Sebelumnya, biarkan surat ini melayang. Menjauh lalu menghilang. Ini hanya perihal aku yang kan dibunuh waktu. Usah kau kenang, sayang.
Untuk mu, yang bukan dia
Semenjak sehari seusai perkenalan kita,
aku termenung panjang meratapi hari-hari yang akan datang. Mengkhawatirkan
sesuatu, seolah ragu akan pertolongan Tuhanku. Tak perduli siang, apalah
artinya malam.
Ku lihat satu tangan menggenggammu dengan
erat. Kau tau? aku bagaikan dalam terowongan. Bingung, gelap, gelugutan,
kedinginan dan ketakutan. Aku terus menanti datangnya sinar di ujung sana. Sinar
indah yang datang dari rembulan tertidur lelap di bola matamu. Sinar indah dari
gemerlapan kejora dalam tawa mu. meskipun tanganmu terikat padanya. Ahh...
bodohnya aku
Detik yang berganti begitu berat, sayang
(maaf ku panggil sayang). Jadi, bisa dibayangkan bukan? bagaimana kala menit berganti
jam, jam berganti hari, hari berganti minggu dan minggu berganti bulan. Kagumku
tak pernah pudar apalagi menghilang, meskipun ragamu semakin jauh dipandang. Berlalunya
waktu semakin jauh dan lenyap.
Sepeninggalanmu, aku terhuyung terbawa
setiap angin. Angin masa silam yang menguburku dalam-dalam. Serupa puisi Kangen
W.S Rendra yang menggerogoti jiwa. Rindu ini semakin dalam, menusuk hingga
tulang-belulang. Namun kepada siapa aku harus mengadu? Membayangkanmu tersenyum
dari kejauhan adalah kebahagiaan yang tak ada tara. Meskipun satu persatu
bintang memintaku gegabah, tapi, satu rembulan senantiasa memintaku mencintai
dengan bijaksana. Mencintai tanpa menyakiti hati yang lain.
Pada akhirnya, rinduku sampai pada
penghakiman. Harus ku serahkan semuanya pada-Nya. Do'a memang tak terlihat di
pojok bumi, namun melayang ke semesta. Cepat dan tepat jatuh di tangan
Tuhan.
Salam,
aku
Perindu.
No comments:
Post a Comment