Thursday 23 November 2017

MENUNGGU? HARUSKAH?

The Art of Waiting
Cerpen ini pernah diikutsertakan dalam lomba kepenulisan cerpen oleh penerbit Wahyu Qolbu

Kasih, tidak ada yang mengharuskan kau menunggu, bila berjodoh maka aku yang
akan mendatangi. Bila tidak, sebait do’a untukmu rasanya lebih mulia
Oleh: Haiyudi
======================
            Langit semakin menghitam, melenyapkan senja yang selalu dipuja oleh para penikmatnya. Rembulan semakin meninggi, terkadang bersembunyi di sebalik bongkahan awan. Aku, Seman Yusuf, hanya termenung dalam segelas kopi. Merapuh dalam sejuta bayang masa depan. Memikirkan perihal yang masih “entahlah”. Malam ini, aku duduk di bawah langit dan di atas bumi negeri rantau. Angin malam membawaku kepada kenangan dan menerawang kepada masa lalu dua tahun silam.
***
            “Sampai kapan kamu disana, Seman?” Mila bertanya padaku sedikit bergetar
            “Mungkin hanya dua tahun” Jawabku sambil menyuguhkan senyum termanisku. Walaupun kata mereka senyum ku sedikit pahit, dan aku setuju hal itu.
            Mila, perempuan ayu berjilbab putih ini menurut dunia sekitar adalah kekasihku, entah siapa yang menobatkan. Namun sedikitpun aku tidak merasa bahwa kami adalah sepasang kekasih. Bukan karena aku membenci atau tidak menyukainya. Lebih kepada bagaimana sepasang kekasih menurut Islam yang ku tahu dan ku pahami.
Malam itu, adalah aku, Mila dan Andi sedang duduk rapi diatas tikar purun. Kami berbicara sedikit lebih terbuka tentang banyak hal, dimulai membahas puisi Robert Burns, membedah buku Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945 karya A.M. Fatwa, membedah film Filosofi Kopi yang sedang booming pada saat itu, bahkan sampai membahas lagu terbaru Cita Citata yang entah apa itu judulnya. Namun yang terpenting pula saat itu kami sedang berbicara perihal keberangkatanku. Sebagai delegasi yang akan segera diberangkatkan ke Luar Negeri, pastilah itu akan mengundang banyak percakapan. Ada rasa semacam menjadi terdakwa, menjawab banyak pertanyaan ini dan itu. Namun malam itu aku merasa indah sekali, sebab percakapan kami tak luput dari secangkir kopi, nasi kucing, dan berapa jenis sate ala angkringan. Serta yang paling istimewa adalah bahwa malam itu kami ditemani langit berbintang kota Jogja.
            “Minggu depan sudah fiks, Boi?” Tanya Andi kepadaku.
            “Tidak ada yang bisa menghalangi untuk bercita-cita” Jawabku sambil mengedipkan mata. Sementara Andi hanya menunjukkan wajah persetujuan sambil menganggukkan kepala. Kami bertiga adalah bujang dayang Melayu yang sama-sama melanjutkan studi kala itu. Sama-sama menyukai seni dan yang pasti saat itu kami sama-sama masih sendiri. Tepat di depan ku Mila masih terdiam dan menunduk. Entah apa yang ada dalam pikirannya.
            “Kamu tidak kasihan membiarkannya menunggu, Man”
            Aku hanya tersenyum mendengar kalimat tanya yang dolontarkan Andi kepadaku. Namun tidak dengan Mila, ia tetap saja membisu, menunduk dengan nafas tidak teratur. Tidak biasanya Mila diam sedemikian lama. Menunduk sedemikian jauh dan dalam.
            “Apa yang sudah kau persiapkan, Man?”
            “Masih terlalu dini untuk berkemas-kemas” Jawabku sambil tersenyum
            “Bukan itu, maksudku, mempersiapkan mental misalnya” Andi meminta tambahan kopi hitam kepada bapak Angkringan
            “InshaAllah sudah siap, sudah mendapat pembekalan bahasa dari kampus juga kok”
            “Begitu?”
            “Negeri yang kan ku datangi tidak teramat jauh dari Indonesia, masih tetangga”
            “Untuk masalah hati?” Tanya Andi sambil tersenyum dan melirih ke Mila “Jangan terlalu lama, nanti ada yang rindu” Sambungnya semakin tidak tahu diri. Ku perhatikan Mila sedikit mengangkat muka dan tersenyum menatapku. Aku bingung.
            “Ada apa Mila?” Tanyaku dengan nada pelan.
“Tidak apa-apa. Jaga diri baik-baik bila kelak sudah disana”
“Jangan khwatir, aku sudah besar”
“Bahkan sudah tua” Sambung Andi tersenyum, Mila tertawa kecil dan pelan
“Seperti kau tidak tua saja, bukankah umurmu sudah mencapai 25”
