Thursday 21 January 2016

Sebuah Persimpangan


Ismi, aku tertawan rindu padamu setiap waktu. Apabila mendung dan hujan, ku tau kau lah mentari. Sebab meski sembunyi, kau ada.

Zamri pergi meninggalkan Ismi, akan tetapi berlalunya waktu, Ismi mulai merasa terbiasa. Ismi memahami jika ini hanya perpisahan secara jarak dan masa, yang mana hanya  ahli matematika dan fisika yang pandai menghitungnya. Sedang Ismi dan Zamri adalah sarjana bahasa, sehingga tidak ada kekhawatiran dalam jarak dan masa.

Ismi, ketahuilah; Zamri bersabda (lagi), begini;
Aku bersyukur bisa meninggalkanmu.
Aku bersyukur bisa jauh darimu.
Aku bersyukur karena tidak bisa menyaksikan senyummu.
Aku bersyukur karena tidak mendengar tawamu.
Aku bersyukur tidak disisimu setiap waktu, sebab;

         Rindu ini tidak akan membunuh, rindu ini akan semakin hidup, tumbuh dan berakar. Tetapi dengan berpisah, kita akan paham kemana larinya ketika kita sedang rindu. Kadang ketika jatuh cinta bibir terlalu terburu-buru mengungkapkan, lidah senantiasa selalu menggoreskan. Sesungguhnya tanpa lidah dan pena cinta itu lebih suci. Percayalah do’a tidak akan kehilangan tuah dimata Allah. Jalan kita sudah lurus, hanya saja masih panjang.

Ismi, aku hanya berharap suatu saat bisa mengungkapkan “Apabila itu tentangmu, aku bisa mendengar yang tak kau ucapkan, mengerti yang tak kau jelaskan”


—Zamri Haidir—

No comments:

Post a Comment

Pigura