Wednesday 20 April 2016

Sejauh manapun kaki dilangkahkan, menoleh kebelakang adalah kewajiban. Bukan apa-apa hanya untuk mengingat jalan pulang.


ISBN:978-602-336-217-2
Penulis:Haiyudi
Penerbit:Diandra Creative
Tanggal Terbit:2016-04-01
Jumlah Halaman:292
Berat Buku:350 gr
Kertas:Bookpaper, 14x20 cm
Harga:Rp. 50.000,00

Informasi pemesanan:

Redaksi Penerbit: WA 0857 2825 3141
                          BBM 7E89B325
Penulis              : WA +66620802292
                          BBM 5C48EF62
                          IG @h_yudhi                 



1.      Petuah Melayu
Tak kan lari kampong kau tinggal, tapi ilmu tak kan kau dapat bila berpangku tangan, bila tak kau kejar. —lelaki setengah tua itu—

“Abang kemana lagi?”
“Biarkan abangmu bermimpi, walaupun harus pisah”
Mentari pagi yang terbangun kesiangan kini bergaya di cakrawala dengan sedikit menampakkan wajah di balik awan mendung. Mentari desa yang sejak tadi bersembuny di balik awan hitam,  kini sedang berdiri gagah di antara muatan dua  anak gunung yakni bukit pilar dan bukit ritang.
Riuh gemuruh suasana pelabuhan reot kini menjadi penghias alam yang gelap, segelap kulit bagian belakang para pekerja pelabuhan. Hitam legam, sehitam tengkuk barisan awak kapal barang hari itu. Aroma minyak dan air laut menjadi pengharum, ditambah dengan aroma ikan nan sebangsanya yang menambah amisnya dermaga.
Alunan lagu melayu lama group band Malaysia kian mendayu merdu disalah satu warung makan yang menjadi langganan pekerja pelabuhan. Lagu yang seakan hendak menghiasi perjalanan seorang anak muda dengan sejuta tekad dikepalanya. Zamri terduduk di bibir pelabuhan menghadap lautan luas sambil terus tersenyum lebar. Seakan senyumnyalah yang paling manis didunia. Di dermaga itu, dermaga yang tampak sedikit reot di ujung barat sebuah pulau kecil yang ada di pelosok pulau Bangka, Provinsi Kep. Bangka Belitong.
“Zamri, hendak pergi kemana?”
“Ke Belitong, Bang”
“Hendak nyambung sekolah kemana?”
“Barangkali ke Jogja” Senyum lebar
Seorang awak kapal bertanya, lalu sesaat kemudian tersenyum juga melihat senyuman Zamri yang kian menyala-nyala sembari memeluk buntilan baju. Besar kepala dan lebar dadanya  ketika menyebut nama Jogja. Itulah Zamri.
Sementara disebelahnya, ayah dan ibu tersenyum lebar menyaksikan semangat Zamri. Sampai tidak lama kemudian, senyum itu kian dihiasi mata yang berkaca-kaca, sesekali bibir isyaratkan kesedihan dan haru. Zamri mencium tangan keduanya serta kening dua dayang Melayu kecil. Ada semacam getaran tak menentu di bibir, dada dan badan Zamri.
“Tarik jangkaaaar”
Begitulah kiranya Kept atau kapten kapal memberi komando kepada anak buahnya. Pertanda kapal siap diberangkatkan. Gelombang pula ombak kecil pelan namun pasti kian mendorong kapal menuju pulau Belitong. Ombak itu kadang menyamping, kadang juga mendorong dari belakang. Sungguh, ombak itu seperti Tut Wuri Handayani.
Kapal Motor (KM) Bunga Mawar. Sebuah transportai lokal yang menghubungkan Pulau Liat dengan pulau sekitar seperti Bangka dan Belitong. Pagi itu jangkar diangkat, kapal itu bertolak meninggalkan pulau Pongok, kept kapal memainkan kemudi menuju pulau Belitong dengan penuh keraguan. Kala itu musim Tenggara, arah mata angin yang membuat pusing nahkoda yang mengemudi kapal. Bahkan semua penumpang yang ada didalamnya. Bayangkan saja, jika kapal cepat seperti Bahari saja masih bisa diterjang oleh gelombang, apalagi kapal semacam  ini yang hanya berukuran panjang sekitar 10 meter lalu lebar dengan kisaran 5 meter saja.
