Wednesday 6 April 2016

Aku Hanya Sebilah Cermin Retak

Thailand, April 2016: Bahagialah engkau sekiranya yang mengetahui letak kebahagiaanmu sendiri dan tau jalan menujunya. Ada banyak orang yang tidak tau letak kebahagiaannya. Juga ada orang yang untuk menuju jalan bahagia saja mereka seakan meraba. Banyak pula yang mengetahui letak kebahagiaannya namun tidak tau jalan menuju kesana. Singkatnya, tidak semua orang bisa bahagia dengan cara yang sama. Dan juga tidak semua cara bisa membahagiakan. 
Hanya Tuhan dan sudut kamar yang tau itu. Sebut saja namanya Liye, lebih tepatnya Keliyengan. Liye adalah seorang yang humanis, kalau sedang bersama kekasihnya. Seorang yang humoris, kalau sedang bersama kekasihnya. Serta seorang yang idealis, jikalau sedang bersama kekasihnya. Betapa beruntung kekasihnya mendapatkan Liye. Seribu tangkai bunga tak akan seimbang dengan kasihnya, akan tetapi sejuta kata mutiara tak kan bisa menjadikan kekasihnya luluh. Ternyata, kekasihnya lebih idealis dari dirinya sendiri. Banyak cerita tentangnya, tentang dia dan mereka dan hampir semuanya adalah cerita bahagia. Setelah di lansir, konon itu acalah cerita tua. 

Hari ini, Liye bercerita padaku dengan mata berkaca-kaca. Matanya sembab sebab baru bangun tidur, aromanya asem sebab semalaman tanpa kipas angin dan kepanasan. Namun ku yakin dirinya sedang berusaha tersenyum. Itu nampak jelas dari gurat wajahnya, garis di bibir yang melengkung ke atas. Meskipun semua orang yang melihatnya dipastikan tahu jika itu adalah fatamorgana.

"Dimana aku harus menyewa kebahagiaan?" Liye bertanya padaku dengan senyuman palsu
"Apa yang sedang kau bicarakan, kawan?" Tanyaku berpura bingung
"Aku sudah tak bisa memberikan kebahagiaan untuknya, untuk kekasihku" Pangkasnya mematikan kata-kataku yang hendak ku ucapkan.

Setelah sekian lama kami berteman, ku melihat ada rona kejujuran pada dirinya dalam bercerita. Ku paksa ia bercerita didepan wajahku dan berusaha untuk tidak menyakitinya. 

"Dahulu, ketika kami bertemu, ku yakin cerita Habibie-Ainun kalah romantisnya. Bahkan aku ingin menjadikannya lebih dari sekedar kekasih. Aku hendak menjadikannya sebagai sahabat, saudara bahkan teman biasa. Semua supaya tak ada jarak diantara kami" ceritanya padaku sambil sesekali membenahi senyuman

"Lalu?"

"Aku tidak berharap lebih. Bahkan aku bersedia menjadi silent atau secret-admire nya bertahun-tahun hanya karena takut semuanya berubah tatkala ia mengetahui apa yang ada dalam tubuhku"

"Apa yang ada dalam tubuhmu?"

"Hatiku dan semua organ yang bersatu. Sebab aku paham bila di hati ada rasa, maka akan merambat ke mata (pandangan), bibir (ucapan), kaki (langkah), tangan (belaian)" Sungguh ucapannya begittu membingungkanku

Sebelum ku melanjutkan dan menjawab, ia berkata

"Tidak usah bingung, itu hanya introduction. Yang ku cari adalah dimana aku bisa menyewa kebahagiaan?"

"Untuk apa? Kebahagiaan tidak bisa kau sewa seenaknya saja"

"Jika begitu akan ku beli. Aku ingin menelan semua toko kebahagiaan. Aku ingin membaca semua tutorial kebahagiaan. Aku hendak menjadi apa saja asalkan bisa membuatnya bahagia" Liye berkata dengan mata berkaca-kaca

"Apakah kau mimpi buruk semalam? ku lihat dalam wajahmu tampak sembab"

"Tidak, aku selalu mimpi indah" Jawab Liye meragukanku

"Jatuh cinta boleh saja, namun jangan teroyong-oyong. Evaluasi kembali rasamu padanya. Jangan hiraukan rasanya padamu. Sebab semua bukan tentang pertanyaan "kamu dimana?" akan tetapi pernyataan "aku disini". Tak perlu menyewa kebahagiaan untuknya. Ia punya jalan sendiri dalam menggapai kebahagiaannya. Bahkan kau harus tau bahwa asupan kebahagiaannya tidak hanya hadir darimu, namun banyak orang diluar sana. Tapi percayalah bila saja rasanya sama padamu, ia tau bahwa disisi lain ada seseorang semacammu yang menanti kabar darinya. Dan itu tidak akan membuatnya terganggu. Sabar dan bertahanlah. Pojok kamarmu kan berasa empuk bila saja kau tau cara menikmatinya"

Liye, andaikan aku bisa menghapus linangan itu (sambil mengarah ke matanya), aku yang akan menghapusnya. Namun apalah daya, aku hanya Sebilah Cermin yang retak. 

