Sekilas kisahku
oleh: Haiyudi
***Gedung Sekolah***
Keluarga merupakan organisasi
pertama yang kita kenal, yang terbagi kedalam keluarga yang sempurna dan tidak.
Gejolak perpisahan yang paling kuat merupakan perpisahan dengan orang yang kita
sayangi tentunya, salah satunya saat kita berpisah dengan anggota keluarga kita.
Oh iya sobat, namaku Yudhi, tepatnya Haiyudi. Aku merupakan seorang anak yang
dilahirkan di salah satu dusun yang amat terpencil dari sektor apapun yakni
Dusun Padang Keladi, namun bukan berarti tanah yang hanya di tumbuhi tanaman “keladi”
yang berarti Talas dalam bahasa setempat . Namun demikian bukan berarti aku
tertinggal sepenuhnya. Didikan organisasi sederhana itu membuatku mengantongi
sedikt keberungtungan dibandingan teman-teman sebaya yang ada di desaku. Kini
aku merupakan satu-satunya utusan perwakilan pemuda desa yang berdiri hormat di
kota budaya ini. Di keluarga inilah tempat yang ramai bagiku saat itu meskipun
sejatinya hanya terdiri Ayah, ibu, aku dan juga kedua adikku. Namun kini semua
suasana yang dulu kutemukan dalam keluarga itutelah berubah dari semula rumah
yang ramai kini berganti kostan yang ramah.
Pada tahun 1992, aku dilahirkan,
tepatnya tanggal 22 november 1992. Seperti di atas, aku dilahirkan dari
keluarga yang sederhana. Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti
hari, hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun hingga
tidak terasa manusia kecil itu kini telah tumbuh menjadi anak-anak. Memasuki
usia sekolah, tahun 1998 aku di daftarkan untuk menjelajah gedung kecil yang di
bernama sekolah, ketika itu di Padang keladi hanya merupakan sekolah filial
yang masih menginduk pada desa Pongok.
Pagi tiba, di hari pertama sekolah aku di dandan seolah anak perempuan yang
ingin lomba menari. Ketika itu teman
kelas ku pertama terdiri dari 6 siswa, disini mulai terlihat gaya kami seperti
anak STM karena tidak ditemukan wajah anggun diantara wajah sangar kami yang
sehari-hari memegang peletik. Beberapa
hari sekolah, tidak selayaknya siswa yang ada di kota yang merupakan lulusan
TK, sehingga butuh perkenalan, kami disini terdiri dari 6 anak yang datang dari
lahir telah mengenal satu sama lain. Pada suatu pagi, layaknya sekolah yang
lain, kami diminta maju satu-persatu untuk mendendangkan sebuah lagu yang kami
hafal, ketika 5 orang anak telah selesai, tibalah satu nama yang terakhir yakni
Alex Candra, pada saat berada di depan kelas, ia sungguh berbeda dengan aku dan
teman2 yang lain, ia bukan menunjukkan suara merdunya, namun ia menunjukkan
wajahnya yang memerah hingga mengeluarkan butiran air mata. Sungguh tak
disangka, seorang anak yang telah akrab dengan alam liar itu menangis hanya
karana disuruh menyanyi di depan kelas.
***Perpisahan***
bertahun lamanya ku berjuang jauh
dari keluarga, terbayang jelas sosok perempuan yang berprofesi sebagai ibu
rumah tangga sekaligus petani, seorang laki-laki setengah tua namun masih gagah
yang berprofesi sebagai seorang petani sekaligus nelayan dan dua anak kecil
perempuan yang pintar dan jelita. Itulah keluarga ku yang ku tinggalkan kini.
Tetapi dimataku mereka bukan petani apalagi nelayan, mereka semua adalah
pahlawan karena profesi itu telah menghantarkanku berdiri tegak didepan Perguruan Tinggi serta
tertunduk hormat diatas kota ini.
Setahun yang lalu, terlukis jelas
wajah lugu seorang ibu dengan kesederhanaannya yang menghantarkan ku menuju
bandara dan tidak lupa dua orang anak kecil perempuan yang tak lain adalah adik
kandung ku. Saat itu salah satu pahlawan ku tidak ikut serta dalam momen
disiang itu. Dengan wajah gembira yang menutupi kesediah perpisahan mereka
tunjukkan itu tak lain merupakan karena itu hari pertama mereka melihat pesawat
terbang secara langsung.bahkan sejatinya salah satu adikku merupakan hari
sekolah seperti biasa, namun ia memilih untuk memupuk air matanya dilantai
bandara saat melihatku terbang ke kota. Ribuan nasihat yang mereka berikan
padaku, namun satu pertanyaan yang muncul dari mulut siswa kelas 4 SD yang tak
lain adalah adikku sendiri...
