The Art of Waiting |
Cerpen ini pernah diikutsertakan dalam lomba kepenulisan cerpen oleh penerbit Wahyu Qolbu
Kasih,
tidak ada yang mengharuskan kau menunggu, bila berjodoh maka aku yang
akan mendatangi. Bila tidak, sebait do’a untukmu rasanya lebih mulia
akan mendatangi. Bila tidak, sebait do’a untukmu rasanya lebih mulia
Oleh: Haiyudi
======================
Langit semakin menghitam,
melenyapkan senja yang selalu dipuja oleh para penikmatnya. Rembulan semakin
meninggi, terkadang bersembunyi di sebalik bongkahan awan. Aku, Seman Yusuf,
hanya termenung dalam segelas kopi. Merapuh dalam sejuta bayang masa depan. Memikirkan
perihal yang masih “entahlah”. Malam ini, aku duduk di bawah langit dan
di atas bumi negeri rantau. Angin malam membawaku kepada kenangan dan menerawang
kepada masa lalu dua tahun silam.
***
“Sampai kapan kamu disana, Seman?”
Mila bertanya padaku sedikit bergetar
“Mungkin hanya dua tahun” Jawabku
sambil menyuguhkan senyum termanisku. Walaupun kata mereka senyum ku sedikit
pahit, dan aku setuju hal itu.
Mila, perempuan ayu berjilbab putih
ini menurut dunia sekitar adalah kekasihku, entah siapa yang menobatkan. Namun
sedikitpun aku tidak merasa bahwa kami adalah sepasang kekasih. Bukan karena
aku membenci atau tidak menyukainya. Lebih kepada bagaimana sepasang kekasih
menurut Islam yang ku tahu dan ku pahami.
Malam
itu, adalah aku, Mila dan Andi sedang duduk rapi diatas tikar purun. Kami berbicara
sedikit lebih terbuka tentang banyak hal, dimulai membahas puisi Robert Burns,
membedah buku Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945 karya A.M. Fatwa,
membedah film Filosofi Kopi yang sedang booming pada saat itu, bahkan
sampai membahas lagu terbaru Cita Citata yang entah apa itu judulnya. Namun
yang terpenting pula saat itu kami sedang berbicara perihal keberangkatanku. Sebagai
delegasi yang akan segera diberangkatkan ke Luar Negeri, pastilah itu akan
mengundang banyak percakapan. Ada rasa semacam menjadi terdakwa, menjawab
banyak pertanyaan ini dan itu. Namun malam itu aku merasa indah sekali, sebab
percakapan kami tak luput dari secangkir kopi, nasi kucing, dan berapa jenis
sate ala angkringan. Serta yang paling istimewa adalah bahwa malam itu kami
ditemani langit berbintang kota Jogja.
“Minggu depan sudah fiks, Boi?”
Tanya Andi kepadaku.
“Tidak ada yang bisa menghalangi untuk
bercita-cita” Jawabku sambil mengedipkan mata. Sementara Andi hanya menunjukkan
wajah persetujuan sambil menganggukkan kepala. Kami bertiga adalah bujang
dayang Melayu yang sama-sama melanjutkan studi kala itu. Sama-sama menyukai
seni dan yang pasti saat itu kami sama-sama masih sendiri. Tepat di depan ku
Mila masih terdiam dan menunduk. Entah apa yang ada dalam pikirannya.
“Kamu tidak kasihan membiarkannya
menunggu, Man”
Aku hanya tersenyum mendengar
kalimat tanya yang dolontarkan Andi kepadaku. Namun tidak dengan Mila, ia tetap
saja membisu, menunduk dengan nafas tidak teratur. Tidak biasanya Mila diam
sedemikian lama. Menunduk sedemikian jauh dan dalam.
“Apa yang sudah kau persiapkan,
Man?”
“Masih terlalu dini untuk
berkemas-kemas” Jawabku sambil tersenyum
“Bukan itu, maksudku, mempersiapkan
mental misalnya” Andi meminta tambahan kopi hitam kepada bapak Angkringan
“InshaAllah sudah siap, sudah
mendapat pembekalan bahasa dari kampus juga kok”
“Begitu?”
“Negeri yang kan ku datangi tidak
teramat jauh dari Indonesia, masih tetangga”
“Untuk masalah hati?” Tanya Andi
sambil tersenyum dan melirih ke Mila “Jangan terlalu lama, nanti ada yang
rindu” Sambungnya semakin tidak tahu diri. Ku perhatikan Mila sedikit
mengangkat muka dan tersenyum menatapku. Aku bingung.
“Ada apa Mila?” Tanyaku dengan nada
pelan.
“Tidak
apa-apa. Jaga diri baik-baik bila kelak sudah disana”
“Jangan
khwatir, aku sudah besar”
“Bahkan
sudah tua” Sambung Andi tersenyum, Mila tertawa kecil dan pelan
“Seperti
kau tidak tua saja, bukankah umurmu sudah mencapai 25”
“Kan
belum 26” Andi adalah yang tertua dari kami karena tidak naik kelas 3 kali
semasa di bangku Sekolah Dasar. Namun demikian bukanlah karena bodoh, melainkan
nakal.Sehingga dikeluarkan di beberapa sekolah di Batam.