Sebenarnya, ada beberapa KM lain. Namun kala musim tenggara, masyarakat setempat lebih memilih Bunga Mawar untuk mengantarkan mereka berjalan menyeberang pulau. Karena memang Bunga Mawar memiliki ukuran terbesar diantara yang lainnya. Hari itu, 20 April 2010 ada puluhan manusia didalam Bunga Mawar. Semua dikhawatirkan dengan adanya gelombang laut yang menerjang. Barangkali berlayar sudah menjadi kebiasaan bagi Nahkoda dan Crew atau awak kapal kecil ini, namun tidak bagi sebagian penumpang yang ada didalamnya.
Ketika itu gelombang kian tinggi, hempasan luan kapal itu kian mengeluarkan suara khas. Suara perpaduan antara air laut dengan papan. Gemercik air asin yang kian membanjiri luan Bunga Mawar. Aroma air asin yang ketika itu dipadukan dengan ayunan gelombang laut membuat beberapa penumpang menjadi pusing lalu mabuk. Selanjutnya ada yang memuntahkan makanan dengan segenap isi perut yang lain, ada pula yang membacakan ayat-ayat suci al-quran. Ada pula yang mengobati rasa maboknya dengan makan sebanyak banyaknya. Ada yang berpura pura tidur, untuk membohongi keadaan dengan bersandar didinding kabin. Ada juga yang berpikir jauh seakan dirinya akan segera mati. Dia bersiap siap mengirimkan kata-kata terakhirnya melalui pesan singkat kepada keluarganya.
Akan tetapi sungguh tidak terduga ketika ditengah kepanikan tersebut ada yang membersitkan tawa dengan gembiranya. Seorang pemuda setengah baya, Zamri dengan duduk dipinggiran kabin sambil memeluk Jerigen oli yang digunakan untuk mesin kapal, namun sudah habis. Dan juga lelaki setengah tua dengan topi koboy melayu dan celana selebornya sambil memegang semangkuk mie rebus ditengah ayunan gelombang.
“Bang, abang harus tau, jatuh dari tangkun bukanlah satu musibah, namun seakan satu prestasi”
“Betul. Demi burung punai, baju celana jadi kumal itu lazim”
“Usahlah kumal, robek saja tak mengapa”
Sambung Zamri dengan semangat. Sesekali mereka tertawa seakan menjadi orang paling bahagia di dalam Bunga Mawar.
“Sudah lama, 3 tahun aku tidak mulut punai. Sungguh aku rindu berat akan Padang Penuduk, Padang Kik Anyan, Padang Yak atot” ratapnya.
Zamri seakan sedang mengenang sesuatu yang lalu “Itupun setahun dua kali tak pasti” dengan mimik wajah sedih.
“Tak apa, Zamri. Hidup itu tidak berhenti di tangkun” Jawab lelaki setengah tua “Ada dunia luar yang harus dijelajah anak muda sepertimu”
“Betul, Bang. Terimakasih”
Dengan sedikit terperangah, Zamri tersenyum lagi.
“Sejak ku tau bermimpi itu gratis, aku telah membuat mimpi saya seindah mungkin”
“Apa mimpimu?”
“Hendak membangunkan orang yang bermimpi terlalu lama” Jawabnya tanpa dosa “sungguh tidak baik, sebab mimpi itu satu paket dengan usaha dan doa, bila bermimpi terlalu lama maka sungguh ialah orang yang paling rugi
Begitulah Zamri, ia seakan sedang bersabda. Sesekali menganggukkan kepala, sesekali menggelengkan kepala, seakan dia kagum dengan dirinya sendiri. Andai saja ini disaksikan orang banyak, maka akan banyak pula orang heran seperti kalian yang membaca.
Dari wajahnya ia tidak mirip dengan orang melayu pada umumnya. Belakangan ia sering dikatakan bahwa tanah melayu enggan menganggapnya sebagai bagian dari orang melayu. Ia sering kali dikira orang Jawa. Entah dilihat dari sisi mana, jangan ditanyakan.
Senyum dengan bekas luka disekitar bibir dan pipinya menjadi penghias tersendiri. Bekas luka itu tidak lain dihasilkan dari petualangan dengan alam yang begitu hebatnya.
“Untuk menggapai bulan diluar sana orang sudah pakai pesawat terbang (mungkin maksudnya apollo), tidak lagi dijuluki pakai bambu seperti mitos jamanmu kecil. Ibumu sering berkata kalau kamu berhenti menangis nanti akan diambilkan bulan untukmu pakai bambu. Iya kan?”
