Cerpen ini menang dalam lomba penulisan cerpen dan sudah dibukukan dalam Kumpulan Cerpen yang diterbitkan oleh Pena Indis
ISBN: 798-602-429-047-7
MELUKIS
PELANGI
Semenjak hari itu, aku sadar bahwa pelangi tak
selamanya muncul setelah hujan. Ia pun tumbuh melengkung serta mengakar di
senyuman ayah dan ibu dalam musim kemarau sekalipun.
==============================================
“Hendak kemana kau
esok?” Seoranag ibu bertanya pada Syahrul
“Melukis pelangi”
Jawabnya sembari berlari meninggalkan senyum untuk ibu
Mentari
dikala sore itu sudah terbenam, mesin diesel yang menerangi kampung
Padang Keladi sudah dihidupkan oleh petugasnya. Seorang anak laki-laki
berperawakan kumal bernama Syahrul berlari meninggalkan ibu untuk menuju Masjid
dan selanjutnya ke rumah Pak Cik Seman untuk mengaji. Seperti anak-anak yang
lainnya, dengan memakai songkok hitam berkain sarung ia berlari dan
sesekali sarungnya melorot karena kebesaran.
Rumah
Pak Cik Seman tidak jauh dari rumahnya. Jaraknya hanya berselang satu rumah.
Syahrul dan kelompok enam sekawan beraturan masuk dan menyalami Pak Cik sebelum
mengaji. Lalu meletakkan Al-Qur’an diatas bantal yang sudah disiapkan oleh Pak
Cik sebelum sembahyang maghrib. Saat itu, Syahrul sebagai ketua kelas menempati
barisan terdepan. Tidak ada bedanya seperti sekolah, mereka berenam sepakat
menempatkan Syahrul sebagai ketua dalam tim mengaji. Satu persatu mengaji,
dengan sabar dan telaten Pak Cik mengajari mereka.
“Rul,
mengapa suaramu keras sekali tadi” Tanya Banu memasang muka heran.
“Supaya
kedengaran ibu, biar beliau senang mendengar suaraku yang mengaji dengan
semangat, inshaAllah besok aku dibelikan sepeda baru”
“Oh,
patutlah kalau begitu” Jawab kelima temannya dengan muka datar.
Mereka
berjalan sambil menyingsingkan sarung masing-masing. Tidak butuh waktu lama
untuk ia sampai kerumah karena memang tidak terlalu jauh. Setiba Syahrul di
rumah, ibu menyambut dengan senyum, pun jua sama dengan ayahnya.
“Nak,
apa cita-citamu” Tanya ayah dengan nada bergetar
“Aku
hanya ingin menjadi guru ngaji seperti pak cik Seman, Yah”
“Selain
itu?” Imbuh ibu
“Aku
hendak keliling dunia”
“lalu?”
“Aku
hendak melukis pelangi di bibir ayah dan ibu” Ayah dan ibu Syahrul hanya
tertawa saling menatap satu dengan yang lain.
Sebagai
anak tunggal kala itu dia memang sering dimanjakan oleh ayah dan ibunya.
Sepulang sekolah dia selalu diajak bersepeda keliling dusun oleh ayah. Terlebih
ketika ia mendapat nilai 100, ayahnya akan mengajak ia keliling lagi pada sore
hari.
Suatu
sore, musim hujan di akhir tahun 1998, ayah dan ibunya mengajak Syahrul duduk bersantai
di bangku depan rumah. Sesekali ayahnya mengajak bermain dengan telapak tangan.
Entah apa maksud dari permainan itu. Namun tiba-tiba,
“Tangan
ayah kasar, aku malas digendong ayah” Syahrul beralih ke ibunya
“Tidak
boleh gitu, ayah dan ibu sama saja, sama-sama sayang kamu”
“Tapi
ayah beda” Bantahnya
“Ya
sudah, besok tidak usah bermain sepeda lagi” Karena ancaman itu membuatnya
sedikit terpaksa meminta maaf kepada sang ayah. Lalu ayah memeluknya dengan
kehangatan yang sama.
