dan wanita pergi atas nama cinta
Rindu ini kian tak
bertuan.
Jogja, 30 maret 2015
Jogja, 30 maret 2015
Belum kering embun
semalam yang menetes kian jernih dari pelupuk mata dua insan yang tak sepaham. Ketika
bulan itu kian mengintip malu, dari celah ranting pohon rambutan. Penjelasan panjang
tentang kerinduan yang datang bukan sebuah titik pembahasan dalam malam. Karena
hakikatnya rindu setiap malam senantiasa bertamu. Sepi, sunyi dan gelap. Mata kian
tertutup pikiran kian melayang. Jauh tak
terarah, mungkin menjelajah negeri diatas awan. Rindu ini selalu ku alamatkan
kepada bunda yang jauh dimata. Namun pelipur lara datang atas nama cinta. Bunda
sempat kutinggalkan dengan air mata. Kupergi atas nama cita-cita. Sampai pada
satu kota aku disambut makhluk bernama cinta. Benar adanya, nyata dan ada
didepan mata.
Haramkah hadirku? Entahlah,
kini dinding waktu kian menipis. Berbanding terbalik dengan tirai pertemuan
yang kian tebal. Halangan dalam alasan kian datang. Sampai kusadari rindu ini
kian tak bertuan. Malam ini mata enggan terpejam. Waktu kian sangar menunjukkan
kekuasaannya yang kian elegan. Milea, rindu itu sakral. Kita bisa berjanji tuk
senantiasa menjaga, akupun percaya ketika bulan berganti peran semua akan
terlaksana. Tidak perlu diucapkan hati kita kian bicara tentang adanya rindu
didada. Getaran yang berbeda kian nyata. Namun bukalah tabir realita bahwa duduk berdampingan adalah duta pelipur rindu. Malam
ini, ku yakin malam tersenyum mendengar perbincangan kita yang tak kunjung
usai. Angin malam yang didaulat sebagai duta rindu kian ku layangkan agar kita
sama-sama tau.
Detik ini aku kian sadar,
mungkin ini dosa masalalu yang kian berlanjut. Doa hati yang pernah disakiti. Ingin
rasanya bersandar sejenak dipundak Bunda. Sekedar bercerita tentang Milea. Namun
ia jauh dimata. Hingga mata kian terbuka bahwa pemilik rindu ini kian menyiksa.
Tuan si rindu ini kian tak ada.