Sebilah Cermin Retak, Ditulis oleh Yudhi Hyd


Padang Keladi: Aku Rindu, Hanya Kadang Tidak Kusadari

Padang Keladi 2008
Suasana Hutan Daerah Pantai Batu Tambun
(Sekarang sudah menjadi kawasan wisata)
Thailand, April 2016. Barangkali aku harus bersujud meminta maaf padanya. Acap kali yang ku sebut dalam benak hanyalah satu kota semi metropolitan, sementara gelap dari bayangan kampung halaman sendiri. Padang Keladi.

Tidak banyak yang dapat dinikmati oleh orang-orang khususnya yang terbiasa hidup di kota, Padang Keladi hanya menyediakan dua lorong perumahan yang tidak lebih dari 50 rumah. Tidak ada gedung menjulang, satu-satunya bangunan tertinggi hanyalah tower (pusat) telkom yang menaungi satu pulau, itupun karena di atas bukit. Tidak ada pusat keramaian, sebab malam hanya pelita minyak tanah yang menerangi penduduknya di setiap rumah. Gaya muda-mudinya pun tidak terlihat seperti sewajarnya, banyak dari mereka mengalami penuaan wajah dini, pembungkukan dini bahkan pernikahan dini. Jelas, beban kehidupan menuntut mereka untuk bekerja siang dan malam, selain itu apabila tidak bekerja mereka akan kebingungan hendak berbuat apa. Menduduki bangku tongkrongan dekat pojok dusun yang tidak jauh dari kuburan adalah sebuah hiburan di sore hari. Mereka dapat menyaksikan gumpalan awan, melihat serunai melengkung indah, melihat bukit menelan matahari. Lalu pergi, pulang, hilang, gelap dan tak ada. 

Begitulah kiranya tanah kelahiranku yang sekarang entah bagaimana kabarnya. Masihkah aku diakui sebagai bahagian darinya? Atau aku telah di usir secara terstruktur darinya? Yang pasti aku tidak berada disisinya saat ini. Itulah yang menjadi biang kerinduan di dalam dada ini. Padang Keladi, bagaimana mungkin aku lupa, sementara Ayah Bundaku hidup di atas badan (tanah) mu. 

Apakah ada kisah seseorang yang tidak mengetahui tempat lahirnya? Jika ada barangkali ia orang termalang sejagad raya. Bercerita tanah kelahiran sebab bercerita tentang ibu, sebab bercerita tentang ibu berarti bercerita pulang. Sedangkan bercerita tantang pulang berarti bercerita kampung halaman. Telah panjang sekali renungan terhadap tanah kelahiran. 

"Bang, apa kabar? lama tidak mendengar suaramu"

Nada lembut yang dulu selalu ku dengar setiap hari, kini seakan mencari ku. Betapa aku termasuk ke dalam golongan orang-orang yang tidak tau diri, seharusnya aku yang bertanya bagaimana kabarnya, bukan sebaliknya. Barangkali benar, berapapun usiamu, di hadapan ibumu kau tetap menjadi putra/ putri kecilnya dahulu. Sebab perbedaan bukanlah di fisik, namun dihati. Sedangkah di hati tidak terdapat perbedaan kasih sayang oleh ibu terhadap anaknya. Sedikitpun tidak. Dan sejak ku mendengar suara ibu hari ini (4 April 2016), semua bayangan tentang kampung halaman seakan menjadi nyata di depan mata. Bisa merasakan indahnya masakannya. Bisa membayangkan bermain dengan sahabat kecil walaupun mereka kini entah dimana. Bisa membayangkan pasir berdebu di setiap langkah. Bisa membayangkan teriakan ibu dikala melarikan diri dari tidur siang. Bisa membayangkan hutan, laut, gunung dan alam Padang Keladi yang bersahaja, aman, damai, tentram dan merindukan. 
Dan sejak ini, aku baru menyadari bahwa aku merindukannya, hanya terkadang tidak ku sadari (hyd)

Pigura