Friday 5 April 2013

Sekilas perjalanan anak desa


Sekilas kisahku
oleh: Haiyudi 

***Gedung Sekolah***
Keluarga merupakan organisasi pertama yang kita kenal, yang terbagi kedalam keluarga yang sempurna dan tidak. Gejolak perpisahan yang paling kuat merupakan perpisahan dengan orang yang kita sayangi tentunya, salah satunya saat kita berpisah dengan anggota keluarga kita. Oh iya sobat, namaku Yudhi, tepatnya Haiyudi. Aku merupakan seorang anak yang dilahirkan di salah satu dusun yang amat terpencil dari sektor apapun yakni Dusun Padang Keladi, namun bukan berarti tanah yang hanya di tumbuhi tanaman “keladi” yang berarti Talas dalam bahasa setempat . Namun demikian bukan berarti aku tertinggal sepenuhnya. Didikan organisasi sederhana itu membuatku mengantongi sedikt keberungtungan dibandingan teman-teman sebaya yang ada di desaku. Kini aku merupakan satu-satunya utusan perwakilan pemuda desa yang berdiri hormat di kota budaya ini. Di keluarga inilah tempat yang ramai bagiku saat itu meskipun sejatinya hanya terdiri Ayah, ibu, aku dan juga kedua adikku. Namun kini semua suasana yang dulu kutemukan dalam keluarga itutelah berubah dari semula rumah yang ramai kini berganti kostan yang ramah.
Pada tahun 1992, aku dilahirkan, tepatnya tanggal 22 november 1992. Seperti di atas, aku dilahirkan dari keluarga yang sederhana. Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari, hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun hingga tidak terasa manusia kecil itu kini telah tumbuh menjadi anak-anak. Memasuki usia sekolah, tahun 1998 aku di daftarkan untuk menjelajah gedung kecil yang di bernama sekolah, ketika itu di Padang keladi hanya merupakan sekolah filial yang  masih menginduk pada desa Pongok. Pagi tiba, di hari pertama sekolah aku di dandan seolah anak perempuan yang ingin lomba menari. Ketika itu  teman kelas ku pertama terdiri dari 6 siswa, disini mulai terlihat gaya kami seperti anak STM karena tidak ditemukan wajah anggun diantara wajah sangar kami yang sehari-hari memegang peletik.  Beberapa hari sekolah, tidak selayaknya siswa yang ada di kota yang merupakan lulusan TK, sehingga butuh perkenalan, kami disini terdiri dari 6 anak yang datang dari lahir telah mengenal satu sama lain. Pada suatu pagi, layaknya sekolah yang lain, kami diminta maju satu-persatu untuk mendendangkan sebuah lagu yang kami hafal, ketika 5 orang anak telah selesai, tibalah satu nama yang terakhir yakni Alex Candra, pada saat berada di depan kelas, ia sungguh berbeda dengan aku dan teman2 yang lain, ia bukan menunjukkan suara merdunya, namun ia menunjukkan wajahnya yang memerah hingga mengeluarkan butiran air mata. Sungguh tak disangka, seorang anak yang telah akrab dengan alam liar itu menangis hanya karana disuruh menyanyi di depan kelas.
***Perpisahan***
bertahun lamanya ku berjuang jauh dari keluarga, terbayang jelas sosok perempuan yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga sekaligus petani, seorang laki-laki setengah tua namun masih gagah yang berprofesi sebagai seorang petani sekaligus nelayan dan dua anak kecil perempuan yang pintar dan jelita. Itulah keluarga ku yang ku tinggalkan kini. Tetapi dimataku mereka bukan petani apalagi nelayan, mereka semua adalah pahlawan karena profesi itu telah menghantarkanku   berdiri tegak didepan Perguruan Tinggi serta tertunduk hormat diatas kota ini.
Setahun yang lalu, terlukis jelas wajah lugu seorang ibu dengan kesederhanaannya yang menghantarkan ku menuju bandara dan tidak lupa dua orang anak kecil perempuan yang tak lain adalah adik kandung ku. Saat itu salah satu pahlawan ku tidak ikut serta dalam momen disiang itu. Dengan wajah gembira yang menutupi kesediah perpisahan mereka tunjukkan itu tak lain merupakan karena itu hari pertama mereka melihat pesawat terbang secara langsung.bahkan sejatinya salah satu adikku merupakan hari sekolah seperti biasa, namun ia memilih untuk memupuk air matanya dilantai bandara saat melihatku terbang ke kota. Ribuan nasihat yang mereka berikan padaku, namun satu pertanyaan yang muncul dari mulut siswa kelas 4 SD yang tak lain adalah adikku sendiri...
“bang ngape disetiap bahasa ade kosa kata menangis...?”
Terdiam sejenak ku untuk berfikir... namum belum sempat terjawab iapun berkata lagi..
“karne disanak juak ade kate tertawa”
Aku tertawa seakan melecehkan kata-katanya itu.. lalu ku bertanya..
“maksudnye ape itu Ka..?” Oh iya nama adik ku itu Antika, jadi panggilan pedek ku padanya “ka”. Sedangkan adik ku yang satunya berumur 2 tahun dan namanya Agustri.
                “menangis toh lambang sedih, susah payah, sedangkan tertawa itu lambang bahagia, jadi abang jangan takut susah payah karene kelak pasti ade bahagie”  kata-katanya begitu bijak bukan,,..?
                Sejenak ku terdiam dalam lamunan, sisa detik-detik perpisahanpun kami habiskan dengan bercanda sesekali merenung karena ingin segera berpisah. Detik berganti menit, saatnya ku harus  hingga tanpa terasa pesawat akan segera “take off” namu sebelum masuk tangis perpisahan menghiasi perjalananku, tak lain adalah siswa yang begitu bijak namun kini menangis tersedu-sedu. Hingga ku sadar ternyata dia begitu sayang padaku meskipun hari-hari kamu tak lepas dari perselisihan. Namun itu tak mengurangi rasa sayang nya padaku.
                Sobat... ketahuilah saat itu merupakan pertama kalinya aku berada dalam pesawat. Hingga berlahan waktu berganti, kabut yang menutupi pulau belitung kini berganti kepulau jawa. Dengan tekat yang kuat tibalah aku di jakarta bersama tetangga ku yang sama-sama menuju ke jogja.

