Jangan berteman dengan jarak dan
waktu jika takut berjumpa rindu. karena ia adalah anak dari keduanya –Yudhi
Doank—
Yogyakarta, ketika itu dan hingga
kini masih tetap menjadi kota istimewa. Entah dilihat dari sudut pandang yang
mana. Bukan karenaa susah dicari letak keistimewaannya, namun karena sulit
membedakan yang mana yang tidak istimewa dari kota itu. 4,5 tahun hidup
berdampingan dengan berjuta kenangan dikota budaya itu, sampai diri ini kian
tak ingat kampung halaman. Kota yang begitu istimewa, kota yang begitu
bersahaja serta kota yang kian menyiksa. Benar saja, hingga detik ini begitu
banyak sarjana diwisuda disana. Namun tak sedikit dari mereka terjebak indah
diadalamnya. Tersiksa bukan? Deraan yang datang dari orang tua untuk meminta
kembali. Deraan dari keluarga yang terus bertanya kapan pulang lagi. Deraan
dari tetangga yang mengatakan “kian lupa dengan kami”
Hujan malam itu kian deras,
butirannya kian tak terbendung oleh baju hujan yang umum dipakai pengendara
roda dua. Isyarat kasih tentang Jogja terukir ketika malam. Duduk berdua
diangkringan seraya menikmati sajian Mas Rudi sepertinya menjadi kebanggan
tersendiri. Pilihan tepat untuk mengukir sebuah kengangan memang tidak harus
mewah. Angkringan dan gelap malam telah membuktikan. Malam itu sebuah janji
untuk kain bersua dilayangkan. Berdiri termenung didepan kamar yang kini kian
kosong membuyarkan lamunan tentang satu nama angkringan. Teingat akan janji
menitipkan sebilah ilmu dalam bentuk buku. Dimana akan ku taruh? Bagaimana akan
ku titipkan? Kapan lagi waktu untuk ku berjumpa sang pemilik rindu? beribu
pertanyaan yang kian tak terjawabkan. Mungkin ruang sederhana kala itu bosan
melihat si empunya yang kian berjalan tak terarah. Turun naik, keluar masuk,
bahkan ngomong sendiri juga sepertinya dilakukan.
“jika tidak bisa malam ini, besok pagi pagi saja nitip bukunya” kalimat
yang kian menghancurkan malam. Ingin rasanya marah, namun sama siap? Marah sama
hujan? Alangkah bodohnya. Palang pintu rumah kost mungkin ikut menangis melihat
si empunya yang kian bersedih. Marah sendiri bukan solusi, menahan diri
sepertinya menyakitkan hari. Nekad? Yaaaa....
malam itu nekad keluar dengan memakai baju hujan bapak kost. Tanpa izin?
Tak mengapa, karena beliau begitu baik. “aku
kesana sekarang ya” isyarat bulan dalam hujan kian bersinar, karena
pantulan cahaya kota Jogja yang tak pernah padam. Ketika sampai pada satu
pintu, bibir kian tersenyum, meski lidah kian kelu dan kaki lelah menunggu. Memang
benar, bunga tak selamanya mekar dan indah, namun selama pohonnya hidup, akan
muncul bunga baru ketika musim bercumbu dengan waktu. Begitu pula dengan
kekesalan, tetap saja namanya kekesalan yang beradu dalam api menunggu yan,
diatas wajan rindu yang tak bertungku. Namun ketika bertemu wajah pemilik
rindu, sumua seakan sahdu, merdu bahkan kecewa pun kini enggan muncul dari raut
muka. Iya.. malam itu kami bertemu,
bahkan sampai pagi, hanya berbeda alam yaitu alam mimpi.
Pagi ini, kota indah nan istimewa
ini mengajarkanku arti keberadaan, arti meninggalkan, arti pertemuan serta arti
perpisahan. Wiwi –adik sepupu yang kian setia—mengirimkan pesan sebagai
pengingat bagiku untuk bangun pagi. “PING!!!