“Kelak,
anak ayah jangan menjadi buruh seperti ayah. Jadilah orang besar, supaya
tangannya tidak kasar seperti ayah. Cukup ayah yang begini” Lagi, untuk
kesekian kalinya Syahrul mendengar sang ayah berucap dengan bibir bergetar
sambil memeluknya erat. Dia menatap dan memeluk ayahnya dengan kuat pula.
Sedikit merasa bersalah dengan ucapan sebelumnya. Kehangatan di musim hujan
muncul diantara keluarga kecil itu. Sesekali batang serunai melambai terkena
angin. Burung pentis ikut menyaksikan adegan itu sengan siulan melejit.
Angin
sore itu meniup mereka begitu semilir. Syahrul bingung membedakan gelap di
langit. Apakah gelap karena hendak turun hujan, entah pertanda sudah malam atau
mungkin kelopak matanya yang mendung karena mendengar ucapan sang ayah?
“Bila
kau hendak menjadi guru, itu cita-cita mulia”
“Tapi,
aku juga hendak berjalan keliling dunia, Yah”
“Tidak
masalah. Berkeliling dunia juga akan membuatmu menjadi guru yang luas akan
pengetahuan. Nanti kau bisa ajarkan kepada murid-muridmu, kepada adikmu nanti,
juga kepada ayah dan ibu” Ibunya menjawab sambil tersenyum ke sang ayah
Dia
hanya membalas semua dengan tersenyum. Syahrul merasakan kembali tangan kasar sang
ayah mengusap keningnya dengan lembut. Sekedar menepis gerimis yang mulai
membasahi bumi. Menutup peraduan senja yang mereka tatap bersama.
***
“Ibu sedang apa?”
“Sedang mengajari adik-adik
mengerjakan PR”
Gerimis
tanah Songkhla, Thailand yang berubah menjadi hujan ringan membuyarkan lamunan
Syahrul 18 Tahun silam. Pelangi itu sudah ia ukir sejak dirinya dinobatkan
menjadi sarjana pertama di Padang Keladi.Lalu pelangi di bibir ayah dan ibunya
bertambah lebar ketika mendapat kabar ia menjadi pengajar muda yang mewakili
kampusnya di Thailand. Lengkap sudah impian Syahrul dan harapan ayah dan
ibunya.
Namun,
kali ini tidak ada tangan kasar ayah yang menghapus hujan di keningnya. Tetapi
bagi Syahrul, pelangi itu ibarat bulan, dimana saja dan kapan saja ia selalu
ada, hanya seringkali tidak tampak. Begitu pula dengan pelangi di bibir ayah
dan ibu, ia pastikan pelangi disana sedang menyala merekah, meskipun ia tak
mampu menikmati indahnya. Namun setidaknya Syahrul telah melukis pelangi itu
menjadi nyata.
Nama : Haiyudi
Facebook : Yudhi Hyd
WA : +66-62-080-2292
Karya :
1. Persimpangan
(Novel/ ISBN: 978-602-336-216-5/ 2016)
2. Cha
Yen di Negeri Gajah Putih (Kum-Cer/ ISBN: 978-602-71191-9-2/ 2016)
3. Beberapa
Cerpen dan Puisi di Media Cetak
4. Padang
Keladi (Novel/ Proses)
Penulis
Haiyudi, lahir di Padang Keladi, Sebuah
dusun terdalam di Kabupaten Bangka Selatan, Provinsi Kep. Bangka Belitung.
Pendidikan Dasar di SD N 233 Lepar Pongok, kemudian melanjutkan di SMP N 1
Lepar Pongok, lalu berhijrah ke Pulau Belitong untuk melanjutkan sekolah di SMK
N 1 Tanjungpandan, Belitong. Selanjutnya mengadu nasib menjadi pedagang asongan
di Malioboro, Jogjakarta. Sembari berjualan, ia juga merupakan mahasiswa
Pendidikan Bahasa Inggris pada tahun 2010-2014. Selebihnya ia adalah lelaki
sederhana, bahkan sederhana sekali. Hobinya adalah bermimpi dan membangun
mimpi.
No comments:
Post a Comment