Putra tersebut sedang berusia 3 tahun. Masih terlihat jelas rona bahagia
sang bapak karena anaknya kini kian tumbuh besar. Dipeluknya erat anak tersebut
karena udara semalam masih menyisakan embun dipagi itu. Acap kali sang anak
bertanya deangan bapaknya
“Pak, itu burung apa” sang anak
bertanya kepada bapaknya sambil melihat burung diatas pohon rambutan didepan
rumah
“itu namanya burung kelayang”
jawab sang bapak sambil memeluk putranya dengan kasih sayang.
Berulang kali sang anak bertanya tentang nama burung itu. Mungkin ada
sekitar belasan pertanyaa yang diberikan oleh anak tersebut kepada bapaknya.
Semua pertanyaan tersebut adalah sama. Dengan sebanyak itu pula sang bapak
menjawab pertanyaan putranya dengan sabar. Tanpa marah sedikitpun. Malah
dijawab sambil memeluk erat si putranya itu.
Berlalunya waktu tanpa terasa anaknya sudah tidak lagi berumur 3 Tahun.
Anaknya sudah menduduki bangku SMP dan mulai beranjak remaja. Kasih sayang sang
bapak tidak sedikitpun berkurang. Sama seperti orang tua yang lain. Bertumbuhnya
usia sang anak kiti seakan tidak dirasa. Hingga ia membelikan sepeda untuknya
bersekolah. Berbagai liku kehidupan dalam sebuah keluarga kecil itu terjadi.
Hingga satu hari ia menyadari sang anak
kini telah tumbuh menjadi anak yang remaja. Ketika anaknya belum pulang sekolah
padahal jam sekolah sudah terlewati sekian lama, perassannya kian menjadi kacau.
Pada saat itu anaknya sekolah di sebuah SMP dengan waktu dimulai siang hari
hingga sore hari. Anaknya tidak sendiri, ada 6 orang siswa lain kini yang
mengayuh sepeda bersamanya.
Sore itu anaknya belum juga datang sekolah, hingga jarum jam menunjukkan
angka 7 tanpa matahari terbit alias jam 7 malam. Perasaan gundah seorang ayah
kini kian kuat. Bukan tanpa alasan, kekhawatiran tersebut memiliki alasan yang
kuat mengingat medan yang dilewati begitu terjal. Bagimana tidak, hutan
sepanjang 6 Km mereka lewati setiap hari menjadi kekhawatiran setiap orang tua
yang menyekolahkan anaknya disana. Tidak terkecuali bapak muda yang beranjak
tua tersebut. Hingga melewati batas kegundahannya, bapak muda tersebut
menunggangi sepeda Phoenix kesayangannya
untuk memastikan apa yang terjadi pada anaknya.
“Bu, bapak menyusul anak anak dulu,
kok jam segini belum juga sampe rumah” ucap sang bapak muda kepada istrinya yang juga semakin gundah.
“iy pak, cepat dipastikan anak-anak itu, kok belum juga pulang” ucap ibu
muda yang tidak kalah gundahnya
Dengan sepeda tuanya yang dihiasi rasa gundah, sang bapak kini semakin kuat
menggenjot pedal sepedanya hanya ingin memastikan putra kecilnya dulu. Dimana
dia? Ada apa dengannya? Mengapa kini beum tampak dimatanya? Begitu banyak
pertanyaan yang berkecamuk dalam kepalanya. Hingga ditengah perjalanan sang
bapak menghentikan sepedanya dengan keringat bercucuran di kening tengah
bayanya. Oh... alangkah sayangnya sang bapak kepada anaknya hingga setengah
perjalanan ia memastikan keadaan si putranya. Setelah ditemui, keringat sang
anak membuktikan bahwa rasa letih nya kian ada. Ternyata salah satu dari 6 sepeda
anak tersebut tersebut mengalami putus rantai sepeda. Dengan modal setia kawan,
kelima teman anak tersebut turut menuntun sepedanya. Termasuklah si putra bapak
yang setengah baya tersebut.