PING!!! PING!!!” pesan yang kian
mengandung multi tafsir. Namun itulah kemampuhan dari dunia tekhnologi. Pesan
itu mengisyaratkan bahwa harus bangun. Meskipun sedikit terlambat, niatnya
cukup ku apresiasi dengan sedikit berpura seakan aku bangun karena PING!!!
Darinya. 2 jam sebelum PING!!! Itu datang mata ini sudah kian melebar. Bahkan
badan kian wangi dan bersih.
“Waktu terasa semakin berlalu..
tinggalkan cerita tentang kita.....
akan tiada lagi kini tawamu..
tuk hapuskan semua sepi dihati...
tinggalkan cerita tentang kita.....
akan tiada lagi kini tawamu..
tuk hapuskan semua sepi dihati...
Alunan merdu suara ariel begitu
cocok dengan nuansa hening pagi ini. Semua benda seakan mati. Jarum jam
ditembok menunjukkan angka 8.50 yang artinya tinggal 3 ham lagi semua akan
berubah. Bukankah hidup ini begitu indah ketika menunggu apa yang diinginkan?
Sepertinya sangat tepat. Inilah mimpi yang kian ku tunggu sejak kelulusan
sarjana dulu. Hanya saja semua terhalang restu. Ibu, ia tidak begitu paham
memang tentang seluk beluk dunia, tapi satu bagian dunia yang begitu berarti
baginya yaitu anak. Namun satu pelukan sepertinya begitu ampuh untuk meminta
doa dan restu darinya. Kini sempat dilayangkan sepucuk surat pendek lewat
angin. Sepotong kasih dalam ucapan terimakasih. Seutuh sayang dalam rangkaian
kata. Namun kian tak berbalas.
Sedari bangun tidur hingga subuh,
begitu banyak pesan yang kian dilayangkan, namun kian tak berbalas. Beralih
kepada panggilan telfon, namun juga kian tak bisa. Yahh.. benar saja, ibu dan
keluarga memang tidak disampingku pagi itu, mereka ada diseberang dunia kecil
Indonesia. Dipulau yang kian kecil dan masih terpencil. Padang Keladi, Pongok,
yang merupakan pulau dimana mereka berada. Pulau yang mengandung banyak
penduduk namun dari berbagai mangsa. Bangsa manusia salah satunya. Detik itu
kini kan melaju, berpacu dan berbanding lurus dengan langkah kaki ini untuk
meninggalan alamat yang setengah palsu ini. Alamat kost, Jl. Perintis
Kemerdekaan, Gg. Mangga.
Kembali kepada pemilik rindu,
bukan hanya keluarga yang notaben
bapak dan ibu. Namun sesosok makhluk astral
yang anggun mirip ibu. Sembari resah
menunggu kabar dari ibu yang sedari subuh tidak bisa dihubungi, ingat akan
rindu semalam yang memberi wajah kian merdu.
Milea, aku pergi
“Kamu beneran ga bisa datang?”
sepucuk surat cinta berjenis elektronik kian melayang dengan sendirinya. Ajaib memang
(kata orang awam). Pagi ini, bersama seorang teman, kaki kami bertekad
melangkah namun bukan meninggalkan seperti yang ku katakan. Ternyata kini juga
belajar menitipkankan, belajar percaya dan yakin pada satu doa. Sungguh perjalanan
ini memang masih panjang. Kini hidup bagaikan dalam sebuah trowongan yang
gelap, namun percaya atau tidak, semua trowongan akan menemui ujungnya. Akan ada
setitik cahaya dalam sebuah kegelapan, bahkan dari kejauhan akan segera tampak
nantinya. Thailand, begitu manis kata itu untuk diucapkan. Namun masa itu
sangat sulit tuk ku bayangkan kalau pagi ini kami melangkah ke Kuala Lumpur,
malaysia untuk selanjutny menuju Thailand. Milea, pergi memang berarti
meninggalkan, namun dalam sebab akibat tentu ada makna lain. Pun begitu dalam
pelajaran bahasa, dalam sebuah bahasa terdapat antonim yang berkata “pergi dan
pulang”. Ku percaya sepenuhnya bahwa pergi pagi ini akan pulang disore hari,
entah tanggal dan bulan berapa.