***SOETTA***
                Sedang asyik menikmati pemandangan hidup di sekitar bandara Soekarno Hatta, tiba-tiba HP butut ku berdering setelah beberapa saat ku matikan. Dengan sedikit rasa kaget bercampur rasa malu karena bunyinya sungguh jauh berbeda dengan HP orang-orang zaman sekarang hehehehehe...  tak lain adalah panggilan dari ibu ku.........
                “assalamua’laikum” panggilan ku jawab dengan sedikit canggung di antara ratusan orang yang memiliki wajah modern masa kini.....
                “waalaikumsalam”  akupun mejawab.
“Agik dmane...?” ibuku bertanya lagi.
“di bandara mak..... kini baru nelpon y....” singkatnya ingin ku tutup telpon ibu ku.
“oh iye lah mun gitu seh, kini nelpon e mun lah sampai jogja ye, assalamu’alaikum...”
“wa’alaikumsalam”
 Jujur saja waktu itu kepala ku masih terasa pusing karena ayunan ombak yang kurasa saat di pesawat. Tak kuasa ku menahan lapar setelah beberapa saat menunggu pesawat menuju kota tujuanku yaitu Jogjakarta. Akhirnya ku memilih untuk membuka bekal yang di sediakan oleh ibuku yang sejak subuh dipersiapkan khusus untuk seorang anak putra yang kini terbang meniti jembatan masa depan yang sulit diperkirakan. Oh iya sobat perlu diketahui bahwa aku terbang hanya ditemani 1 tas tang bertuliskan ”BANGKA BELITUNG’’ yang tak lain adalah pemberian seorang ATLET nasional yang tak asing lagi bagiku. Namun tas tersebut berada didalam bagasi pesawat sedari tadi. Namun kini yang ada dihadapanku yang ku gunakan untuk membawa bekal adalah tas yang sudah kugunakan sejak kelas 1 SMK yang mana sudah memiliki bekas operasi dimana-mana. Namun itu bukan masalah yang berarti bagiku ketika ingat tas yang digunakan ayahku untuk membawa bekal ke lahan sumber pencarian, itu jauh lebih tua yang jika diperkirakan seperti manusia ia telah dalam kondisi kritis. Tetapi tiba-tiba tas itu pula yang membuatku tersentak sedikit malu saat membuka resleting tas yang tidak bisa di kompromi sehingga membuat perutku bersabar sejenak. Kini keberadaan ku serasa dipenuhi oleh mata-mata orang yang pada dasarnya belum tentu melihatku.

Bersambung..

No comments:

Post a Comment

Pigura