ISBN | : | 978-602-336-217-2 |
Penulis | : | Haiyudi |
Penerbit | : | Diandra Creative |
Tanggal Terbit | : | 2016-04-01 |
Jumlah Halaman | : | 292 |
Berat Buku | : | 350 gr |
Kertas | : | Bookpaper, 14x20 cm |
Harga | : | Rp. 50.000,00 |
Informasi pemesanan:
Redaksi Penerbit: WA 0857 2825 3141
BBM 7E89B325
Penulis : WA +66620802292
BBM 5C48EF62
IG @h_yudhi
1.
Petuah Melayu
Tak kan lari kampong kau tinggal, tapi ilmu tak kan kau dapat bila berpangku
tangan, bila tak kau kejar. —lelaki setengah tua itu—
“Abang
kemana lagi?”
“Biarkan
abangmu bermimpi, walaupun harus pisah”
Mentari
pagi yang terbangun kesiangan kini bergaya di cakrawala dengan sedikit
menampakkan wajah di balik awan mendung. Mentari desa yang sejak tadi
bersembuny di balik awan hitam, kini
sedang berdiri gagah di antara muatan dua
anak gunung yakni bukit pilar dan bukit ritang.
Riuh
gemuruh suasana pelabuhan reot kini menjadi penghias alam yang gelap, segelap
kulit bagian belakang para pekerja pelabuhan. Hitam legam, sehitam tengkuk
barisan awak kapal barang hari itu. Aroma minyak dan air laut menjadi
pengharum, ditambah dengan aroma ikan nan sebangsanya yang menambah amisnya dermaga.
Alunan
lagu melayu lama group band Malaysia kian mendayu merdu disalah satu warung
makan yang menjadi langganan pekerja pelabuhan. Lagu yang seakan hendak menghiasi
perjalanan seorang anak muda dengan sejuta tekad dikepalanya. Zamri terduduk di
bibir pelabuhan menghadap lautan luas sambil terus tersenyum lebar. Seakan
senyumnyalah yang paling manis didunia. Di dermaga itu, dermaga yang tampak sedikit reot di ujung barat sebuah
pulau kecil yang ada di pelosok pulau Bangka, Provinsi Kep. Bangka Belitong.
“Zamri,
hendak pergi kemana?”
“Ke
Belitong, Bang”
“Hendak
nyambung sekolah kemana?”
“Barangkali
ke Jogja” Senyum lebar
Seorang
awak kapal bertanya, lalu sesaat kemudian tersenyum juga melihat senyuman Zamri
yang kian menyala-nyala sembari memeluk buntilan baju. Besar kepala dan lebar
dadanya ketika menyebut nama Jogja. Itulah
Zamri.
Sementara
disebelahnya, ayah dan ibu tersenyum lebar menyaksikan semangat Zamri. Sampai
tidak lama kemudian, senyum itu kian dihiasi mata yang berkaca-kaca, sesekali
bibir isyaratkan kesedihan dan haru. Zamri mencium tangan keduanya serta kening
dua dayang Melayu kecil. Ada semacam getaran tak menentu di bibir, dada dan
badan Zamri.
“Tarik
jangkaaaar”
Begitulah
kiranya Kept atau kapten kapal memberi komando kepada anak buahnya. Pertanda
kapal siap diberangkatkan. Gelombang
pula ombak kecil pelan namun pasti kian mendorong kapal menuju pulau Belitong.
Ombak itu kadang menyamping, kadang juga mendorong dari belakang. Sungguh,
ombak itu seperti Tut Wuri Handayani.
Kapal
Motor (KM) Bunga Mawar. Sebuah transportai lokal yang menghubungkan Pulau Liat
dengan pulau sekitar seperti Bangka dan Belitong. Pagi itu jangkar diangkat,
kapal itu bertolak meninggalkan pulau Pongok, kept kapal memainkan kemudi menuju pulau Belitong dengan penuh
keraguan. Kala itu musim Tenggara, arah mata angin yang membuat pusing nahkoda
yang mengemudi kapal. Bahkan semua penumpang yang ada didalamnya. Bayangkan
saja, jika kapal cepat seperti Bahari
saja masih bisa diterjang oleh gelombang, apalagi kapal semacam ini yang hanya berukuran panjang sekitar 10
meter lalu lebar dengan kisaran 5 meter saja.
Sebenarnya,
ada beberapa KM lain. Namun kala musim tenggara, masyarakat setempat lebih
memilih Bunga Mawar untuk mengantarkan mereka berjalan menyeberang pulau.