Buyar lamunan selam diperjalanan
menuju Bandar Udara Internasional Adisucipto Yogyakarta. Semakin dekat kaki ini
melangkah, derupan suara kaki lain pun kian menggema juga. Mata tersadar
ditengah macetnya jalanan menuju Bandara. Drrrrrrrttttttt.... drrrrrttttt......
khas suara handphne yang kian batuk. “Incoming Call My beloved parents”.
Bibir ini tersungging membisu ditengah kemacetan jalanan. Sebuah percakapan
anak dan ibu kian menggebu. Perasaan sedih kian datang, perasaan senang juga
kian datang. Begitu indah percakapan yang mengisyaratkan kerinduan ibu dan
anaknya. Kini mata kian sadar bahwa kemacetan jalan kian terurai. Ternyata kedatanganku
dan teman satu ini menempati urutan terakhir.
Satu persatu dari mereka
berpamitan dengan keluarga, perlu diketahui bahwa kami terdiri dari 4 orang. Dua
perempuan dan juga dua lelaki. Kini berposisi sebagai leader dalam sebuah
perjalanan ku tempati, meski saling membantu, namun yang memiliki pengalaman terbang
bersama burung besi ketika itu hanya aku. Namun berbeda dengan arah atau rute
penerbangannya. Dua perempuan yang sejak dulu ku kenal tegar ini ternyata kian
menangis. Ketika peukan sang ibunya dirasa, tak ayal air mata mereka kian
mengalir. Wejangan dari berbagai hal
kian dilayangkan oleh masing masing orang tuanya. Ditengah kebersamaan mereka
yang kian erat. Di kelilingi banyak orang di pinggiran “departure area”. Seperti kampung kecil yang mereka miliki, isak
tangis sang bunda yang lembut hatinya kian bersuara. Bahkan satu dari lelaki
yang berstatus bapak mendatangiku. “Titip
Dina ya nak”. Ya bapak itu adalah lelaki tua yang tadi satu mobil menuju
bandara. “InshaAllah pak, doakan kami”.
Dengan senyuman mengembang khas seorang bapak, bisa ku tebak beliau adalah
bapak yang hebat. Melahirkan seorang anak yang begitu tegar, cerdas, bersahaja
serta memiliki jiwa kepemimpinan yang mumpuni.
Kampung kecil ini kian sedih
ketika kulihat seorang teman lelaki memeluk sesosok lelaki tua yang juga
berstatus sebagai bapak. Satu persatu dari mereka mengulangi aksi yang
sebetulnya kubenci, yaitu memeluk orang yang mereka sayangi. Aaaau.... seorang
anak kecil berlari dan terjatuh, ketika itu kusadari kalau aku adalah lelaki
yang sedang iri dengan pelukan keluarga.
Tak ayal, pelupuk mata ini kian sulit menahan sebuah air suci yang datang dari
mata. Rindu ini memang semakin tak bertuan. Namun sedari lama ku sadari kalau
rindu memanglah makhluk paling kejam, karena aku kian berteman dengan jarak dan
waktu. Sampai kusadari kalau rindu adalah anak dari keduanya. Sedikit malu
untuk menahan tangis, dengan cepat ku hapus kering semuanya, namun pelupuk mata
mengisyaratkan berbeda. Tidak bisa bohong jika ia menampung air mata. Tidak bisa
dusta kalau peluuknya memerah dan berkaca.