“Kan belum 26” Andi adalah yang tertua dari kami karena tidak naik kelas 3 kali semasa di bangku Sekolah Dasar. Namun demikian bukanlah karena bodoh, melainkan nakal.Sehingga dikeluarkan di beberapa sekolah di Batam.
“Lalu?” Kami bertiga tertawa, dan itu pertama kuliat Mila tertawa bebas malam itu. Banyak lagi percakapan kami yang mengundang tawa
Jauh dari dalam lubuk hati, akupun sebetulnya merasa canggung hendak bertutur dengan Mila malam itu. Tidak serupa dengan malam-malam sebelumnya yang selalu timbul diskusi hangat dari kami, entah mengapa malam ini tidak demikian. Malu rasanya pada rembulan. Rembulan itu terus bertengger di ranting pohon mangga Pak Supardjono si pemilik angkringan. Ia semakin meninggi, meninggalkan kami bertiga dalam percakapan yang semakin dingin. Mila berpamit pulang ke rumahnya yang tidak jauh dari Keraton Yogyakarta. Andi juga pulang ke kontrakannya, pun jua aku, pulang dengan sepeda tua yang ku beri nama Paino menuju kosan.
Di sisi lain, ku perhatikan Pak Supardjono menggulung tikar purun tempat kami duduk malam itu. Itu tandanya malam sudah menunjukkan pukul 11.00. Sebab aku kenal betul siapa pak Suparjono. Bila saja  masih pukul 10.59, dia tidak akan menggulung tikarnya. Ia terkenal sebagai bapak On Time untuk masalah jualan, terlebih menagih hutang kepada mahasiswa langganan.
Malam semakin gelap, sejuta tanda tanya sedang menggantung di kepalaku. Tangan ku letakkan diatas kening. Sayup-sayup ku dengar sinden Jawa mengalun. Malam membawaku ke alamnya. Aku terlelap dalam selimut gelap, di musim hujan kala itu.
***
            “Man, bisa temui aku di Perpustakaan Daerah nanti siang jam 9?” Sebuah pesan singkat dari Mila. Pesan itu datang begitu pagi, serasa embun saja masih pulas di dedaunan hijau. “Oke, Mila. J” Balasku singkat.
            Pukul 8.58 aku tiba di Perpustakaan Daerah. Sudah ku perhitungkan, aku akan masuk ke pintu PERPUSDA tepat pukul 9.00. Jiwa pak Supardjono rupanya sudah mendarah daging dalam tubuhku. Mungkin berkat kopi pahitnya yang kuminum (hampir) setiap malam
“Kamu dimana?”
            “Dalam, blok A, bagian sastra Jerman bangku nomor 3 deretan ke empat” Kurang dari satu menit pesan singkatku sudah terbalas. Aku menuju kedalam, dan ku saksikan Mila menggunakan gamis merah jambu, jilbab panjang berwarna putih. Aku sedikit ragu, sebab hari ini ia lebih mirip anak rohis dibandingkan anak sastra. Namun demikian, aku senang.
            “Bisa berbicara sebentar?”
            “Aku sudah disini, Mila. Tentu saja bisa” Jawabku sambil tersenyum
            “Aku bawakan buku The Count of Monte Cristo untuk mu, yang ini untuk ku. Kita berbicara di taman saja ya” Mila menunjukkan buku kumpulan puisi pilihan padaku sambil senyum. Aku tau betul Mila adalah penggemar puisi. Sama sepertiku. Bahkan kami berdua adalah penggemar berat Sapardi Djoko Damono.
            Mila memintaku berjalan didepan, sedangkan aku meminta Mila duluan. Habis kata-kataku untuk mendeskripsikan betapa susahnya aku waktu itu. Hingga pada akhirnya, istilah “lady’s first” kalah dengan An-Nisa 34. Aku melangkah didepan selanjutnya memilih bangku yang agak berjarak namun tetap berdua, selanjutnya memesan minuman, selanjutnya aku pula yang harus memulai percakapan. Saat itu aku merasa sedang diuji oleh Mila.
            “Ada apa, Mila?”
            “Man, maaf kalau semalam suasananya tidak enak” Mila memasang wajah bersalah
            “Hanya itu? Kau harus meminta maaf sama Pak Supardjono juga”
            “Loh mengapa begitu?” Mila kebingungan mendengar ucapanku
            “Beliau terlihat canggung karena wajahmu semalam”
            “Seman, aku sedang serius”
            “Aku dua rius”
            “Semaaan..........” Mila memanggil namaku dengan nada panjang namun lembut dan merdu. “Milaaaaaaaa” Ku balas dengan sedikit sumbang.
            Mila tertawa namun tidak terlalu keras. Sementara aku, masih memasang wajah letih setengah berkeringat dingin, serta tidak sabar menunggu kopi susu pesananku. Sesekali aku mendapati wajah Mila menatapku untuk selanjutnya tersenyum kembali
            “Ada apa, Mila?”
            “Aku senang, Man” jawab Mila spontan “Aku senang karena masih bisa bercanda sama kamu”
            “Iya, harusnya ada Andi dan yang lain disini”