Karena memang Bunga Mawar memiliki ukuran terbesar diantara yang lainnya. Hari
itu, 20 April 2010 ada puluhan manusia didalam Bunga Mawar. Semua dikhawatirkan
dengan adanya gelombang laut yang menerjang. Barangkali berlayar sudah menjadi
kebiasaan bagi Nahkoda dan Crew atau
awak kapal kecil ini, namun tidak bagi sebagian penumpang yang ada didalamnya.
Ketika
itu gelombang kian tinggi, hempasan luan kapal
itu kian mengeluarkan suara khas. Suara perpaduan antara air laut dengan papan.
Gemercik air asin yang kian membanjiri luan Bunga Mawar. Aroma air asin yang
ketika itu dipadukan dengan ayunan gelombang laut membuat beberapa penumpang
menjadi pusing lalu mabuk. Selanjutnya ada yang memuntahkan makanan dengan
segenap isi perut yang lain, ada pula yang membacakan ayat-ayat suci al-quran.
Ada pula yang mengobati rasa maboknya dengan makan sebanyak banyaknya. Ada yang
berpura pura tidur, untuk membohongi keadaan dengan bersandar didinding kabin.
Ada juga yang berpikir jauh seakan dirinya akan segera mati. Dia bersiap siap
mengirimkan kata-kata terakhirnya melalui pesan singkat kepada keluarganya.
Akan
tetapi sungguh tidak terduga ketika ditengah kepanikan tersebut ada yang membersitkan
tawa dengan gembiranya. Seorang pemuda setengah baya, Zamri dengan duduk
dipinggiran kabin sambil memeluk Jerigen oli
yang digunakan untuk mesin kapal, namun sudah habis. Dan juga lelaki setengah
tua dengan topi koboy melayu dan celana selebornya sambil memegang semangkuk
mie rebus ditengah ayunan gelombang.
“Bang, abang harus tau, jatuh dari tangkun bukanlah
satu musibah, namun seakan satu prestasi”
“Betul. Demi burung punai, baju celana jadi kumal
itu lazim”
“Usahlah kumal, robek saja tak mengapa”
Sambung
Zamri dengan semangat. Sesekali mereka tertawa seakan menjadi orang paling
bahagia di dalam Bunga Mawar.
“Sudah
lama, 3 tahun aku tidak mulut punai. Sungguh aku rindu berat akan Padang
Penuduk, Padang Kik Anyan, Padang Yak atot” ratapnya.
Zamri
seakan sedang mengenang sesuatu yang lalu “Itupun
setahun dua kali tak pasti” dengan
mimik wajah sedih.
“Tak apa, Zamri. Hidup itu tidak berhenti di
tangkun” Jawab lelaki setengah tua “Ada dunia luar yang harus dijelajah anak
muda sepertimu”
“Betul, Bang. Terimakasih”
Dengan sedikit terperangah, Zamri tersenyum lagi.
“Sejak ku tau bermimpi itu gratis, aku telah
membuat mimpi saya seindah mungkin”
“Apa mimpimu?”
“Hendak membangunkan orang yang bermimpi terlalu
lama” Jawabnya tanpa dosa “sungguh tidak baik, sebab mimpi itu satu paket
dengan usaha dan doa, bila bermimpi terlalu lama maka sungguh ialah orang yang
paling rugi
Begitulah Zamri, ia seakan sedang bersabda. Sesekali
menganggukkan kepala, sesekali menggelengkan kepala, seakan dia kagum dengan
dirinya sendiri. Andai saja ini disaksikan orang banyak, maka akan banyak pula
orang heran seperti kalian yang membaca.
Dari wajahnya ia tidak mirip dengan orang melayu
pada umumnya. Belakangan ia sering dikatakan bahwa tanah melayu enggan
menganggapnya sebagai bagian dari orang melayu. Ia sering kali dikira orang
Jawa. Entah dilihat dari sisi mana, jangan ditanyakan.
Senyum
dengan bekas luka disekitar bibir dan pipinya menjadi penghias tersendiri.
Bekas luka itu tidak lain dihasilkan dari petualangan dengan alam yang begitu
hebatnya.
“Untuk
menggapai bulan diluar sana orang sudah pakai pesawat terbang (mungkin
maksudnya apollo), tidak lagi dijuluki pakai bambu seperti mitos jamanmu kecil.
Ibumu sering berkata kalau kamu berhenti menangis nanti akan diambilkan bulan
untukmu pakai bambu. Iya kan?”
