Wednesday 22 November 2017

MELUKIS PELANGI

Cerpen ini menang dalam lomba penulisan cerpen dan sudah dibukukan dalam Kumpulan Cerpen yang diterbitkan oleh Pena Indis 
ISBN: 798-602-429-047-7

MELUKIS PELANGI

Semenjak hari itu, aku sadar bahwa pelangi tak selamanya muncul setelah hujan. Ia pun tumbuh melengkung serta mengakar di senyuman ayah dan ibu dalam musim kemarau sekalipun.
==============================================
“Hendak kemana kau esok?” Seoranag ibu bertanya pada Syahrul 
“Melukis pelangi” Jawabnya sembari berlari meninggalkan senyum untuk ibu
Mentari dikala sore itu sudah terbenam, mesin diesel yang menerangi kampung Padang Keladi sudah dihidupkan oleh petugasnya. Seorang anak laki-laki berperawakan kumal bernama Syahrul berlari meninggalkan ibu untuk menuju Masjid dan selanjutnya ke rumah Pak Cik Seman untuk mengaji. Seperti anak-anak yang lainnya, dengan memakai songkok hitam berkain sarung ia berlari dan sesekali sarungnya melorot karena kebesaran.
Rumah Pak Cik Seman tidak jauh dari rumahnya. Jaraknya hanya berselang satu rumah. Syahrul dan kelompok enam sekawan beraturan masuk dan menyalami Pak Cik sebelum mengaji. Lalu meletakkan Al-Qur’an diatas bantal yang sudah disiapkan oleh Pak Cik sebelum sembahyang maghrib. Saat itu, Syahrul sebagai ketua kelas menempati barisan terdepan. Tidak ada bedanya seperti sekolah, mereka berenam sepakat menempatkan Syahrul sebagai ketua dalam tim mengaji. Satu persatu mengaji, dengan sabar dan telaten Pak Cik mengajari mereka.
“Rul, mengapa suaramu keras sekali tadi” Tanya Banu memasang muka heran.
“Supaya kedengaran ibu, biar beliau senang mendengar suaraku yang mengaji dengan semangat, inshaAllah besok aku dibelikan sepeda baru”
“Oh, patutlah kalau begitu” Jawab kelima temannya dengan muka datar.
Mereka berjalan sambil menyingsingkan sarung masing-masing. Tidak butuh waktu lama untuk ia sampai kerumah karena memang tidak terlalu jauh. Setiba Syahrul di rumah, ibu menyambut dengan senyum, pun jua sama dengan ayahnya.
“Nak, apa cita-citamu” Tanya ayah dengan nada bergetar
“Aku hanya ingin menjadi guru ngaji seperti pak cik Seman, Yah”
“Selain itu?” Imbuh ibu
“Aku hendak keliling dunia”
“lalu?”
“Aku hendak melukis pelangi di bibir ayah dan ibu” Ayah dan ibu Syahrul hanya tertawa saling menatap satu dengan yang lain.
Sebagai anak tunggal kala itu dia memang sering dimanjakan oleh ayah dan ibunya. Sepulang sekolah dia selalu diajak bersepeda keliling dusun oleh ayah. Terlebih ketika ia mendapat nilai 100, ayahnya akan mengajak ia keliling lagi pada sore hari.
Suatu sore, musim hujan di akhir tahun 1998, ayah dan ibunya mengajak Syahrul duduk bersantai di bangku depan rumah. Sesekali ayahnya mengajak bermain dengan telapak tangan. Entah apa maksud dari permainan itu. Namun tiba-tiba,
“Tangan ayah kasar, aku malas digendong ayah” Syahrul beralih ke ibunya
“Tidak boleh gitu, ayah dan ibu sama saja, sama-sama sayang kamu”
“Tapi ayah beda” Bantahnya
“Ya sudah, besok tidak usah bermain sepeda lagi” Karena ancaman itu membuatnya sedikit terpaksa meminta maaf kepada sang ayah. Lalu ayah memeluknya dengan kehangatan yang sama.
“Kelak, anak ayah jangan menjadi buruh seperti ayah. Jadilah orang besar, supaya tangannya tidak kasar seperti ayah. Cukup ayah yang begini” Lagi, untuk kesekian kalinya Syahrul mendengar sang ayah berucap dengan bibir bergetar sambil memeluknya erat. Dia menatap dan memeluk ayahnya dengan kuat pula. Sedikit merasa bersalah dengan ucapan sebelumnya. Kehangatan di musim hujan muncul diantara keluarga kecil itu. Sesekali batang serunai melambai terkena angin. Burung pentis ikut menyaksikan adegan itu sengan siulan melejit.
Angin sore itu meniup mereka begitu semilir. Syahrul bingung membedakan gelap di langit. Apakah gelap karena hendak turun hujan, entah pertanda sudah malam atau mungkin kelopak matanya yang mendung karena mendengar ucapan sang ayah?
“Bila kau hendak menjadi guru, itu cita-cita mulia”
“Tapi, aku juga hendak berjalan keliling dunia, Yah”
“Tidak masalah. Berkeliling dunia juga akan membuatmu menjadi guru yang luas akan pengetahuan. Nanti kau bisa ajarkan kepada murid-muridmu, kepada adikmu nanti, juga kepada ayah dan ibu” Ibunya menjawab sambil tersenyum ke sang ayah
Dia hanya membalas semua dengan tersenyum. Syahrul merasakan kembali tangan kasar sang ayah mengusap keningnya dengan lembut. Sekedar menepis gerimis yang mulai membasahi bumi. Menutup peraduan senja yang mereka tatap bersama.
***
            “Ibu sedang apa?”
            “Sedang mengajari adik-adik mengerjakan PR”
Gerimis tanah Songkhla, Thailand yang berubah menjadi hujan ringan membuyarkan lamunan Syahrul 18 Tahun silam. Pelangi itu sudah ia ukir sejak dirinya dinobatkan menjadi sarjana pertama di Padang Keladi.Lalu pelangi di bibir ayah dan ibunya bertambah lebar ketika mendapat kabar ia menjadi pengajar muda yang mewakili kampusnya di Thailand. Lengkap sudah impian Syahrul dan harapan ayah dan ibunya.
Namun, kali ini tidak ada tangan kasar ayah yang menghapus hujan di keningnya. Tetapi bagi Syahrul, pelangi itu ibarat bulan, dimana saja dan kapan saja ia selalu ada, hanya seringkali tidak tampak. Begitu pula dengan pelangi di bibir ayah dan ibu, ia pastikan pelangi disana sedang menyala merekah, meskipun ia tak mampu menikmati indahnya. Namun setidaknya Syahrul telah melukis pelangi itu menjadi nyata.