Kulihat seorang bapak yang kian
manatapku tajam, entah karena iba dan kasihan. Mungkin juga karena marah
melihat diri yang kian berpura tegar. Mengingat check in telah dilakukan sedari datang ke bandara. Kini kami
dihadapkan dengan sebuah antrian panjang didepan ruang pemeriksaan imigrasi. Satu
persatu mendapat giliran, sampai pada urutanku yang menyerahkan paspor sebagai
dokumen dokumen resmi keberangkatan. Drrrrrrrttttttt.... drrrrrttttt..... getar
kali ini datang dari pesan blek beri. “aku
dijalan menuju bandara, sekarang kejebak macet”. Sungguh, bagai petaka
datang dsiang bolong. Ketika passport resmi di-cap petugas imigrasi, mengapa pesan itu baru kuterima? Apakah baru
kau kirim? Atau memang operator blek beri yang dendam padaku karena terlalu
sering mengatakan rindu padamu? Ah...... kini satu persatu barang bawaan
diperiksa dengan alasan keamanan. Dan kali ini, air mineral yang kubeli disita
oleh petugas imigrasi, jeruk yang didapat juga disita bahkan kecap pedas yang
kubeli juga ikut disita. Tak apa, mau diambil bajuku sekalian juga tidak
masalah. Yang ada dipikiranku kini hanya bagaimana bertemnu dengannya yang kini
berada dikerumunan motor dan mobil. Mungkin ia juga sedang berteriak meminta
ditunggu. Tapi Milea,... aaaahhhhh.
“Mas, tolong mas, izinin saya keluar bentar saja” percakapan alot
bersama petugas imiigrasi kian terjadi. “maaf,
paspor anda sudah di-cap yang berarti anda tidak boleh keluar ruang tunggu
lagi. Penerbangan anda 30 menit lagi mas”. Berbagai dara untuk merayu
petugas imigrasi dilakukan. Sungguh tidak bisa dibayangkan bagaimana raut
wajahku kala itu. Untuk yang kedua kalinya mata ini berkaca-kaca. Sangat
berharap ini adalah mimpi buruk dimana ketika bangun ada Milea disisiku. Ternyata
tidak, ini adalah kenyataan yang kian menyiksa. “Aku didepan area keberangkatan” bagai diserbu beribu derapan dan
langkah kaki. Seakan dipukul namun tdak bisa berteriak. Dipojok bilik imigrasi
mata ini kembali berkaca-kaca dengan berlahan. “maaf, aku tidak bisa keluar ruang tunggu lagi” dengan sangat
terpaksa pesan itu kukirim setelah benar benar putus asah. “ya sudah tidak apa apa, yang penting semoga
selamat sampai tujuan”. Berat untuk dipercaya, bahwa pertemuan dalam hujan
semalam adalah terakhir sebelum Keluar dari negeri antah berantah ini. “Sudah dipesawat ya? Aku dianjungan ini. Dari
sini hanya terlihat ekor pesawatmu. Hati hati dijalan. Kabari jika sudah sampai”
Milea, malam ini kutulis cerita
ini tidak seperti biasanya. Tidak ada rembulan, aku tidak diatas genteng. Namun inspirasinya
tetap satu. Kamu. Bulan mungkin sedang mencariku juga. Yang senantiasa bercumbu
dengannya. Bercumbu dengan kamar itu. Namun kini ternyata kita beda negara,
bukan lagi beda RT dan RW seperti kemaren. Hehehe selamat malam Milea, sudah
senyum?
....Aku di
sini dan kau di sana
Hanya berjumpa via suara
Namun ku slalu menunggu saat kita akan berjumpa
Hanya berjumpa via suara
Namun ku slalu menunggu saat kita akan berjumpa
Meski kau
kini jauh di sana
Kita memandang langit yang sama
Jauh di mata namun dekat di hati....
(RAN-Dekat Dihati)
Kita memandang langit yang sama
Jauh di mata namun dekat di hati....
(RAN-Dekat Dihati)
No comments:
Post a Comment