Nasihat
lelaki setengah tua kepada Zamri kian menjadi-jadi. Dengan tatapan tajam, seraya
terus mengaduk mie rebus didalam mangkuk, ia terus tertawa seperti orang gila. Tapi
dia lelaki melayu, gila sedikit itu sering kali dianggap seni.
“Tak usah segan meninggalkan Tangkun, Pekatik dan
Pulut. Biarkan mereka dirawat yang lain. Ada banyak seniman hutan yang siap
menggilas punai disini. Hijrah bukan hanya kepadang penuduk, bukan hanya ke
padang kik anyan, tapi ada sebuah padang yang luas. Yang menjadi idaman setiap
orang yang punya mimpi. Itulah dunia”
“Betul, Bang. Terimakasih” Zamri mengangguk-anggukkan
dagu. Sepertinya semakin terhipnotis dengan semangat petuah melayu ini
“Belajarlah
diluar, buat teori tentang Tangkun, Pulut dan Pekatik. Untuk melakukan riset,
datanglah lagi kesini. Begiitu,, kan keren. Benar nggak? ahahahahahahahahaha”
Entahlah,
Zamri ini semakin kagum saja rasanya dengan lelaki setengah tua ini. Perlu diketahui:
Tangkun adalah tempat dimana seniman
alam berada. Sebatang pohon rindang yang digunakan untuk menjebak burung.
Dengan bermodalkan seekor burung sejenis (biasanya burung punai) yang digunakan
sebagai pekatik serta pulut yang dipasang di ranting pohon.
Pekatik
adalah burung sejenis –punai misalnya— yang dijadikan pemandu bagi burung liar
lainnya, digunakan untuk menarik perhatian burung lainnya. Barangkali jika
dikehidupan manusia, pekatik ini dididik untuk senantiasa tebar pesona.
Pulut
merupakan benda hitam, dekil dan menjijikkan. Lengket ditangan, namun memang
itu yang dimau supaya burung yang hinggap tidak bisa terbang kembali.
“Iya,
Bang”
“Tak
kan lari kampong kau tinggal, tapi ilmu tak kau dapat bila berpangu tangan,
bila tak kau kejar”
“Betul,
Bang”
“Berhenti bicara banyak tentang dunia jika keluar
pulau saja kau takut. hahahaha”
Sesekali ingin memasukkan mie kedalam mulut, namun
seringkali terhenti, lalu ngobrol, tertawa terbahak-bahak dan gagal lagi
makannya. Begitu seterusnya.
“Orang melihat indahnya batu karang, karena berani
menyelam. Orang melihat indahnya gunung, karena dia berani mendaki. Begitu juga
jika ingin bicara tentang dunia, jangan takut berhijrah. Setidaknya lihatlah
belahan Indonesia yang lain, besok, kelak kau ceritakan sama orang sekampung. Kelak,
bila kau kembali, maka kaulah orang hebat. Pak RT akan susah tutup mulut, Pak
RW akan kering gigi dan gusi, Serta warga akan kemasukan lalat mulutnya. Dan,
abang, akan hamparkan karpet merah panjang untuk kau berjalan, Zamri.
“Kenapa begitu, Bang?” Zamri heran
“Karena kau sudah jadi menteri kehutanan, Zamri.
Paham? ahahahahaha” Tertawa terbahak-bahak.
Sesaat lelaki itu menatap Zamri. Tajam sekaali,
tidak ada senyuman, ia sedang serius. Zamri bersemangat sekali menatapnya, mungkin
tatapan itu lebih maut dari malaikat maut. Lelaki setengah tua itu
persisnya sedang menaruh bara api di dada Zamri.
“Dunia
ini luas, Zam. Tidak terhenti digaris pantai selatan pulau Jawa. Juga tidak
terhenti di perbatasan Borneo. Siapa tau kelak kau boleh pergi Papua Nugini”
“Iya
bang”
“Tapi
ingat, merantau itu adalah titipan kepercayaan. Sebab di era pemerintahan
sekarang, godaan bukan hanya sekedar tangkun, hutan dan laut, tetapi
kemegahan yang mungkin memukau matamu dan membuatmu tercengang, ada pula
makhluk Tuhan yang namanya wanita. Hati-hatilah kau bujang”
“Maksudnya,
Bang?” Bingunglah Zamri mendengar ocehan semi akademis itu.