Perasaan lega terpancar jelas di wajah bapak tersebut, kini tak ada lagi
gundah dihatinya. Semua pertanyaan yang selama ini berkecamuk dikepalanya sudah
terjawab. Perasaan senangpun kian muncul bercampur perasaan bangga melihat
kekompakan yang muncul dari ke-6 anak manusia tersebut. Dengan santai sang
bapak ikut menuntun sepeda tuanya hanya karena ingin melihat dan bergabung
dengan kekompakan si anak. Dengan perasaan bangga sng bapak tersenyum dan
bergumam dalam hati “syukurlah anak-anakku tidak kurang satu apapun”
Sampai dirumah sang bapak langsung menuju sumur dan menimbakan air untuk anaknya mandi. Sungguh
tanpa lelah ia menyiapkan segalanya. Dan ibu yang sedari tadi menyiapkan makan
malam. Setelah mandi mereka makan malam dengan ditemani lampu neon sebagai
media penerangan. Meskipun tertunda, namun makan malam mereka tidak kurang satu
apapun, malah bertambah bumbu keharmonisan dalam keluarga kecil itu.
Hari berganti bulan, bulan berganti tahun, tibalah waktunya sang bapak kini
harus melepas putra nakalnya. Bukan melepas ke hutan, karena itu memang dunia
mereka. Namun kini harus melepas kekota. Sampai tanpa terasa sang putra kini
tidak sendiri, hadir pula seorang putri kecil sebagai penghias rumah. Sebagai teman
sang ibu untuk bercanda. Hingga ketika putra kecilnya dulu melangkah kan kai ke
kota, mereka tidak terlalu kesepian.
Dalam kesehariannya sang bapak terus saja kekebun ladanya untuk sekedar
membunuh waktu. Belum sewindu namun sudah rindu. Bapak yang dulu dengan sabar
memapah putranya untuk belajar berjalan, kini tidak tampak lagi wajah kecil itu.
Sampai pada satu hari ia menerima telpon dari sang anaknya
“Pak, sekolah meminta bapak untuk datang
dalam pengambilan rapot” ucap
putranya yang kini hanya terdengar lewat telpon.
“Kapan bang? Memangnya tidak bisa
diwakilkan? Minta paman yang datang bisa tidak?” seraya mengajarkan kepada putrinya agar memanggi
putra kecilnya dulu dengan panggilan abang.
“Minggu depan pak, kata kepala
sekolah akan lebih baik orang tua sendiri yang datang” jawab sang putanya dengan sopan
“oohhh baiklah, diusahakan bapak datang yah” demikian sang bapak menjawab
sambil menenangkan hati si putranya.
Bagai ditampar, kini sang bapak yang dulu masih muda, kini kian merasa tua.
Jelas, karena kini juga ia menyadari kalau putra kecilnya dulu sudah beranjak
dewasa. Ternyata saat ini dia sudah menduduki bangku kelas 3 SMK. Jelas sudah
kalau usia bapak muda itu kini beralih semakin tua. 5 menit setelah berbicara
pada anaknya ia sempatkan untuk merenung sambil bergumam
“ternyata putra kecilku dulu kini sudah beranjak remaja. 3 tahun sudah ia
jauh dariku. Tak kulihat lagi tangisnya yang dulu. Pun begitu dengan tawanya. Bagaimana
kabarnya sekarang? Masihkah kecil seperti tempo hari? Atau sudah lebih tinggi
dari aku?” Demikian gumamnya dalam hati.
Suatu pagi, matahari yang tidak juga muncul karena keangkuhan sang cuaca
dan awan gelap. Benar saja, pagi itu begitu gelap, namun kapten kapal nelayan
memberikan kode seakan jangkar siap diangkat. Sang bapak nekad untuk memenuhi
panggilan sekolah untuk mengambil rapot anaknya pada besok hari. Dengan
menumpang satu-satunya transportasi yang memungkinkan itu ia tetap memberikan
senyum. Dermaga pulau pongok menjadi saksi betapa rasa rindu dan cinta sang
bapak begitu besar terhadap putranya. Bukan tidak khawatir dengan ketinggian
gelombang, namun cinta pada putranya melebihi kekhawatiran itu. Bukan tidak
takut melihat ombak didermaga yang kian tinggi, namun rindu pada anaknya telah
menyembunyikan pisau ketakutan itu.
