Sunday 15 March 2015

Terjebak Indah di Kota Budaya



Rindu adalah makhluk paling kejam. Jika tidak kuat, jangan berkenalan dengan jarak dan waktu. Karena rindu adalah anak dari keduanya. ---Yudhi Doank--- 

Yogyakarta, salah satu kota yang harus diberikan lantai dua, karena kini penuh dengan pendatang yang tinggal dilantai satu. Kota yang telah melahirkan jutaan sarjana. Saksi bisu jutaan mahasiswa di wisuda. Sejak dulu –ketika rumah kost belum begitu popular—kota ini sudah dikenal sebagai kota pelajar, atau jika tidak kota ini adalah kota budaya. Alangkah indahnya ketika keharmonisan budaya bisa disandingkan dengan ilmu pengetahuan. Saat jutaan ilmuan yang dilahirkan universitas, dengan waktu yang sama kota Jogja juga mengajarkan nilai budaya didalamnya.Dan itu semua mungkin hanya bisa di temukan dikota berlabel istimewa ini.
Tidak perlu panjang lebar mendeskripsikan kota Jogja, cukuplah satu kata istimewa. Tulisan ini berawal dari percakapan saya dengan seorang teman. Ketika hari minggu adalah hari istirahat bagi mereka para pekerja, hari libur untuk mereka pegawai dan pelajar. Namun tidak dengan segelintir kaum seperti kami. Ketika seorang teman bertanya- “Mas Yudhi aslinya (memang saya palsu?) mana mas? Maksud saya Jogjannya dimana?” mendengar pertanyaan itu sebetulnya sudah tidak asing lagi ditelinga saya. Saya pastikan dia bukan orang pertanya yang mengira saya penduduk asli kota ini. Sambil tersenyum saya katakan “Saya asalnya dari Belitung, Mbak”. Sontak ia kaget dengan jawaban yang saya berikan, dengan wajah heran dan mengisyaratkan bahwa ia sangat tidak percaya dengan jawaban saya. Sekilas ia menggambarkan tentang saya dengan kata-kata nya “Maaf mas, tapi dari wajahnya mas seperti orang jawa, gaya bicaranya juga. Tidak ada kemiripan dengan orang Sumatera”. Lagi, kata yang demikian keluar darinya bukanlah pertama kali ku dengar. Dia adalah orang yang kesekian yang berkata demikian.
Berselang beberapa saat setelah kami sibuk didepan layar dengan pekerjaan masing-masing, tiba-tiba kembali ia bertanya “memangnya mas nggak kangen sama keluarga?” sebelumnya saya sempat bercerita kalau saya jarang pulang ke Belitung. Kembali, saya hanya tersenyum, bukan karena tidak memiliki jawaban, hanya saja pertanyaan tersebut telah ia jawab sendiri. “hehehe maaf mas, nanya nya begitu, pastilah kangen ya Mas? Haduuhhh”. Dalam waktu yang sama, saya sempat berpikir.”mengapa saya begitu betah dikota ini? Apakah saya lupa dengan desa dimana saya dilahirkan? Apa yang telah dijamu kota Jogja untuk saya? Apakah benar saya kini sudah terjebak nyaman dikota ini? Begitu banyak pertanyaan lain yang terbersit. Namun satu kalimat yang kini sangat membekas memangnya mas nggak kangen sama keluarga?”
2010 adalah tahun dimana kaki ini mulai dilangkahkan. Mulai berpijak ditanah jawa, melangkah dan berjalan dikota Jogja serta berdiri dan tertunduk hormat di kota budaya yang Istimewa. Sejak awal masa penjajakan hingga kini, begitu banyak pergantian fase, dari jumlah detik kedetik yang lain, menit ke menit yang lain, jam, hari, bulan bahkan tahun ketahun yang lain. Akan tetapi ada satu yang tidak pernah tergantikan, sebuah nama yang disebut alamat. Gang Mangga adalah saksi perjalanan hidup saya sejak masih dalam penjajahan hingga kini saya sudah merdeka (dari biaya orang tua hehehe). Kebroan (desa) yang saat itu masih jaman jahiliyah hingga kini terang benderang bahkan hingar bingar oleh lampu dan hiburan yang datang dari XT SQUARE setiap malamnya. Sungguh saya adalah orang yang setia. Bagaimana tidak, tinggal diruang berukuran 3x3 yang di nahkodai seorang nenek -- yang bahasa setempat disebut “mbah”-- saja saya masih tetap bertahan. Perlu diketahui bahwa kost ini sangat strategis, selain dekat dengan tempat keramaian XT SQUARE, kost ini juga sangat dekat dengan perkampungan orang sebelah (kuburan). Yang terpenting adalah kost ini terletak diantara 2 Kampus sang pencerah sehingga jalan kecil didepannya sering digunakan sebagai jalur alternatif oleh mahasiswakere karena tidak memiliki helm.
Ah sudahlah, lain kali akan kuceritakan tentang sebuah kata yang bernama “kost”. Seperti biasanya aku lupa sekarang sudah hidup pada detik keberapa. Sarjana matematika pasti akan langsung menghitung dan tau bahwa kini sudah memasuki tahun ke lima. Namun sayangnya saya adalah sarjana bahasa. Yaaahh tepat sekali, kini saya tidak lagi menyandang status mahasiswa, melainkan telah menjadi bagian dari jutaan Sarjana yang diwisuda dikota ini. Mengapa hingga kini saya masih saja dikota ini? Belajar hidup yang disebut “legowo”, berjalan didepan warganya seraya mengucapkan “monggo”, mengkonsumsi hidangan khas mahasiswa bernama “Burjo”, berkomunikasi menggunakan bahasanya walaupun hanya sebatas “Iso dan Ojo”. Apakah tidak ada ruang rindu untuk keluarga? Ingin rasanya ku bertanya kepada sarjana Geologi atau bahkan Geografi sekedar ingin tau berapa jarak kota ini menuju rumah. Bertanya kepada sarjana matematika sekedar ingin tau berapa jumlah detik dalam sewindu.
Rindu, makhluk apasih kamu? Ku yakin sarjana matematika tidak akan mampu mengkalkulasi jumlah rindu. sarjana biologi yang tidak akan mengerti Zat apa itu rindu. Sarjana fisika yang bingung akan ion rindu. Sarjana pertambangan yang tak akan mampu mengukur kedalaman rindu dari perut bumi. Sarjana hukum yang tidak akan tau pasal tentang rindu. Tapi mengapa sarjana sastra dan bahasa senantiasa bermain kata tentang rindu? sementara ketika rindu itu datang lidah mereka akan kaku dan kelu. Sungguh kau makhluk astral yang bersembunyi indah dalam diri ini. Hingga setiap mereka yang datang selalu mengira tidak ada rindu untuk mereka yang bernama keluarga. Hingga ketika malam dan hujan berkata “kamu sedang rindu”


Pigura