Sunday 29 March 2015

BLOG DITUTUP

Bunda kutinggalkan dengan air mata
dan wanita pergi atas nama cinta


Rindu ini kian tak bertuan.
Jogja, 30 maret 2015

     Belum kering embun semalam yang menetes kian jernih dari pelupuk mata dua insan yang tak sepaham. Ketika bulan itu kian mengintip malu, dari celah ranting pohon rambutan. Penjelasan panjang tentang kerinduan yang datang bukan sebuah titik pembahasan dalam malam. Karena hakikatnya rindu setiap malam senantiasa bertamu. Sepi, sunyi dan gelap. Mata kian tertutup  pikiran kian melayang. Jauh tak terarah, mungkin menjelajah negeri diatas awan. Rindu ini selalu ku alamatkan kepada bunda yang jauh dimata. Namun pelipur lara datang atas nama cinta. Bunda sempat kutinggalkan dengan air mata. Kupergi atas nama cita-cita. Sampai pada satu kota aku disambut makhluk bernama cinta. Benar adanya, nyata dan ada didepan mata.
     Haramkah hadirku? Entahlah, kini dinding waktu kian menipis. Berbanding terbalik dengan tirai pertemuan yang kian tebal. Halangan dalam alasan kian datang. Sampai kusadari rindu ini kian tak bertuan. Malam ini mata enggan terpejam. Waktu kian sangar menunjukkan kekuasaannya yang kian elegan. Milea, rindu itu sakral. Kita bisa berjanji tuk senantiasa menjaga, akupun percaya ketika bulan berganti peran semua akan terlaksana. Tidak perlu diucapkan hati kita kian bicara tentang adanya rindu didada. Getaran yang berbeda kian nyata. Namun bukalah tabir realita bahwa  duduk berdampingan adalah duta pelipur rindu. Malam ini, ku yakin malam tersenyum mendengar perbincangan kita yang tak kunjung usai. Angin malam yang didaulat sebagai duta rindu kian ku layangkan agar kita sama-sama tau.
     Detik ini aku kian sadar, mungkin ini dosa masalalu yang kian berlanjut. Doa hati yang pernah disakiti. Ingin rasanya bersandar sejenak dipundak Bunda. Sekedar bercerita tentang Milea. Namun ia jauh dimata. Hingga mata kian terbuka bahwa pemilik rindu ini kian menyiksa. Tuan si rindu ini kian tak ada.



Pigura