Setelah meewati perjalanan laut kurang lebih 6 jam, dengan kepala pusing
akhirnya ia tiba didermaga Tanjungpandan belitung. Sebisa mungkin ia
menyembunyikan kabar yang tak enak selama didalam kapal. Benar saja, diantara
banyak penumpang kapal nelayan tersebut, ada seorang remaja putra yang
mengalami pusing yang tak terhingga. Sampai pada titik puncaknya ia pun muntah
diatas tubuh bapak tengah baya itu. Inginrasanya marah, namun remaja itu
menginatkan ia pada tujuannya berangkat. Ia membayangkan wajah yang sekian lama
tidak ia lihat. Wajah yang dulu sering ia ajak melihat burung kelayang didepan
rumahnya. Oleh karena itu amarahnyapun redam dan berpura seolah tidak terjadi
apa apa. Meskipun dari bercak kemejanya terlihat jelas oleh sang anak bekas
muntahan seorang remaja putra.
Keesokan harinya, iapun pergi kesekolahan si putranya. Bedanya dulu ia yang
membimbing putranya itu dan mengantarkannya dengan sepeda tua ketika SD.
Sekarang kembali putranya memimpin langkah untuk menuju sekolah yang ia lihat
baru baginya. Dulu putra kecilnya menggunakan seragam kerah putih, kini sudah
beralih menggunakan putih abu abu. Sampai pada giliran nama putranya dipanggil,
wajahnya sungguh sumringah. Mendapati nilai putranya yang kian memuaskan.
Yaaahh... mungkin rasa rindu dan sayang atas putranya menjadi bumbu penyedap
senyum atas nilai yang ada ditangannya.
Karena kebunnya kian dirindukan, serta ia megitu dibutuhkan oleh tanaman
yang ada dikebunnya, iapun garus meninggalkan putranya dan kembali ke rumah.
Sama seperti pergi, kembali pun ia menggunakan kapal nelayan yang kian semakin
mengerikan untuk ditumpangi. Bukan karena rusak, namun cuaca memang kini sedang
tidak bisa bersahabat. Gelap dilautan lebih menakutkan jika dibandingkan gelap
di gunung. Yahh mengertilah maksudku.
Dan hari ini, tepat di gedung ini. Tempat dimana jutaan mahasiswa di
wisuda. Tempat yang dulu dan hingga kini dikenal kota pelajar dan kota budaya.
Ada seorang anak yang rindu akan ayahnya. 3 Maret 2015 pagi, putra kecil
kesayangan sang bapak kini berada di antara ratusan manusia. Mengantri digedung
Imigrasi Yogyakarta. Bisa ditebak bukan, orang pribumi berurusan ke kantor
imigrasi. Yah... dia berdiri di line
antrian dengan membawa status pemohon untuk penerbitan paspor. Putra kecil sang bapak dulu kini sudah berdiri dan
tertunduk hormat dikota budaya ini. Bukan tentang mau kemana ia pergi dengan
paspornya itu, namun tentang sebuah kenangan yang ada ditengah hujan angin
kemaren.
Ditengah antrian yang kian memanjang, ada seorang bapak yang kian menua
dengan menggendong putra kecilnya. Dengan penuh kasih sayang bapak dan anaknya
berbicara
“Pak, itu burung apa?” tanya anak kecil itu.
“itu burung gereja” jawab sang bapak, dengan penuh kasih sayang dan pelukan
Pertanyaan yang sama juga bukan hanya sekali itu, namun berkali kali anak
kecil itu bertanya. Sebanyak itu pula sang bapak menjawab dengan kasih sayang,
tanpa memarahi anaknya sedikitpun. Sontak kejadian itu mengingatkan seorang
anak yang kini rindu akan bapaknya. Mungkin kini tak semuda bapak itu. Yang pasti anakmu kini kian rindu.
Yogyakarta, 3 Maret 2015 oleh Yudhi
Doank
__Bapak, anakmu kini kian jauh,
mungkin kan menjelajah dan keluar dari negeri antah berantah ini. Cerpen ini
didedikasikan untuk Bapak yang jauh disana. Putramu kian sayang dan rindu.
No comments:
Post a Comment