            “Tidak, Man. Sengaja aku hanya meminta kamu sendiri kesini” Mila menampakkan wajah serius. “Mungkin setelah ini, entah kapan bisa begini” Pelan namun pasti, dugaanku semakin jelas bahwa Mila memang sengaja meminta aku datang supaya bisa berbicara dan bercanda berdua dengannya.
            “Kamu terlihat berbeda hari ini, Mil” Ucapku sekedar memecah kebuntuan, atau mungkin membelokkan percakapan yang sudah bisa ku tau arahnya
            “Iya, lagi kepengen saja” balas Mila sambil tersenyum “tidak pantas ya?”
            “Loh...... justeru sangat pantas”
            “Masak?” Mila tersenyum malu-malu.
            Aku baru menyadari bahwa perkataanku sangat pantas itu adalah kejujuran atau hanya spontanitas, atau pula kejujuran yang spontanitas? Entahlah, yang ku saksikan Mila hanya bisa tersipu malu oleh kata-kata itu.
            “Man, jika kelak kamu sudah disana, apa masih ingat denganku?” Tanya Mila padaku dengan nada gemetar. Aku dapat mendengar dengan jelas setiap tarik dan hembus nafasnya. Mila seperti sedang menahan sesuatu di dada nya. Ia seakan menahan debur haru dan khawatir akan kepergianku yang masih rencana kala itu
            “Apakah mudah untuk melupakan teman?” Jawabku “Tidak mudak, Mila”
            “Aku takut Man” Imbuhnya
            “Sebab?”
            “Aku takut rasa kehilangan akan tumbuh dan besar seiring berjalannya waktu kelak”
            “Aku semakin tidak mengerti, Mila” Aku semakin kebingungan, meskipun sebetulnya aku sudah sangat mengerti jalan pembicaraan aku dan Mila saat itu.
            “Mungkin kedekatan kita memang tidak lebih dari sekedar sahabat, namun waktulah yang mengajarkan aku untuk memelihara rasa dalam sudut yang berbeda, Man” Mila tertunduk mengucapkan itu dengan getaran semakin kuat, bahkan sedikit tersedu. Angin di taman itu seakan membelaiku untuk menjadi lebih peka, serta mengajarkan Mila untuk belajar menahan diri. Cukup canggung suasananya. Cukup lama aku dan Mila terdiam, hanya menikmati satu dan dua lagu anak muda masa itu. Aku tidak bisa berkata, sementara Mila semakin dalam menunduk, semakin pula ia terdiam. Bila saja salah dalam menyikapi masalah itu, aku yakin akan kehilangan sahabat seperti Mila di detik yang sama.
            “Aku akan pergi, Mila. Mengapa seperti ini?” Aku memecahkan suasana hening di taman itu. Meskipun ramai, namun orang lain hanya ku anggap semacam hiasan saja. Mila hanya diam. Jangankan berucap kata, ia bahkan tidak mampu mengangkat wajah. “Mila, kita kenal sudah lama, Mil” namun lagi dan lagi, Mila masih saja terdiam. Aku seperti hanya melihat patung Mila di hadapanku.
            “Man, SAMPAI KAPAN AKU MENUNGGU?” Pertanyaan Mila sontak membuatku begitu terkejut. Sama sekali tidak menyangka bahwa Mila akan berucap sedemikian rupa. Maka saat itu justeru akulah yang terdiam.
            “Milaaaa” Panggilku, Mila hanya menatapku dengan wajah sayu
            “Tidak ada yang mengharuskan kamu untuk menunggu, jika kelak kita berjodoh, aku akan mendatangi. Bukan kamu, melainkan wali mu” Ucapku dengan nada bergetar “Kita hanya hanya butuh saling memperbaiki  kualitas diri”
            Mila tersenyum mendengar semua penjelasanku. Senyum Mila lebar sekali, selebar mentari siang itu. Setelah mendung, saat itu mentari kembali bersinar. Selanjutnya percakapan kami begitu panjang dan lama. Lalu pukul 12.03 aku kembali dengan sepeda tuaku. Mila pun demikian, Motor Matic terbaru pemberian ayahnya sebagai hadiah ulang tahun yang ke 22, mengikuti di belakangku. Sampai pada persimpangan jalan kami harus berpisah, lambaian tangan Mila masih terkenang hingga sore, maghrib, isya, bahkan sampai malam.
***

            Malam ini, kopiku sudah semakin dingin. Tanpa kusadari malam semakin larut, rembulan mengintipku tersenyum, namun bukan dari pohon mangga Pak Supardjono, melainkan dari sela-sela candi Budha. Aku mendapati kabar penantian Mila sudah berakhir. Mila dikhitbah oleh teman sekampusnya yang juga teman ku sendiri. Rembulan tersenyum menatapku, menyambut baik do’a yang kupanjatkan untuk Mila dan kekasihnya yang sesungguhnya.

No comments:

Post a Comment

Pigura