Saturday 30 July 2016

Bukan Pulang: Terkisahnya Ayah, Ibu dan Senja

Dok. Pribadi (Thailand, 2016)
Hanyut aku dalam senyuman senja sore ini
berpangku tangan membiarkan serta meninggalkan
roda-roda ini kian membawaku pergi menuju rumah
meninggalkan mentari, serupa sejuta wajah bidadari
ku kira ini perjalanan pulang,
menuju rumah yang ada serulingnya
serta gendang berirama satu dua dan tiga
sampai rupanya senja kian menghilang
dan aku hanya tiba di setapak persimpangan
inikah pulang?
lalu kuratapi lagi kepergiannya yang tak membekas
seiring bias langit biru yang sirna dalam hitam
aku sepi semakin menjadi-jadi
mati dalam sejuta kata tak senada, aku sendiri
inikah setengah mati?
Sekali lagi,
ku kira ini perjalanan pulang,
menuju rumah bertiang kayu nyire
kudatangi, pun daku tak jua sampai
diatas sana, di langit hitam
rembulan berkedip dalam bingkai jendela
serempak gerimis menetesi kaca (ini)
dia bisikkan padaku

"Pulang bukan meninggalkan (senja), pun
Pulang adalah menuju rumah yang ada
kecut keringat ayah
serta angin nasihat ibu"

bila tidak, selamaanya perjalananmu bernama pergi
sekali lagi, ini hanya perjalanan biasa
--bukan pulang--

Th, 30 Juli 2016
Bus Satun-Hatyai,

#hyd

Friday 29 July 2016

Hapus Tanda Tanya (?) Sajak Ini

Doc.Pribadi (Thailand, 2015)
Bahkan ketika angin menderu saja aku tidak terbangun, 
padahal aku tidur di ayunan, ditepi pantai, dekat dengan laut. 
nyaman sekali
sesaat kemudian aku mengaduh
rupanya bukan angin yang membangunkan ku, 
adalah sentuhan pasir yang kecil, 
yang ku datangi tanpa aku sadari. Ya aku terjatuh lalu terbangun. 
Ah.... angin ataukah pasir yang membuatku bangun? 
Aku terduduk, gemuruh ombak petang hari membuatku lena 
lentera alam melengkung indah membentuk senja 
sampan nelayan satu dan dua menjauh, kupangku kedua tangan.
Ah.... nelayan ataukah senja yang membuatku tertegun?
lalu malam mulai berbintang, cahayanya serupa lampu jalanan kota, 
bulan berdandan mempercantik dirinya sendiri 
menghadirkan senyum, sesekali meliuk-liuk dibawah awan hitam
Ah.... bintang ataukau rembulan yang membuatku tersenyum?
aku masih di tempat yang sama, tepi pantai itu
lonceng memintaku berjalan
menuju setapak jalan di persimpangan
langkah kecil ku ayunkan
sesekali ku tengok lautan hitam dan gelap itu
aku tersentak
kupejamkan mata, 
lalu ku buka
semakin tersentak
semua kata-kata ku disitu, hidup akur dan merdeka
bait-bait gurindamku menyala serupa cahaya
bak setiap kata adalah do'a, begitu kata pepatah
sedangkan namamu terselip dalam sajak-sajak ku, hidup, tumbuh dan mengakar
hapus semua "tanda tanya" sajakku (?)

terkisahnya sajak antara aku, kau, pantai dan malam.

Th, 29/30 Juli 2016
Hyd


Tuesday 26 July 2016

Mencintai Dengan Bijak

Sebelumnya, biarkan surat ini melayang. Menjauh lalu menghilang. Ini hanya perihal aku yang kan dibunuh waktu. Usah kau kenang, sayang. 

Untuk mu, yang bukan dia
Semenjak sehari seusai perkenalan kita, aku termenung panjang meratapi hari-hari yang akan datang. Mengkhawatirkan sesuatu, seolah ragu akan pertolongan Tuhanku. Tak perduli siang, apalah artinya malam.

Ku lihat satu tangan menggenggammu dengan erat. Kau tau? aku bagaikan dalam terowongan. Bingung, gelap, gelugutan, kedinginan dan ketakutan. Aku terus menanti datangnya sinar di ujung sana. Sinar indah yang datang dari rembulan tertidur lelap di bola matamu. Sinar indah dari gemerlapan kejora dalam tawa mu. meskipun tanganmu terikat padanya. Ahh... bodohnya aku

Detik yang berganti begitu berat, sayang (maaf ku panggil sayang). Jadi, bisa dibayangkan bukan? bagaimana kala menit berganti jam, jam berganti hari, hari berganti minggu dan minggu berganti bulan. Kagumku tak pernah pudar apalagi menghilang, meskipun ragamu semakin jauh dipandang. Berlalunya waktu semakin jauh dan lenyap.

Sepeninggalanmu, aku terhuyung terbawa setiap angin. Angin masa silam yang menguburku dalam-dalam. Serupa puisi Kangen W.S Rendra yang menggerogoti jiwa. Rindu ini semakin dalam, menusuk hingga tulang-belulang. Namun kepada siapa aku harus mengadu? Membayangkanmu tersenyum dari kejauhan adalah kebahagiaan yang tak ada tara. Meskipun satu persatu bintang memintaku gegabah, tapi, satu rembulan senantiasa memintaku mencintai dengan bijaksana. Mencintai tanpa menyakiti hati yang lain. 

Pada akhirnya, rinduku sampai pada penghakiman. Harus ku serahkan semuanya pada-Nya. Do'a memang tak terlihat di pojok bumi, namun melayang ke semesta. Cepat dan tepat jatuh di tangan Tuhan. 

Salam,
aku

Perindu. 

Pigura