. Tidak ada kemiripan dengan orang Sumatera”. Lagi, kata yang demikian
keluar darinya bukanlah pertama kali ku dengar. Dia adalah orang yang kesekian
yang berkata demikian.
Berselang
beberapa saat setelah kami sibuk didepan layar dengan pekerjaan masing-masing,
tiba-tiba kembali ia bertanya “memangnya
mas nggak kangen sama keluarga?” sebelumnya saya sempat bercerita kalau
saya jarang pulang ke Belitung. Kembali, saya hanya tersenyum, bukan karena tidak
memiliki jawaban, hanya saja pertanyaan tersebut telah ia jawab sendiri. “hehehe maaf mas, nanya nya begitu, pastilah
kangen ya Mas? Haduuhhh”. Dalam waktu yang sama, saya sempat
berpikir.”mengapa saya begitu betah dikota ini? Apakah saya lupa dengan desa
dimana saya dilahirkan? Apa yang telah dijamu kota Jogja untuk saya? Apakah
benar saya kini sudah terjebak nyaman dikota ini? Begitu banyak pertanyaan lain
yang terbersit. Namun satu kalimat yang kini sangat membekas “memangnya
mas nggak kangen sama keluarga?”
2010 adalah tahun dimana kaki ini mulai dilangkahkan. Mulai
berpijak ditanah jawa, melangkah dan berjalan dikota Jogja serta berdiri dan
tertunduk hormat di kota budaya yang Istimewa. Sejak awal masa penjajakan
hingga kini, begitu banyak pergantian fase, dari jumlah detik kedetik yang
lain, menit ke menit yang lain, jam, hari, bulan bahkan tahun ketahun yang
lain. Akan tetapi ada satu yang tidak pernah tergantikan, sebuah nama yang
disebut alamat. Gang Mangga adalah saksi perjalanan hidup saya sejak masih
dalam penjajahan hingga kini saya sudah merdeka (dari biaya orang tua hehehe).
Kebroan (desa) yang saat itu masih jaman jahiliyah hingga kini terang benderang
bahkan hingar bingar oleh lampu dan hiburan yang datang dari XT SQUARE setiap
malamnya. Sungguh saya adalah orang yang setia. Bagaimana tidak, tinggal
diruang berukuran 3x3 yang di nahkodai seorang nenek -- yang bahasa setempat
disebut “mbah”-- saja saya masih tetap bertahan. Perlu diketahui bahwa kost ini
sangat strategis, selain dekat dengan tempat keramaian XT SQUARE, kost ini juga
sangat dekat dengan perkampungan orang sebelah (kuburan). Yang terpenting
adalah kost ini terletak diantara 2 Kampus sang pencerah sehingga jalan kecil
didepannya sering digunakan sebagai jalur alternatif oleh mahasiswakere karena
tidak memiliki helm.
Ah sudahlah, lain kali akan
kuceritakan tentang sebuah kata yang bernama “kost”. Seperti biasanya aku lupa
sekarang sudah hidup pada detik keberapa. Sarjana matematika pasti akan
langsung menghitung dan tau bahwa kini sudah memasuki tahun ke lima. Namun
sayangnya saya adalah sarjana bahasa. Yaaahh tepat sekali, kini saya tidak lagi
menyandang status mahasiswa, melainkan telah menjadi bagian dari jutaan Sarjana
yang diwisuda dikota ini. Mengapa hingga kini saya masih saja dikota ini?
Belajar hidup yang disebut “legowo”, berjalan didepan warganya seraya
mengucapkan “monggo”, mengkonsumsi hidangan khas mahasiswa bernama “Burjo”,
berkomunikasi menggunakan bahasanya walaupun hanya sebatas “Iso dan Ojo”.
Apakah tidak ada ruang rindu untuk keluarga? Ingin rasanya ku bertanya kepada
sarjana Geologi atau bahkan Geografi sekedar ingin tau berapa jarak kota ini
menuju rumah. Bertanya kepada sarjana matematika sekedar ingin tau berapa
jumlah detik dalam sewindu.
Rindu, makhluk
apasih kamu? Ku yakin sarjana matematika tidak akan mampu mengkalkulasi jumlah
rindu. sarjana biologi yang tidak akan mengerti Zat apa itu rindu. Sarjana
fisika yang bingung akan ion rindu. Sarjana pertambangan yang tak akan mampu
mengukur kedalaman rindu dari perut bumi. Sarjana hukum yang tidak akan tau
pasal tentang rindu. Tapi mengapa sarjana sastra dan bahasa senantiasa bermain
kata tentang rindu? sementara ketika rindu itu datang lidah mereka akan kaku
dan kelu. Sungguh kau makhluk astral yang bersembunyi indah dalam diri ini.
Hingga setiap mereka yang datang selalu mengira tidak ada rindu untuk mereka
yang bernama keluarga. Hingga ketika malam dan hujan berkata “kamu sedang
rindu”