Friday 27 February 2015

Sajak untuk wanitaku

Dari tulang rusuk lah kau diciptakan
bukan kepala
sebagai atasan
pun bukan kaki
untuk direndahkan
melainkan dari satu sisi
untuk dijadikan pendamping

Dekat dengan tangan
untuk dilindungi
Pula dekat dengan hati
untuk dicintai

Jogja, 27 februari 2015
Yudhi Hyd

Tuesday 24 February 2015

Mudik (ora)?

http://images1.rri.co.id/thumbs/berita_94407_800x600_Onthel.jpg
Yeeeyy 21 januari yang lalu liburan kampus. Waktunya berlibur dan pulang kampung, setelah 2,5 tahun tidak menginjakkan kaki disana. Senang dan semangat menjadi kaki kanan dan kiri. Dor..... aaaaaakkkk...... ternyata aku bukan lagi mahasiswa. Lalu ini masihkah namanya liburan? hehe jelas iya, karena saat ini saya masih tidak berbeda dengan mahasiswa. 
Tinggalkan saja dimana dan apa kerjaanku saat ini. Pulang kampung, adalah tradisi yang dipegang erat bagi mereka yang hidup merantau. Belitung merupakan pulau dimana hati ini dilatih untuk menjadi perantau sejati. Sejak SMA aku sudah tidak lagi seatap dengan dia yang melahirkan ku. Ibu, sang malaikat tak bersayap yang nyata bukan layaknya peri dalam dunia hayalan. Bapak, superman yang tanpa topeng, ia hanya memiliki pacul tuk membangun sebuah atau dua buah ladang. Kuat bagiakan Little Krisna. :-) ku yakin mereka telah menerima penghargaan dari alam dimana mereka berkarya.
Sejak pertama kuliah, bapak dan ibu hanya membekaliku dengan sedikit modal nekad. Bagaimana tidak, ketika dunia kerja sudah diambang mata, kelulusan SMA sudah menjadi nyata. Tak disangka dan tak diduga tawaran untuk menyambut bangku kuliah kini telah menjadi fakta. Sejak itu tak ada kata dari bibir, hanya getar dalam hati, dengan sebuah kalimat tanya "mimpikah ini?". Wajah letih bapak yang saat itu diselimuti semangat untuk melihat anaknya memakai toga kini tepat didepan mata.
"mau kuliah dimana?" wajah itu bertanya layaknya tanpa beban.
"sebentar pak, saya tanya-tanya dulu" semangat yang bapak tularkan kini ada padaku.
Tak lama berselang, aku harus memilih tempat kuliah yang pas. Jogja merupakan pilihan tepat karena saat itu dan "kini" Jogja masih dikenal sebagai kota budaya dan kota pelajar. 
Sejak awal kuliah tekad ini sungguh kuat. Tak ayal semangat ini sering menjadi pegangan mereka yang membutuhkan. Dalam hati berniat "aku harus lulus tepat pada waktunya dan tidak pulang sebelum wisuda". Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun hingga  tiba kini aku diujung lorong waktu dimana toga yang dulu bapak harapkan siap dikenakan. Bahagianya tak kurang satupun sampai ku kabarkan 16 Agustus 2014 aku kan wisuda, setelah menjalani proses jatuh bangun selama kurang lebih 4 tahun.
Kembali aku bertarung dengan sang waktu, berharap sebuah kajaiban setelah terdengar sayup haru oleh angin pulau Pongok. Oh iya.. pongok merupakan nama tempat dimana keluargaku menaruh hidup dan kehidupan. Pelan pelan ku dengar keadaan keluarga yang yak memungkinkan untuk hadir ditengah hari yang ku hitung tepat 4 tahun sejak duduk dibangku kuliah. Senyum? sungguh tak lupa untuk hal satu itu. Mencari selimut untuk sembunyikan sedih. Mencari hati tuk sembunyikan hati. Bagaimana tidak, detik itu menderu semakin dekat hingga suatu pagi ku terbangun oleh riuh gaduh tetangga kost yang siap siap ingin di wisuda. Ohhhhhhh ternyata aku juga. :-). Dimana mereka? ku berlari menuju sebuah ruangan yang ku ingat disitu ada keluargaku. Benar saja... ternyata keajaiban itu ada. Disana ada keluarga yang hadir dan sedang bersiap hadir pada upacara wisudaku. :-). "selamat datang" ku ucapkan seraya membuka tabir kenyataan yang ku rias dalam mimpi semalam. Mereka keluarga memang, namun bukan bapak atau ibuku. Tak apa, senyumlah selalu sebagaimana pesan ibu.
Hitungan waktu kini semakin berada dalam dimensi terkecil. Bukan lagi bulan apalagi tahun. Kini hitungannya tinggal detik. Jujur saja sampai pada sedetik sebelum menaiki podium didepan rektor, aku masih berharap wajah itu hadir ketika membalikkan badan ditengah keramaian upacara. 
Hmmmhhh sudahlah. aku mau mudik saja. Kembali menghitung mundur waktu. Sejak diwisuda, tradisi mudik sudah hancur dalam diri ini. tak ada nama pulang kampung (maunya). Sejak itu pula memutarkan otak tuk bertahan dalam gemerlap kota Pelajar ku putuskan. Sampai pada 20 januari rasa rindu ini mencapai puncaknya. Benar saja begitu banyak berbelit jalanku untuk memutuskan pulang. Rasa takut terjebak nyaman dalam sebuah kampung halaman menjadi penyebab. Bukan tak mau, hanya karena ku pahami area dan "track record" disana. 
"Bapak sakit" 
Sejak itu tanpa berpikir ulang, ku berlari menuju agen sebuah maskapai. Tepat besok pagi aku harus pulang kampung. Manambah rindu akan sebuah raut wajah. Senandung rindu ini kian berkecamuk bercampur khawatir terhadap malaikat tanpa sayap dan supermen tanpa topeng. :-)
"Pulanglah nak" sungguh itu membuat mata menangis.
_____Bu, anakmu pulang terlambat, tutup saja pintunya, namun jangan dikunci.

Pigura