“Lalu?”
Kami bertiga tertawa, dan itu pertama kuliat Mila tertawa bebas malam itu.
Banyak lagi percakapan kami yang mengundang tawa
Jauh
dari dalam lubuk hati, akupun sebetulnya merasa canggung hendak bertutur dengan
Mila malam itu. Tidak serupa dengan malam-malam sebelumnya yang selalu timbul
diskusi hangat dari kami, entah mengapa malam ini tidak demikian. Malu rasanya
pada rembulan. Rembulan itu terus bertengger di ranting pohon mangga Pak
Supardjono si pemilik angkringan. Ia semakin meninggi, meninggalkan kami
bertiga dalam percakapan yang semakin dingin. Mila berpamit pulang ke rumahnya
yang tidak jauh dari Keraton Yogyakarta. Andi juga pulang ke kontrakannya, pun
jua aku, pulang dengan sepeda tua yang ku beri nama Paino menuju kosan.
Di
sisi lain, ku perhatikan Pak Supardjono menggulung tikar purun tempat kami
duduk malam itu. Itu tandanya malam sudah menunjukkan pukul 11.00. Sebab aku
kenal betul siapa pak Suparjono. Bila saja
masih pukul 10.59, dia tidak akan menggulung tikarnya. Ia terkenal
sebagai bapak On Time untuk masalah jualan, terlebih menagih hutang kepada
mahasiswa langganan.
Malam
semakin gelap, sejuta tanda tanya sedang menggantung di kepalaku. Tangan ku
letakkan diatas kening. Sayup-sayup ku dengar sinden Jawa mengalun. Malam
membawaku ke alamnya. Aku terlelap dalam selimut gelap, di musim hujan kala
itu.
***
“Man, bisa temui aku di Perpustakaan
Daerah nanti siang jam 9?” Sebuah pesan singkat dari Mila. Pesan itu datang
begitu pagi, serasa embun saja masih pulas di dedaunan hijau. “Oke, Mila. J”
Balasku singkat.
Pukul 8.58 aku tiba di Perpustakaan
Daerah. Sudah ku perhitungkan, aku akan masuk ke pintu PERPUSDA tepat pukul
9.00. Jiwa pak Supardjono rupanya sudah mendarah daging dalam tubuhku. Mungkin
berkat kopi pahitnya yang kuminum (hampir) setiap malam
“Kamu
dimana?”
“Dalam, blok A, bagian sastra Jerman
bangku nomor 3 deretan ke empat” Kurang dari satu menit pesan singkatku sudah
terbalas. Aku menuju kedalam, dan ku saksikan Mila menggunakan gamis merah
jambu, jilbab panjang berwarna putih. Aku sedikit ragu, sebab hari ini ia lebih
mirip anak rohis dibandingkan anak sastra. Namun demikian, aku senang.
“Bisa berbicara sebentar?”
“Aku sudah disini, Mila. Tentu saja
bisa” Jawabku sambil tersenyum
“Aku bawakan buku The Count of Monte
Cristo untuk mu, yang ini untuk ku. Kita berbicara di taman saja ya” Mila
menunjukkan buku kumpulan puisi pilihan padaku sambil senyum. Aku tau betul
Mila adalah penggemar puisi. Sama sepertiku. Bahkan kami berdua adalah
penggemar berat Sapardi Djoko Damono.
Mila memintaku berjalan didepan,
sedangkan aku meminta Mila duluan. Habis kata-kataku untuk mendeskripsikan betapa
susahnya aku waktu itu. Hingga pada akhirnya, istilah “lady’s first” kalah
dengan An-Nisa 34. Aku melangkah didepan selanjutnya memilih bangku yang agak
berjarak namun tetap berdua, selanjutnya memesan minuman, selanjutnya aku pula
yang harus memulai percakapan. Saat itu aku merasa sedang diuji oleh Mila.
“Ada apa, Mila?”
“Man, maaf kalau semalam suasananya
tidak enak” Mila memasang wajah bersalah
“Hanya itu? Kau harus meminta maaf
sama Pak Supardjono juga”
“Loh mengapa begitu?” Mila
kebingungan mendengar ucapanku
“Beliau terlihat canggung karena
wajahmu semalam”
“Seman, aku sedang serius”
“Aku dua rius”
“Semaaan..........” Mila memanggil
namaku dengan nada panjang namun lembut dan merdu. “Milaaaaaaaa” Ku balas
dengan sedikit sumbang.
Mila tertawa namun tidak terlalu
keras. Sementara aku, masih memasang wajah letih setengah berkeringat dingin,
serta tidak sabar menunggu kopi susu pesananku. Sesekali aku mendapati wajah
Mila menatapku untuk selanjutnya tersenyum kembali
“Ada apa, Mila?”