“bang ngape disetiap bahasa ade
kosa kata menangis...?”
Terdiam sejenak ku untuk
berfikir... namum belum sempat terjawab iapun berkata lagi..
“karne disanak juak ade kate
tertawa”
Aku tertawa seakan melecehkan
kata-katanya itu.. lalu ku bertanya..
“maksudnye ape itu Ka..?” Oh iya
nama adik ku itu Antika, jadi panggilan pedek ku padanya “ka”. Sedangkan adik
ku yang satunya berumur 2 tahun dan namanya Agustri.
“menangis
toh lambang sedih, susah payah, sedangkan tertawa itu lambang bahagia, jadi
abang jangan takut susah payah karene kelak pasti ade bahagie” kata-katanya begitu bijak bukan,,..?
Sejenak
ku terdiam dalam lamunan, sisa detik-detik perpisahanpun kami habiskan dengan
bercanda sesekali merenung karena ingin segera berpisah. Detik berganti menit,
saatnya ku harus hingga tanpa terasa
pesawat akan segera “take off” namu sebelum masuk tangis perpisahan menghiasi
perjalananku, tak lain adalah siswa yang begitu bijak namun kini menangis
tersedu-sedu. Hingga ku sadar ternyata dia begitu sayang padaku meskipun
hari-hari kamu tak lepas dari perselisihan. Namun itu tak mengurangi rasa
sayang nya padaku.
Sobat...
ketahuilah saat itu merupakan pertama kalinya aku berada dalam pesawat. Hingga
berlahan waktu berganti, kabut yang menutupi pulau belitung kini berganti
kepulau jawa. Dengan tekat yang kuat tibalah aku di jakarta bersama tetangga ku
yang sama-sama menuju ke jogja.
***SOETTA***
Sedang
asyik menikmati pemandangan hidup di sekitar bandara Soekarno Hatta, tiba-tiba
HP butut ku berdering setelah beberapa saat ku matikan. Dengan sedikit rasa
kaget bercampur rasa malu karena bunyinya sungguh jauh berbeda dengan HP
orang-orang zaman sekarang hehehehehe...
tak lain adalah panggilan dari ibu ku.........
“assalamua’laikum”
panggilan ku jawab dengan sedikit canggung di antara ratusan orang yang
memiliki wajah modern masa kini.....
“waalaikumsalam”
akupun mejawab.
“Agik dmane...?” ibuku bertanya
lagi.
“di bandara mak..... kini baru
nelpon y....” singkatnya ingin ku tutup telpon ibu ku.
“oh iye lah mun gitu seh, kini
nelpon e mun lah sampai jogja ye, assalamu’alaikum...”
“wa’alaikumsalam”
Jujur
saja waktu itu kepala ku masih terasa pusing karena ayunan ombak yang kurasa
saat di pesawat. Tak kuasa ku menahan lapar setelah beberapa saat menunggu
pesawat menuju kota tujuanku yaitu Jogjakarta. Akhirnya ku memilih untuk
membuka bekal yang di sediakan oleh ibuku yang sejak subuh dipersiapkan khusus
untuk seorang anak putra yang kini terbang meniti jembatan masa depan yang
sulit diperkirakan. Oh iya sobat perlu diketahui bahwa aku terbang hanya
ditemani 1 tas tang bertuliskan ”BANGKA BELITUNG’’ yang tak lain adalah
pemberian seorang ATLET nasional yang tak asing lagi bagiku. Namun tas tersebut
berada didalam bagasi pesawat sedari tadi. Namun kini yang ada dihadapanku yang
ku gunakan untuk membawa bekal adalah tas yang sudah kugunakan sejak kelas 1
SMK yang mana sudah memiliki bekas operasi dimana-mana. Namun itu bukan masalah
yang berarti bagiku ketika ingat tas yang digunakan ayahku untuk membawa bekal
ke lahan sumber pencarian, itu jauh lebih tua yang jika diperkirakan seperti
manusia ia telah dalam kondisi kritis. Tetapi tiba-tiba tas itu pula yang
membuatku tersentak sedikit malu saat membuka resleting tas yang tidak bisa di
kompromi sehingga membuat perutku bersabar sejenak. Kini keberadaan ku serasa
dipenuhi oleh mata-mata orang yang pada dasarnya belum tentu melihatku.
Bersambung..