Friday 22 January 2016

Rembulan Cemburu

Kala ku sebut namamu, Rembulan cemburu


Gelugut kedinginan, gerah kepanasan. Malam yang tak pernah dilewati purnamanya. Cakrawala Jawa dimata bujang melayu memang luas, seluas kali progo, atau kali code? Ah apalah itu. Malam ini purnama kalah terang dengan jiwa Zamri.


Setelah perhelatan hebat disiang hari, Zamri tak habis pikir dengan apa yang dia katakan tadi. Beribu bayangan didalam benaknya. Zamri merenungi  bagaimana seandainya kegagahannya siang itu disaksikan ayahnya. Lalu, kebanggan Zamri pula tumbuh begitu hebat tatkala ia menyaksikan Ismi dari kejauhan, walaupun Ismi tak meliriknya sama sekali. Usahlah terkesimak, melirik saja Ismi dipastikan tidak. Namun inilah Zamri, manusia yang akan hidup sebelum mati. Zamri merasa dirinyalah yang terhebat kala itu. Tak ada yang lain selain dia.


Begitu gagah Zamri malam itu. Dengan sebilah kertas ditangannya seperti malam-malam biasanya, serta seranting pena dan sejuta inspirasi dikepalanya. Zamri siap melawan dinginnya angin malam diatas genteng peraduannya. Bintang hanya nampak sedikit saja, namun bulan sedang purnama. Zamri merayu bulan agar tertelap dimata Ismi. Sesekali bulan berkedip, lalu Zamri balas. Zamri seakan menganggap rembulan sedang mengajaknya bercanda.


Hidup adalah malam

Sejak ku tau rembulan bersemayam dimatamu

Semenjak bintang bersemai di senyummu

Syairku gelap, gurindamku mati,

Darah melayuku tak bernadi

Jatuh diatas namamu, kekasih

Siti Nurismi.

Jogja, Mei 2011


Sebuah puisi cinta untuk Ismi dari Zamri seakan membangkitkan malam yang sedang terlelap. Zamri membesarkan nama Ismi lewat puisinya. Zamri seakan memperkenalkan kepada malam bahwa kasihnya bernama Ismi. Seakan memberitahu bulan dan bintang bahwa Ismi, dan hanya Ismi tak ada Ismi seri II, Ismi Part II dan seterusnya. Hanya satu itu. Siti Nurismi. Singkatnya Zamri sedang jatuh cinta setengah mati sama Ismi.Karena mengagung-agungkan nama Siti Nurismi, rembulan seakan unjuk gigi. Protes dengan semua tingkau Zamri. Zamri merasa dirnya sedang berada di pengadilan. Malam semakin diasanya semakin gelap. Sungguh Zamri sedikit khawati. Panjang lebar Zamri berdiskusi dengan rembulan

―Zamri, apa kelebihan Ismi?‖ Tanya rembulan

―Yang mulia sang Rembulan, banyak sekali kelebihannya‖

―Uraikan padaku‖

―Pertama ku lihat, Ismi tak pandai berdandan, yang mulia‖


Sesekali Zamri membenarkan caranya duduk dibawah hadapan sang

rembulan.


―Lalu apalagi?‖

―Tutur katanya lemah lembut, yang mulia?‖

―Bagaimana caranya kau bisa jatuh cinta pada wanita yang tak bisa

berdanadan, wahai Zamri‖

―Usah kau tanyakan, itu kelebihanku‖

―Sementara aku senantiasa berdandan, menyambutmu ditengah malam.

Memberikan perintah pada bintang, kala aku terlelap‖

―Jika begitu, Zamri mohon undur diri, yang mulia‖

―Tunggu, Zamri. Lantas bagaimana dengan aku yang selalu kau puja?‖

―Untuk kali ini saja, kau kalah rasanya dengan Ismi‖


Sang bulan terdiam, Zamri tersenyum melihat rembulan seakan kalah
dengan Ismi dimatanya. Sesekali rembulan masuk kedalam persembunyiannya
dibalik awan hitam.


Lama sekali Zamri menantikan kehadiran rembulan lagi, namun tak kunjung datang. Entah kegilaan apa yang sedang merasuk rembulan, yang pasti ingin sekali rasanya Zamri meminta maaf padanya sebab telah membanding-bandingkannya dengan Ismi. Zamri tak dapat tidur memikirkannya. bagimana dengan besok dan seterusnya apabila malam tak lagi menghadirkan rembulan untuk dipuja. Maka matilah sebagian inspirasi penyair semacamnya. Zamri gelisah bukan main.


Zamri turun menuju peradaban dunia nyata. Tepat pukul dua tengah malam. Sesekali Zamri membuka pintu, barangkali ada rembulan mengintipnya mesra. Namun tak ada. Sepertinya rembulan murka. Pelan namun sangat jelaa terdengar suara alam seakan marah. Malam mengirimkan gemuruh. Usahlah rembulan, bintangpun kini lenyap, yang ada hanya hujan ditengah malam itu. Rembulan cemburu, malam tak bersahabat. Zamri terlelap dengan sejuta senyuman mengenang nama Siti Nurismi.

Thursday 21 January 2016

Sebuah Persimpangan


Ismi, aku tertawan rindu padamu setiap waktu. Apabila mendung dan hujan, ku tau kau lah mentari. Sebab meski sembunyi, kau ada.

Zamri pergi meninggalkan Ismi, akan tetapi berlalunya waktu, Ismi mulai merasa terbiasa. Ismi memahami jika ini hanya perpisahan secara jarak dan masa, yang mana hanya  ahli matematika dan fisika yang pandai menghitungnya. Sedang Ismi dan Zamri adalah sarjana bahasa, sehingga tidak ada kekhawatiran dalam jarak dan masa.

Ismi, ketahuilah; Zamri bersabda (lagi), begini;
Aku bersyukur bisa meninggalkanmu.
Aku bersyukur bisa jauh darimu.
Aku bersyukur karena tidak bisa menyaksikan senyummu.
Aku bersyukur karena tidak mendengar tawamu.
Aku bersyukur tidak disisimu setiap waktu, sebab;

         Rindu ini tidak akan membunuh, rindu ini akan semakin hidup, tumbuh dan berakar. Tetapi dengan berpisah, kita akan paham kemana larinya ketika kita sedang rindu. Kadang ketika jatuh cinta bibir terlalu terburu-buru mengungkapkan, lidah senantiasa selalu menggoreskan. Sesungguhnya tanpa lidah dan pena cinta itu lebih suci. Percayalah do’a tidak akan kehilangan tuah dimata Allah. Jalan kita sudah lurus, hanya saja masih panjang.

Ismi, aku hanya berharap suatu saat bisa mengungkapkan “Apabila itu tentangmu, aku bisa mendengar yang tak kau ucapkan, mengerti yang tak kau jelaskan”


—Zamri Haidir—

Ayah

            
Kau papah daku turun dari puncak bukit
Menapaki tanah kuning, katanya surga para petani
Kulempar capingku ke hutan belantara
Usah kau ambil lagi, ayah
Usah wariskan paculmu
Usah wariskan capingmu
Cukup bagiku kegagahanmu
            
Ayah..
Daku pergi, kian menjauh darimu
Kadang ku rindu bau keringatmu
Kadang ku rindu derap langkahmu
Bawa daku kebukit itu,
tempat pengasingan kau pula aku
Bukit ritang, tanah melayu


Tanah Jawa,    Oktober 2010

Pigura