“Aku senang, Man” jawab Mila spontan
“Aku senang karena masih bisa bercanda sama kamu”
“Iya, harusnya ada Andi dan yang
lain disini”
“Tidak, Man. Sengaja aku hanya
meminta kamu sendiri kesini” Mila menampakkan wajah serius. “Mungkin setelah
ini, entah kapan bisa begini” Pelan namun pasti, dugaanku semakin jelas bahwa
Mila memang sengaja meminta aku datang supaya bisa berbicara dan bercanda
berdua dengannya.
“Kamu terlihat berbeda hari ini,
Mil” Ucapku sekedar memecah kebuntuan, atau mungkin membelokkan percakapan yang
sudah bisa ku tau arahnya
“Iya, lagi kepengen saja” balas Mila
sambil tersenyum “tidak pantas ya?”
“Loh...... justeru sangat pantas”
“Masak?” Mila tersenyum malu-malu.
Aku baru menyadari bahwa perkataanku
sangat pantas itu adalah kejujuran atau hanya spontanitas, atau pula
kejujuran yang spontanitas? Entahlah, yang ku saksikan Mila hanya bisa tersipu
malu oleh kata-kata itu.
“Man, jika kelak kamu sudah disana,
apa masih ingat denganku?” Tanya Mila padaku dengan nada gemetar. Aku dapat
mendengar dengan jelas setiap tarik dan hembus nafasnya. Mila seperti sedang
menahan sesuatu di dada nya. Ia seakan menahan debur haru dan khawatir akan
kepergianku yang masih rencana kala itu
“Apakah mudah untuk melupakan
teman?” Jawabku “Tidak mudak, Mila”
“Aku takut Man” Imbuhnya
“Sebab?”
“Aku takut rasa kehilangan akan
tumbuh dan besar seiring berjalannya waktu kelak”
“Aku semakin tidak mengerti, Mila”
Aku semakin kebingungan, meskipun sebetulnya aku sudah sangat mengerti jalan
pembicaraan aku dan Mila saat itu.
“Mungkin kedekatan kita memang tidak
lebih dari sekedar sahabat, namun waktulah yang mengajarkan aku untuk
memelihara rasa dalam sudut yang berbeda, Man” Mila tertunduk mengucapkan itu
dengan getaran semakin kuat, bahkan sedikit tersedu. Angin di taman itu seakan
membelaiku untuk menjadi lebih peka, serta mengajarkan Mila untuk belajar
menahan diri. Cukup canggung suasananya. Cukup lama aku dan Mila terdiam, hanya
menikmati satu dan dua lagu anak muda masa itu. Aku tidak bisa berkata,
sementara Mila semakin dalam menunduk, semakin pula ia terdiam. Bila saja salah
dalam menyikapi masalah itu, aku yakin akan kehilangan sahabat seperti Mila di
detik yang sama.
“Aku akan pergi, Mila. Mengapa seperti
ini?” Aku memecahkan suasana hening di taman itu. Meskipun ramai, namun orang
lain hanya ku anggap semacam hiasan saja. Mila hanya diam. Jangankan berucap
kata, ia bahkan tidak mampu mengangkat wajah. “Mila, kita kenal sudah lama,
Mil” namun lagi dan lagi, Mila masih saja terdiam. Aku seperti hanya melihat
patung Mila di hadapanku.
“Man, SAMPAI KAPAN AKU MENUNGGU?”
Pertanyaan Mila sontak membuatku begitu terkejut. Sama sekali tidak menyangka
bahwa Mila akan berucap sedemikian rupa. Maka saat itu justeru akulah yang
terdiam.
“Milaaaa” Panggilku, Mila hanya
menatapku dengan wajah sayu
“Tidak ada yang mengharuskan kamu
untuk menunggu, jika kelak kita berjodoh, aku akan mendatangi. Bukan kamu,
melainkan wali mu” Ucapku dengan nada bergetar “Kita hanya hanya butuh saling
memperbaiki kualitas diri”
Mila tersenyum mendengar semua penjelasanku.
Senyum Mila lebar sekali, selebar mentari siang itu. Setelah mendung, saat itu mentari
kembali bersinar. Selanjutnya percakapan kami begitu panjang dan lama. Lalu
pukul 12.03 aku kembali dengan sepeda tuaku. Mila pun demikian, Motor Matic terbaru
pemberian ayahnya sebagai hadiah ulang tahun yang ke 22, mengikuti di
belakangku. Sampai pada persimpangan jalan kami harus berpisah, lambaian tangan
Mila masih terkenang hingga sore, maghrib, isya, bahkan sampai malam.
***
Malam ini, kopiku sudah semakin
dingin. Tanpa kusadari malam semakin larut, rembulan mengintipku tersenyum,
namun bukan dari pohon mangga Pak Supardjono, melainkan dari sela-sela candi
Budha. Aku mendapati kabar penantian Mila sudah berakhir. Mila dikhitbah oleh
teman sekampusnya yang juga teman ku sendiri. Rembulan tersenyum menatapku,
menyambut baik do’a yang kupanjatkan untuk Mila dan kekasihnya yang
sesungguhnya.
No comments:
Post a Comment