“Hal terberat yang dilakukan ayah ibumu bukanlah mencari
uang untuk kau kuliah, Zam. Tapi hal terberat ialah menjatuhkan kepercayaan
padamu untuk menjaga keringat mereka. Maka beruntunglah, kau mendapatkan
kepercayaan itu. Diluar sini abang yakin banyak yang memiliki uang untuk
sekedar biaya kuliah, tapi tidak berani memberikan kepercayaan kepada anak
mereka. Selalu bersyukurlah”
Dengan
senyuman mengembang khas seorang lelaki yang sudah punya anak. Ia terus
memberikan semacam petuah agar supaya Zamri bersyukur. Barangkali ia sedang
membayangkan seakan Zamri adalah anaknya sendiri.
“Hidup itu jangan takut mengambil resiko, jika takut
mending memilih mati saja. Kadang kita itu terlalu banyak menyerah pada nasib,
ingatlah nasib itu belum final. Belum sampai kepada takdir. Jadi, jangan
biarkan mimpimu bersemayam diatas tangkun, nanti jika sudah berhasil buat
tangkun elektronik kan bisa”
Wajahnya
berseri dan sesekali nada omongannya berirama hentakan gelombang dua satu dua,
nampaknya lelaki tua ini semakin semangat untuk memberikan wejangan pada Zamri.
Dengan
singkatnya, Zamri menjawab layaknya dosen membalas pesan singkat dari
mahasiswanya. Menjadi manusia yang memegang erat norma-norma bahasa Indonesia. Singkat
Padat Jelas
“Iya
bang”
“Abang
hanya berpesan satu hal, Zam. Jangan biarkan mendung rantau
menggilasmu habis dengan dinginnya hujan dan panasnya kemarau. Cari lengung
pelangi disetiap sudut kota dimana kau berpijak. Jika tidak, perjalananmu hanya
menguras tenaga”
Dan kini, dari raut wajahnya, Zamri tidak
segembira tadi lagi. Perasaan pusing, mual serta ngantuk semakin menyerang.
Jerigen yang ia peluk sungguh begitu membantu, nampaknya seperti memeluk guling
diatas kasur yang diletakkan diatas ayunan. Dongeng indah dari lelaki tua itu
seperti hipnotis yang tidak di sengaja. Atau jika tidak, Zamri bagaikan sedang tidur
didalam ayunan diatas tangkun sambil menunggu punai hinggap dipulutnya. Lalu disetelnya
radio dengan pelan sekali didekat telinganya. Seakan ia sedang mendengarkan lagu dangdut,
sebut saja lagunya Imam S.
Arifin—Senandung Rembulan. Zamri mengantuk selanjutnya tertidur
Begitu lama ingin aku
curahkan
Gelora cinta yang lama
bersemayam
Tetapi aku tak mungkin
mengatakan
Biarlah cinta hanya
sebatas angan
Aku bukanlah rembulan
seindah yang kau bayangkan
Tetapi redup dan tiada
bersinar
........
Ini adalah bukti bahwa Zamri
mencintai Indonesia tanpa batas. Ditengah ombak yang menderu saja dia masih
membawa dangdut kedalam mimpinya. Teman sebayanya kini sudah beralih
kepada jenis musik yang kian berbeda, musik tanpa seruling, yang pasti musik
tanpa Gendang dan Dut.
Segaris
senyum kini terukir dari bibir lelaki setengah tua itu. Melihat Zamri yang
tidur seenak jidatnya, lalu merasa menjadi manusia paling nasionalis lewat
mimpinya yang menyanyikan lagu asli Indonesia (dangdut). Perfect sekali hidupmu anak muda.
Tanpa
disadari semangkuk mie yang dimasak setengah jam yang lalu kini mulai melayu,
dingin, mengembang serta membesar. Sementara yang lain masih disibukkan dengan
membaca berbagai ayat suci al-quran, sibuk mencari celah menghindari rasa
pusing bahkan ada yang belum selesai mengeluarkan isi perutnya melalui mulut. Semua
dikarenakan ayunan ombak yang tidak lazim lagi.
Ditengah lautan kekhwatiran,
dalamnya untaian surah yasin oleh segenap bibir didalam Bunga Mawar, mimpi Zamri
tidak terhalang gelombang. Kicauan burung masih terngiang ditelinganya, rindang
pohon lada nan hijau masih terlukis indah dimatanya serta nasihat ibu dan ayah
yang masih membekas ditelinganya.
Sejauh
manapun kaki dilangkahkan, menoleh kebelakang adalah kewajiban. Bukan untuk
menjadi penghalang pandangan kedepan, hanya untuk mengingat jalan pulang.