Nasihat lelaki setengah tua kepada Zamri kian menjadi-jadi. Dengan tatapan tajam, seraya terus mengaduk mie rebus didalam mangkuk, ia terus tertawa seperti orang gila. Tapi dia lelaki melayu, gila sedikit itu sering kali dianggap seni.
“Tak usah segan meninggalkan Tangkun, Pekatik dan Pulut. Biarkan mereka dirawat yang lain. Ada banyak seniman hutan yang siap menggilas punai disini. Hijrah bukan hanya kepadang penuduk, bukan hanya ke padang kik anyan, tapi ada sebuah padang yang luas. Yang menjadi idaman setiap orang yang punya mimpi. Itulah dunia”
“Betul, Bang. Terimakasih” Zamri mengangguk-anggukkan dagu. Sepertinya semakin terhipnotis dengan semangat petuah melayu ini
“Belajarlah diluar, buat teori tentang Tangkun, Pulut dan Pekatik. Untuk melakukan riset, datanglah lagi kesini. Begiitu,, kan keren. Benar nggak? ahahahahahahahahaha”
Entahlah, Zamri ini semakin kagum saja rasanya dengan lelaki setengah tua ini. Perlu diketahui: Tangkun adalah tempat dimana seniman alam berada. Sebatang pohon rindang yang digunakan untuk menjebak burung. Dengan bermodalkan seekor burung sejenis (biasanya burung punai) yang digunakan sebagai pekatik serta pulut yang dipasang di ranting pohon.
Pekatik adalah burung sejenis –punai misalnya— yang dijadikan pemandu bagi burung liar lainnya, digunakan untuk menarik perhatian burung lainnya. Barangkali jika dikehidupan manusia, pekatik ini dididik untuk senantiasa tebar pesona.
Pulut merupakan benda hitam, dekil dan menjijikkan. Lengket ditangan, namun memang itu yang dimau supaya burung yang hinggap tidak bisa terbang kembali.
“Iya, Bang”
“Tak kan lari kampong kau tinggal, tapi ilmu tak kau dapat bila berpangu tangan, bila tak kau kejar”
“Betul, Bang”
“Berhenti bicara banyak tentang dunia jika keluar pulau saja kau takut. hahahaha”
Sesekali ingin memasukkan mie kedalam mulut, namun seringkali terhenti, lalu ngobrol, tertawa terbahak-bahak dan gagal lagi makannya. Begitu seterusnya.
“Orang melihat indahnya batu karang, karena berani menyelam. Orang melihat indahnya gunung, karena dia berani mendaki. Begitu juga jika ingin bicara tentang dunia, jangan takut berhijrah. Setidaknya lihatlah belahan Indonesia yang lain, besok, kelak kau ceritakan sama orang sekampung. Kelak, bila kau kembali, maka kaulah orang hebat. Pak RT akan susah tutup mulut, Pak RW akan kering gigi dan gusi, Serta warga akan kemasukan lalat mulutnya. Dan, abang, akan hamparkan karpet merah panjang untuk kau berjalan, Zamri.
“Kenapa begitu, Bang?” Zamri heran
“Karena kau sudah jadi menteri kehutanan, Zamri. Paham? ahahahahaha” Tertawa terbahak-bahak.
Sesaat lelaki itu menatap Zamri. Tajam sekaali, tidak ada senyuman, ia sedang serius. Zamri bersemangat sekali menatapnya, mungkin tatapan itu lebih maut dari malaikat maut. Lelaki setengah tua itu persisnya sedang menaruh bara api di dada Zamri.
“Dunia ini luas, Zam. Tidak terhenti digaris pantai selatan pulau Jawa. Juga tidak terhenti di perbatasan Borneo. Siapa tau kelak kau boleh pergi Papua Nugini”
“Iya bang”
“Tapi ingat, merantau itu adalah titipan kepercayaan. Sebab di era pemerintahan sekarang, godaan bukan hanya sekedar tangkun, hutan dan laut, tetapi kemegahan yang mungkin memukau matamu dan membuatmu tercengang, ada pula makhluk Tuhan yang namanya wanita. Hati-hatilah kau bujang”
“Maksudnya, Bang?” Bingunglah Zamri mendengar ocehan semi akademis itu.