Nama               : Haiyudi
Facebook         : Yudhi Hyd
Email               : haiyudi@gmail.com
WA                 : +66-62-080-2292
Karya              :
1.      Persimpangan (Novel/ ISBN: 978-602-336-216-5/ 2016)
2.      Cha Yen di Negeri Gajah Putih (Kum-Cer/ ISBN: 978-602-71191-9-2/ 2016)
3.      Beberapa Cerpen dan Puisi di Media Cetak
4.      Padang Keladi (Novel/ Proses)
Penulis

Haiyudi, lahir di Padang Keladi, Sebuah dusun terdalam di Kabupaten Bangka Selatan, Provinsi Kep. Bangka Belitung. Pendidikan Dasar di SD N 233 Lepar Pongok, kemudian melanjutkan di SMP N 1 Lepar Pongok, lalu berhijrah ke Pulau Belitong untuk melanjutkan sekolah di SMK N 1 Tanjungpandan, Belitong. Selanjutnya mengadu nasib menjadi pedagang asongan di Malioboro, Jogjakarta. Sembari berjualan, ia juga merupakan mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris pada tahun 2010-2014. Selebihnya ia adalah lelaki sederhana, bahkan sederhana sekali. Hobinya adalah bermimpi dan membangun mimpi. 

No comments:

Post a Comment

Pigura