Wednesday 22 November 2017

KACA DI MATA AYAH


Kalian tau resiko orang bermimpi? Kalian akan dianggap bodoh oleh mereka yang tidak punya mimpi, sampai kalian mampu mewujudkannya. Tapi jangan takut. Itu adalah kekuatan. –Ayah— 

Di Padang Keladi sana, belaian lembut angin pedesaan diatas kursi santai terbuat dari kayu menjadi penanda sebuah percakapan khas ibu-ibu. Pertanda bahwa adanya keangkuhan penduduk bumi disudut pertiwi yang lain, dengan lambaian sombong khas serunai yang semakin meninggi, diapit dua bukit. Sebuah perbincangan ringan muncul dari beberapa bibir insan yang istimewa. Dibawah pohon mempelam –mangga yang berjenis kecil dengan aroma wangi khas Bangka Belitung— beberapa orang berbincang serius menemani senja diwaktu sore.
“Kabarnya Zamri hendak kuliah, benar begitu?”
“Oh benar, Ayahnya selalu meng-iya-kan mimpi Zamri”
“Hebat, kabarnya dia hendak menjadi sarjana pertama di Padang Keladi ini”
“Jadi sarjana itu tidak mudah, anaknya bang Seman di kampung sebelah sudah 7 tahun belum sarjana. Katanya banyak rapot yang merah”
“Tak apa, bang Seman banyak uang. Nah kalau yang ini?”
Berbagai macam percakapan semacam cemoohan yang menganggap ayahnya Zamri melakukan tindakan tidak rasional. Kala itu menjadi petani lada tidak sekaya sepuluh tahun kebelakang, harga lada jauh menurun, disisi lain petani lada dirugikan dengan virus ulat bulu yang menjadi racun bagi pohon lada, sehingga petani lada banyak yang gigit jari. Ayah Zamri salah satunya.
Karena itu, keputusannya untuk mengirimkan Zamri menuju bangku kuliah mencapat kecaman dari berbagai elemen. Mulai dari pak RT, tetangga yang rumahnya disebelah timur rumah Zamri, tetangga yang sebelah utara, tetangga yang rumahnya menempati nomor 05 dan lain-lain. Sehingga sore itu dikalangan ibu-ibu saja Ayah Zamri seakan menjadi trending topic.
Dipojok lain tak jauh dari bangku rumpi ibu-ibu kampung Padang Keladi itu, ada seorang lelaki yang tidak lain adalah Pak Cik-nya Zamri, yaitu suami dari adik ibunya. Mendapati ia sedang mengulas sabut kelapa sebelum diparut dan diproduksi menjadi minyak kelapa. Keberadaannya kurang terlihat oleh sekelompok ibu-ibu yang sedang bergunjing itu. Dengan senyuman menyungging dibibir ia mendengar celotehan yang dianggapnya angin lalu itu.
***
Suatu pagi, serunai belakang rumah semakin meninggi. Mendongak kearah matahari terbit. Pertanda matahari merestui setiap langkah makhluk hidup. Dan embun mulai ditarik pergi. Gemercik bunyi burung seperti air terjun yang tak kunjung putus. Mendapati seorang ibu yang sederhana dengan handuk melilit dikepala. Sedang mengaduk minyak kelapa setengah matang hasil parutan sehari yang lalu. Seperti biasanya, beliau adalah kepala bagian produksi. Lalu disisi yang lain seorang ayah yang sedang mengasah setiap sisi parang hingga tajam, maklum saja kerjaannya sedikit santai karena ia adalah direktur.
Entah apa yang sedang dibicarakan. Yang pasti bukan berbicara politk terkini masa itu. Usahlah bicara politik, mendengar kata politik saja mereka seakan sangat asing. Tiba-tiba datang seorang lelaki mngantarkan kelapa untuk diparut. Pak Cik Zamri, adik ipar ibunya Zamri datang,
“Jadinya Zamri kuliah dimana, Bang?”
“Kabarnya dia hendak ke Jogja” Ayah Zamri melebarkan senyum dan menatap lembut.
Bagai diserbu sebuah angin topan. Isyarat hendak bertanya tentang finansial sebuah keluarga ini telah luluh lantak. Melihat jawaban seperti tanpa beban dari senyum dan jawaban “katanya dia mau di Jogja”.
Dengan memutar pikiran, ia melanjutkan pertanyaan dengan cara yang beda.
“Apakah mahal, Bang?
“Belum tau, kabarnya lumayan!”
