Wednesday 6 April 2016

Padang Keladi: Aku Rindu, Hanya Kadang Tidak Kusadari

Padang Keladi 2008
Suasana Hutan Daerah Pantai Batu Tambun
(Sekarang sudah menjadi kawasan wisata)
Thailand, April 2016. Barangkali aku harus bersujud meminta maaf padanya. Acap kali yang ku sebut dalam benak hanyalah satu kota semi metropolitan, sementara gelap dari bayangan kampung halaman sendiri. Padang Keladi.

Tidak banyak yang dapat dinikmati oleh orang-orang khususnya yang terbiasa hidup di kota, Padang Keladi hanya menyediakan dua lorong perumahan yang tidak lebih dari 50 rumah. Tidak ada gedung menjulang, satu-satunya bangunan tertinggi hanyalah tower (pusat) telkom yang menaungi satu pulau, itupun karena di atas bukit. Tidak ada pusat keramaian, sebab malam hanya pelita minyak tanah yang menerangi penduduknya di setiap rumah. Gaya muda-mudinya pun tidak terlihat seperti sewajarnya, banyak dari mereka mengalami penuaan wajah dini, pembungkukan dini bahkan pernikahan dini. Jelas, beban kehidupan menuntut mereka untuk bekerja siang dan malam, selain itu apabila tidak bekerja mereka akan kebingungan hendak berbuat apa. Menduduki bangku tongkrongan dekat pojok dusun yang tidak jauh dari kuburan adalah sebuah hiburan di sore hari. Mereka dapat menyaksikan gumpalan awan, melihat serunai melengkung indah, melihat bukit menelan matahari. Lalu pergi, pulang, hilang, gelap dan tak ada. 

Begitulah kiranya tanah kelahiranku yang sekarang entah bagaimana kabarnya. Masihkah aku diakui sebagai bahagian darinya? Atau aku telah di usir secara terstruktur darinya? Yang pasti aku tidak berada disisinya saat ini. Itulah yang menjadi biang kerinduan di dalam dada ini. Padang Keladi, bagaimana mungkin aku lupa, sementara Ayah Bundaku hidup di atas badan (tanah) mu. 

Apakah ada kisah seseorang yang tidak mengetahui tempat lahirnya? Jika ada barangkali ia orang termalang sejagad raya. Bercerita tanah kelahiran sebab bercerita tentang ibu, sebab bercerita tentang ibu berarti bercerita pulang. Sedangkan bercerita tantang pulang berarti bercerita kampung halaman. Telah panjang sekali renungan terhadap tanah kelahiran. 

"Bang, apa kabar? lama tidak mendengar suaramu"

Nada lembut yang dulu selalu ku dengar setiap hari, kini seakan mencari ku. Betapa aku termasuk ke dalam golongan orang-orang yang tidak tau diri, seharusnya aku yang bertanya bagaimana kabarnya, bukan sebaliknya. Barangkali benar, berapapun usiamu, di hadapan ibumu kau tetap menjadi putra/ putri kecilnya dahulu. Sebab perbedaan bukanlah di fisik, namun dihati. Sedangkah di hati tidak terdapat perbedaan kasih sayang oleh ibu terhadap anaknya. Sedikitpun tidak. Dan sejak ku mendengar suara ibu hari ini (4 April 2016), semua bayangan tentang kampung halaman seakan menjadi nyata di depan mata. Bisa merasakan indahnya masakannya. Bisa membayangkan bermain dengan sahabat kecil walaupun mereka kini entah dimana. Bisa membayangkan pasir berdebu di setiap langkah. Bisa membayangkan teriakan ibu dikala melarikan diri dari tidur siang. Bisa membayangkan hutan, laut, gunung dan alam Padang Keladi yang bersahaja, aman, damai, tentram dan merindukan. 
Dan sejak ini, aku baru menyadari bahwa aku merindukannya, hanya terkadang tidak ku sadari (hyd)

No comments:

Post a Comment

Pigura