“Hal terberat yang dilakukan ayah ibumu bukanlah mencari uang untuk kau kuliah, Zam. Tapi hal terberat ialah menjatuhkan kepercayaan padamu untuk menjaga keringat mereka. Maka beruntunglah, kau mendapatkan kepercayaan itu. Diluar sini abang yakin banyak yang memiliki uang untuk sekedar biaya kuliah, tapi tidak berani memberikan kepercayaan kepada anak mereka. Selalu bersyukurlah”
Dengan senyuman mengembang khas seorang lelaki yang sudah punya anak. Ia terus memberikan semacam petuah agar supaya Zamri bersyukur. Barangkali ia sedang membayangkan seakan Zamri adalah anaknya sendiri.
“Hidup itu jangan takut mengambil resiko, jika takut mending memilih mati saja. Kadang kita itu terlalu banyak menyerah pada nasib, ingatlah nasib itu belum final. Belum sampai kepada takdir. Jadi, jangan biarkan mimpimu bersemayam diatas tangkun, nanti jika sudah berhasil buat tangkun elektronik kan bisa”
Wajahnya berseri dan sesekali nada omongannya berirama hentakan gelombang dua satu dua, nampaknya lelaki tua ini semakin semangat untuk memberikan wejangan pada Zamri.  Dengan singkatnya, Zamri menjawab layaknya dosen membalas pesan singkat dari mahasiswanya. Menjadi manusia yang memegang erat norma-norma bahasa Indonesia. Singkat Padat Jelas
“Iya bang”
“Abang hanya berpesan satu hal, Zam. Jangan biarkan mendung rantau menggilasmu habis dengan dinginnya hujan dan panasnya kemarau. Cari lengung pelangi disetiap sudut kota dimana kau berpijak. Jika tidak, perjalananmu hanya menguras tenaga”
 Dan kini, dari raut wajahnya, Zamri tidak segembira tadi lagi. Perasaan pusing, mual serta ngantuk semakin menyerang. Jerigen yang ia peluk sungguh begitu membantu, nampaknya seperti memeluk guling diatas kasur yang diletakkan diatas ayunan. Dongeng indah dari lelaki tua itu seperti hipnotis yang tidak di sengaja. Atau jika tidak, Zamri bagaikan sedang tidur didalam ayunan diatas tangkun sambil menunggu punai hinggap dipulutnya. Lalu disetelnya radio dengan pelan sekali didekat telinganya.  Seakan ia sedang mendengarkan lagu dangdut, sebut saja lagunya Imam S. Arifin—Senandung Rembulan. Zamri mengantuk selanjutnya tertidur
Begitu lama ingin aku curahkan
Gelora cinta yang lama bersemayam
Tetapi aku tak mungkin mengatakan
Biarlah cinta hanya sebatas angan
Aku bukanlah rembulan seindah yang kau bayangkan
Tetapi redup dan tiada bersinar
........
            Ini adalah bukti bahwa Zamri mencintai Indonesia tanpa batas. Ditengah ombak yang menderu saja dia masih membawa dangdut kedalam mimpinya. Teman sebayanya kini sudah beralih kepada jenis musik yang kian berbeda, musik tanpa seruling, yang pasti musik tanpa Gendang dan Dut.
Segaris senyum kini terukir dari bibir lelaki setengah tua itu. Melihat Zamri yang tidur seenak jidatnya, lalu merasa menjadi manusia paling nasionalis lewat mimpinya yang menyanyikan lagu asli Indonesia (dangdut). Perfect sekali hidupmu anak muda.
Tanpa disadari semangkuk mie yang dimasak setengah jam yang lalu kini mulai melayu, dingin, mengembang serta membesar. Sementara yang lain masih disibukkan dengan membaca berbagai ayat suci al-quran, sibuk mencari celah menghindari rasa pusing bahkan ada yang belum selesai mengeluarkan isi perutnya melalui mulut. Semua dikarenakan ayunan ombak yang tidak lazim lagi.
            Ditengah lautan kekhwatiran, dalamnya untaian surah yasin oleh segenap bibir didalam Bunga Mawar, mimpi Zamri tidak terhalang gelombang. Kicauan burung masih terngiang ditelinganya, rindang pohon lada nan hijau masih terlukis indah dimatanya serta nasihat ibu dan ayah yang masih membekas ditelinganya.

Sejauh manapun kaki dilangkahkan, menoleh kebelakang adalah kewajiban. Bukan untuk menjadi penghalang pandangan kedepan, hanya untuk mengingat jalan pulang.

Pigura