“Oooh” Jawab Pak Cik singkat.
Setengah dibungkam dengan senyuman, Pak Cik kini tak mau berucap banyak kata lagi.
Sebuah senyuman mengembang, dan mata tertuju pada satu ranting. Pohon rambutan dan mangga menjadi saksi percakapan itu. Namun semua seakan melayu. Daunnya berguguran dalam satu musim. Jatuh tertimpa sesimpul senyuman seorang ayah melayu.
Rupanya keluarga Zamri, terutama ayah dan ibu sudah terlebih dulu mendengar kabar angin sebagian masyarakat kampung. Sebuah keraguan yang ditujukan pada pundak ayah Zamri. Sebuah api kecongkakan yang dinilai sebagian orang. Sebuah tindakan yang dianggap  kesombongan karena memberanikan diri untuk menguliahkan anaknya.
“Aku hanya tak ingin melihat Zamri sepertiku yang setiap pagi pergi kebukit”
Sambil terus mengasah parang. Sementara Pak Cik hanya tersenyum dan sesekali menunduk dalam-dalam.
“Kau juga ikut meragukan kemampuanku?
Pak Cik menunduk semakin dalam.
“Aku selalu membangkitkan semangatnya. Aku tidak ada, namun ku bilang ada. Aku tidak punya, tapi seakan aku lelaki kaya. Bukan harta semata, tetapi aku senantiasa menyelipkan semangat didadanya. Aku hanya membukakan jalan untuknya, selebihnya Zamri yang tau baik-buruknya”
Suasana hening. Ayah Zamri tersenyum, yah tersenyum sangat lebar sembari terus mengasah parang
“Terlepas apa yang Zamri lakukan disana nanti, karena mataku memang tidak bisa melihatnya terus menerus. Namun aku yakin, Zamri paham dan menghargai keringatku”
“Iya, Bang”
“Kau tau resikonya orang bermimpi?”
Pak Cik Zamri hanya terdiam seribu bahkan sejuta bahasa. Bibirnya bungkam tanpa sepatah kata.
“Kita akan dianggap bodoh oleh mereka yang tidak memiliki mimpi sampai kita bisa mewujudkan mimpi itu. Tapi jangan takut, itu sebuah cambukan, sebuah kekuatan. Sesekali aku ajak dia ke bukit, sekedar menunjukkan ‘inilah kerjaan ayah, Nak. Anak ayah harus merubah semuanya. Anak ayah harus jadi sarjana’. Itu kulakukan berulang-ulang, tidak hanya sekali”
Gemulai angin menyelimuti pori Pak Cik, dan matahari semakin tinggi membakar semua pertanyaan yang menyangkut finansial di kepalanya Pak Cik. Betul, matahari semakin meninggi, sama tingginya dengan semangat ayah nomor satu sedesa itu.
“Aku begitu bukan ingin membuatnya lemah. Aku justeru hanya ingin dia tau kalau kerjaan ayahnya tidak boleh dicontoh. Lihat ini, tangan segini kasarnya, kulit segini bersisiknya, rambut kering begini, pakaian kusam dan bau seperti ini”
Matanya memerah bak buah saga serta semangat yang berkobar seakan membakar pagi, kini ia bangkit dan berkata “niatku menyuruhnya hanya semata-mata ibadah. Siapa tau kelak ia berguna bagi negeri ini. Atau paling tidak ia berguna buatku dihari tua”
Entah dimenit yang ke berapa, Pak Cik hanya bisa terdiam sejuta bahasa.
“Dengan begitu aku yakin Allah tidak akan diam. Jangan takut, aku berdua dengan istri tidak pernah berprasangka buruk. Minyak kelapa masak dan dijual, kami syukuri”
Sang istri hanya bisa menatapnya haru. Barangkali jika saja suasananya mendukung, dipastikan ia akan menangis mendengar ucapan itu yang begitu menyentuh hati dari suaminya. Sementara ayah Zamri harunya memuncak, matanya memerah serta berkaca-kaca.
“Saya tidak butuh pengakuan dunia, mereka mau meragukan silahkan saja. Memang begini resiko bermimpi. Namun ketahuilah, ada Allah dan itu jauh lebih dari cukup”
***
Tidak banyak cerita yang dapat ku ceritakan mengingat hal itu, untuk kali ini saja, bagiku, bercerita rasanya seperti menikam diri sendiri. Sakit dan perih. Sebab menyaksikan ayah menangis adalah pantangan seumur hidup.

No comments:

Post a Comment

Pigura